Isu Terkini

Disebut Bermuatan Politis, Benarkah Bagi-bagi Sertifikat Tanah Ala Jokowi Hanya Menjelang Pilpres?

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Pembagian sertifikat tanah yang gentar dilakukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) mendapatkan kritikan dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Kepala Departemen Kampanye dan Manajemen Pengetahuan KPA Benni Wijaya mengatakan bahwa ada indikasi dalam kegiatan pembagian sertifikat tanah yang dilakukan pemerintah. Apalagi saat ini sedang proses masa kampanye jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.

“Kami tidak mau berasumsi ke arah politiknya. Tapi kalau dilihat dari sisi itu, ya, pasti ada lah politiknya,” ujar Benni Wijaya menanggapi pembagian 6 ribu sertifikat tanah kepada warga Kabupaten Garut, Jawa Barat, Sabtu, 19 Februari 2019.

Dalam hal itu, Benni menilai pemerintah lebih memilih membagikan sertifikasi tanah daripada menyelesaikan konflik agraria terlebih dahulu. Terlebih pembagian sertifikasi dilakukan bukan pada tanah yang berkonflik sebagaimana biasanya. Tapi masyarakat cenderung memberikan apresiasi dalam kegiatan tersebut.

“Kalau lihat dari indikasinya secara garis besar, banyak juga yang apresiasi sertifikasi. Dalam indikasi ini, bisa juga jadi strategi dalam pemenangan,” demikian sangka Benni.

Bagi-bagi Sertifikat Ala Jokowi

Saat menjadi calon presiden di 2014 lalu, Jokowi memang menargetkan redistribusi dan kepemilikan 9 juta hektar lahan sebagai program reforma agraria di dalam Nawacita. Maka tak heran, mantan Gubernur DKI Jakarta itu hampir selalu membagi-bagikan sertifikat tanah dalam setiap kunjungannya ke daerah. Hal ini sebenarnya dia lakukan sejak 2016.

Kebijakan itu berawal dari Paket Kebijakan Ekonomi jilid VII tentang insentif pajak industri padat karya dan sertifikasi tanah. Paket tersebut diumumkan di kantor Presiden, kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, pada 4 Desember 2015. Kementerian Koordinator Perekonomian lalu mengunggah penjelasan tentang paket tersebut.

Mereka mengatakan bahwa sebenarnya paket tersebut bukanlah mengatur tentang pembagian sertifikat tanah, tetapi untuk mempermudah pengurusan sertifikasi. Sebab sebelumnya, proses pengurusan sertifikat tanah cenderung lama karena keterbatasan jumlah petugas. Hingga dibuatlah paket kebijakan tersebut agar pelayanan sertifikasi tanah bisa diurus lebih fleksibel, misalnya saat car free day ataupun car free night.

Pada akhir 2015 misalnya, pemerintah mendata bahwa hanya 40% bidang tanah di luar kawasan hutan yang telah memiliki sertifikat. Sedangkan 60% sisanya atau 54.832.737 bidang belum mendapatkan sertifikat. Hingga akhirnya di penghujung tahun 2016 lalu, Presiden Jokowi terus sibuk berkeliling ke beberapa daerah seperti Balikpapan, Kaltim, hingga Kubu Raya Kalbar, dengan misi membagikan ribuan sertifikat tanah langsung ke masyarakat.

Program yang diberi nama proyek Operasi Nasional Agraria (Prona) ini tak hanya soal bagi-bagi sertifikat tapi ada target yang lebih luas. Masyarakat yang berhak mengikuti Prona berasal dari golongan ekonomi lemah sampai dengan menengah yang berpenghasilan tidak tetap seperti petani, nelayan, pedagang, peternak, pengrajin, pelukis, buruh musiman dan lainnya. Program ini memang tak murni “gratis” karena hanya biaya pengelolaan penyelenggaraan Prona yang seluruhnya dibebankan APBN.

Target Jokowi terus dikejar. Di tahun 2016 Prona sudah mencakup 1.060.000 sertifikat. Di mana sebelumnya di tahun pertama yaitu 2015 sudah dibagikan sebanyak 700 ribu sertifikat. Sementara di tahun 2018, Menteri ATR/Kepala BPN Sofyan Djalil mengumumkan capaian sertifikat tanah gratis yang dibagi-bagikan oleh Jokowi telah melebihi target.

“Seluruh produk BPN tahun lalu bisa kita capai 9,3 (juta), 9.314.000 (sertifikat)” katanya di Kantor Kementerian Koordinator Perekonomian, Jakarta, Kamis, 10 Januari 2019.  Angka tersebut memang melebihi target. Sebab 2018 target yang dipatok sebanyak 7 juta sertifikat tanah saja. Sedangkan di 2019 diharapkan ada 9 juta sertifikat yang bisa direalisasikan.

Bagi Sertifikat Tanah Tak Berarti Reforma Agraria

Semangat Jokowi dalam membagikan sertifikat tanah tak berarti dapat mewujudkan reforma agraria seperti yang dicita-citakan. Menurut Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika redistribusi lahan yang selama ini terjadi hanya terhadap lahan yang bebas dari konflik. Apalagi pemerintah masih memberikan lahan terhadap korporasi.

Sehingga lahan luas tidak berfungsi sebagai penghasil produk pertanian tapi malah justru menjadi tempat berdirinya industri, properti, dan pertambangan. Ujung-ujungnya memicu konflik agraria di berbagai daerah. “Ini menyebabkan penurunan jumlah petani secara signifikan dan angka urbanisasi dan pertambahan maupun buruh migran terus merangkak naik,” ujar Kartika.

Lebih lanjut, Kartika mengatakan bahwa pembagian sertifikat tanah tidak mampu menyelsaikan konflik agraria yang selama ini terjadi di Indonesia. Karena mereka yang mendapatkan sertifikat hanya pada orang yang telah lama menempati tanah tersebut. Bukan pada penggarap yang harusnya memanfaatkan lahan sebagai alat produksi pertanian.

“Pemberian modal, buku, bantuan pupuk dan lain-lain itu seharusnya dilakukan paralel. Kalau enggak begitu, tanahnya bisa diakumulasikan lagi sama kelompok-kelompok bermodal besar. Simpelnya, mereka dikasih lahan tapi enggak bisa jadi alat produksi. Datang pengusaha, diintimidasi, mereka akhirnya jual,” katanya.

Share: Disebut Bermuatan Politis, Benarkah Bagi-bagi Sertifikat Tanah Ala Jokowi Hanya Menjelang Pilpres?