Isu Terkini

Dikotomi Guru Honorer vs PNS Itu Feodal

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Kita cuma beda soal upah, tapi sama-sama bisa memberikan yang terbaik untuk anak-anak didik. Bagi saya, dikotomi PNS vs non-PNS itu dikotomi yang feodal banget, memandang seseorang hanya dari status,” kata Rudi Hermanto, guru sejarah SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor.

Selama delapan tahun menjadi pendidik, Rudi menolak tunduk pada anggapan picik yang mengecilkan orang-orang sepertinya: guru berstatus honorer. Baginya, hanya ada satu ukuran yang patut: kualitas.

“Bukan PNS-nya yang feodal, tapi mindset tentang PNS yang membuat orang-orang jadi berpikir feodal,” kata Rudi lagi.

Rudi Hermanto, Guru Sejarah di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor. Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Bukan rahasia bahwa beban kerja guru honorer sama beratnya dengan guru berstatus pegawai negeri, tetapi mereka digaji lebih rendah, lebih-lebih yang tergolong kategori dua (biasa disebut K2).

Rudi Hermanto, Guru Sejarah di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Guru-guru K2 digaji oleh sekolah menggunakan sebagian dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) dengan hitungan per jam mengajar. Besarannya tergantung kebijakan setiap sekolah. Tak sedikit guru K2 yang hanya mendapat Rp100.000 sebulan lantaran ketentuan pemakaian dana BOS untuk menggaji guru tak boleh lebih dari 50 persen.

Menurut data Kemendikbud, jumlah guru honorer K2 di seluruh Indonesia mencapai 787.823 orang.

Rudi Hermanto dan kelas kosong di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co
Pembelajaran tatap muka pindah ke aplikasi daring “Zoom” di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co
Rudi Hermanto, Guru Sejarah di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co
Rudi Hermanto berjalan menyusuri halaman sekolah SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Lain guru-guru K2, lain pula sistem yang berlaku terhadap guru-guru honorer kategori satu (K1). Mereka digaji dari anggaran pemerintah pusat atau daerah, dengan nilai yang lebih tinggi ketimbang guru honorer K2, tetapi lebih rendah daripada guru-guru PNS.

Tahun ini, Ikatan Guru Indonesia (IGI) melakukan survei terhadap 24.835 guru honorer se-Indonesia. Lebih dari sepertiga responden (36,8%) mendapat gaji bulanan Rp250.000 – Rp500.000. 15,4% dibayar lebih rendah.

“Saya guru honorer yang memperoleh gaji dari pihak pemerintah provinsi dan sekolah. Jadi, menggolongkannya saja saya bingung. Status saya honorer provinsi. Kalau di Jakarta, biasa disebut Kontrak Kerja Individu (KKI),” kata Rudi. Namun, katanya lagi, ia tak mau bekerja sesuai bayaran.

Pemerintah mengupayakan perbaikan gaji guru honorer di tengah pandemi lewat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 19/2020. Aturan ini merevisi ambang batas pemanfaatan dana BOS: boleh lebih dari 50% untuk menambah gaji guru honorer.

Rudi Hermanto, Guru Sejarah di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co
Rudi Hermanto, Guru Sejarah di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Rudi enggan bicara banyak soal ketimpangan upah. Lulusan program S1 dan S2 jurusan pendidikan sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) ini berkata, “Yang lebih penting, bagaimana saya pada akhirnya bisa melihat murid saya lebih cerdas daripada saya.”

Untuk cita-cita itu, Rudi mengubah sistem pembelajaran pada kelasnya. Alih-alih berceramah panjang-lebar saban hari dan pura-pura tak tahu bahwa para murid pulang dengan kepala kosong, dia menanamkan kebiasaan berdiskusi seperti di kampus.

“Anggap saja mata pelajaran itu nasi goreng. Enak atau tidaknya tergantung siapa yang memasak. Nah, halo effect atau kesan pertama jadi yang paling penting. Bagaimana supaya mereka tertarik dulu, itu saja dulu,” katanya.

“Murid di era sekarang itu punya akses informasi dan pengetahuan yang berlimpah. Kalau mereka lebih cerdas dari saya, saya sangat suka. Tapi kalau  kalah sama generasi saya, ya, payah,” ujar Rudi.

Rudi Hermanto di bawah awan mendung di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

Di luar kelas, Rudi menyokong murid-muridnya untuk menghimpun prestasi. Salah satunya, juara “Lomba Debat Sejarah” dalam Kompetisi Sejarah Nasional yang digelar Kemendikbud di Universitas Indonesia pada 2-6 September 2019. Dalam ajang itu, murid-murid Rudi mengalahkan utusan sekolah favorit seperti SMAN 8 Jakarta.

Yang tak kalah menggembirakan: Rudi membentuk sebuah klub buku di sekolahnya pada 2017. “Walaupun nggak ujug-ujug membedah buku Immanuel Kant, misalnya,” kata Rudi. “Pasti bakal sedikit yang tertarik.” Hingga kini kegiatan itu masih berjalan.

Rudi Hermanto, Guru Sejarah di SMAN 1 Parung, Kabupaten Bogor, Selasa (24/11/20). Foto: Ramadhan/Asumsi.co

“Saya sekarang 32 tahun, dan itu artinya saya punya tiga kesempatan lagi untuk jadi PNS. Selebihnya, ya sudah, yang penting saya sudah berusaha,” kata Rudi.

Share: Dikotomi Guru Honorer vs PNS Itu Feodal