General

Dialektika Demokrasi: Monopoli Tafsir Hoaks dan Hegemoni Informasi

Ikhsan Yosarie — Asumsi.co

featured image

Selain sebagai sarana silaturrahmi, media sosial atau media online juga menjadi sarana untuk bertukar informasi dan gagasan. Informasi-informasi yang disebar, bisa perihal pemerintahan –baik pusat maupun daerah– serta tentang fenomena-fenomena sosial yang terjadi. Sebagai catatan, informasi yang disebar tersebut tentu harus akurat dan sesuai dengan fakta. Penggunaan media sosial seperti ini, menjadi implementasi media sosial sebagai kontrol sosial. Sehingga, aparat pemerintahan tidak bisa lagi menganggap bahwa apa yang mereka lakukan, baik positif atau negatif, hanya diketahui oleh internal pemerintahan saja. Dengan adanya media sosial, informasi tersebut bisa diketahui dan dijangkau oleh publik nasional secara lebih cepat dan luas.

Kemunculan media online juga merupakan keniscayaan dalam kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Informasi bukan lagi konsumsi lokal, tetapi mampu menjadi isu nasional. Dalam konteks demokrasi, media online menjadi salah satu bentuk partisipasi masyarakat modern. Berpendapat, mengkritisi dan mengawal pemerintahan tidak hanya dilakukan dengan turun ke jalan atau cara konvensional lainnya, tetapi juga dengan aktif di media online dan menyuarakan pendapatnya. Apa yang disampaikan mudah untuk diakses dan dapat dibaca khalayak, bahkan memungkinkan dibaca oleh elit pemerintahan. Efek media online ini tidak bisa dianggap remeh, buzzer politik menggunakan metode ini untuk menguasai arus pemberitaan modern.

Arus pemberitaan yang semakin masif dan disusupi kepentingan kelompok atau golongan, membuat objektifitas berita patut dipertanyakan. Perang pengaruh kini tidak lagi berbasis apa yang diucapkan tokoh negara, tetapi berbasis penguasaan media dan informasi. Karena, melalui cara inilah hegemoni informasi dapat dilakukan. Menguasai media dan informasi, berimplikasi kepada cerahnya karir politik seseorang. Mereka yang memiliki kuasa, secara mudah dapat mengklaim suatu informasi atau suatu media online sekalipun bisa disebut hoax atau lawannya, terpercaya. Yang paling berbahaya disini adalah terjadinya monopoli tafsir atas penggunaan kata hoax tersebut. Segala informasi yang bersifat menyerang, misalnya menyerang pemerintahan, dengan mudahnya dapat disebut hoax.

Di satu sisi, harus diakui banyaknya media online yang baru bermunculan, membuat arus informasi semakin beragam. Media online tersebut juga patut di selisik isi berita dan kredibilitasnya. Artinya, informasi dari media-media seperti inimemang tidak bisa dipercaya begitu saja, harus dengan triangulasi data. Label media dan berita hoax menjadi sesuatu yang berasal dari kejengkelan suatu atau beberapa pihak dalam menyikapi kemunculan media-media baru ini. Namun, yang perlu dicatat adalah meskipun media mainstream dan konvesional tersebut sudah jelas asal-muasal dan kredibilitasnya, belum tentu apa yang diberitakannya tidak mengandung unsur hoax. Masyarakat memang dituntut harus cerdas dalam setiap menerima informasi. Dialektika informasi menjadi cara cerdas untuk menyikapi hal ini.

Berita Hoax

Berita hoax atau palsu, kembali menjadi keresahan ditengah masyarakat. Di tengah kisruh bertema SARA yang semakin berlarut dan meluas, pemberitaan hoax menjadi minyak yang terus menyokong agar kisruh ini tetap panas. Media-media online baru banyak bermunculan untuk menandingi pemberitaan media konvensional, meskipun asal-muasal media online ini sedikit yang diketahui. Pemberitaan-pemberitaan dari media online yang baru bermunculan ini pun juga sering bertolak belakang dari pemberitaan yang diwartakan oleh banyak media konvensional. Sehingga, dalam pola pemberitaan yang mengemuka bisa kita lihat tengah terjadi fenomena polarisasi berita, dan mengerucut kepada berita pro dan kontra. Negatifnya, pemberitaan yang terpolarisasi seperti ini mudah untuk diplintir sejumlah oknum tidak bertanggung jawab dan memasukkan unsur adu domba (devide et impera) dalam berita yang diwartakan. Namun, diluar itu, kemunculan media-media online baru yang diklaim hoax ini patut kita cerdasi dan menjadi bahan introspeksi bersama.

Yang menjadi akar persoalan disini adalah konten berita yang tidak berimbang. Kemunculan media-media online baru tersebut sebagian besar dilatarbelakangi oleh pemberitaan media mainstream yang cenderung mendukung pemerintah, dan tidak menjadi perpanjang tangan masyarakat untuk mengkritisi pemerintah. Di satu sisi, ini menjadi persoalan klasik ketika sang empunya media adalah seorang politisi. Sehingga, kemunculan media online baru ini untuk menjadi antitesa tersebut.

Pemberitaan yang berkepanjangan, turut berperan dalam meluaskan suatu permasalahan, hingga bersifat nasional. Persoalan semakin berlarut ketika isu hoax mulai mengemuka, lantaran memberikan sesuatu yang berbeda. Patut disesalkan, pemberitaan-pemberitaan oleh media online baru yang menjadi antitesa pemberitaan media mainstream, langsung diklaim hoax atau palsu, bahkan media yang bersangkutan diblokir.

Dari sisi substansi permasalahan, klaim seperti ini saya pikir tidak sehat untuk dialektika informasi dan kedewasaan berdemokrasi. Dari sinilah kecerdasan masyarakat dapat dilihat dalam memilih dan memilah infomasi, kapitalisme media dapat dilawan dengan cara seperti ini, karena pemberitaan bukan hanya untuk mendukung penguasa. Belum tentu apa yang diberitakan media tersebut hoax atau palsu hanya karena anti-mainstream, dan belum tentu juga apa yang diberitakan media mainstream itu benar. Secara sederhana, jika kita meyakini masyarakat telah cerdas, maka biarlah kebenaran informasi tersebut didapat masyarakat dari dialektika dan diskusi mereka, bahkan melalui triangulasi data. Jika apa yang disampaikan oleh media konvensional adalah sebuah tesis, maka yang disampaikan media online baru bisa kita sebut sebagai antitetisnya. Persoalan sintesis, masyarakatlah yang nanti mencarinya. Mengisi ruang-ruang publik menjadi salah satu contoh upaya yang dilakukan masyarakat untuk mencari sintesis, dengan diskusi interaktif dan konfirmasi yang continue menyoal masalah tersebut.

Mendiskreditkan media online baru tersebut sebagai media hoax, tidak elok dalam konteks perimbangan pemberitaan. Definisi tunggal atas sebuah permasalahan tidak patut untuk dilestarikan, apalagi yang melakukan itu adalah pemerintah. Masyarakat sipil memiliki cara untuk menyusun gerakannya dan mengimbangi dominasi pemerintah. Kemunculan media-media online tersebut tidak bisa disalahkan. Sederhananya, ketika pemberitaan media konvensional atau mainstream sudah mengarah kepada “corong” pemerintah, maka kemunculan media online menjadi sebuah keharusan untuk mengimbangi dominasi dan hegemoni pemberitaan media mainstream yang sudah kurang akurat. Pertarungan pengaruh berita ini bukan hanya menyoal konten berita dan arah pemberitaan, tetapi juga melingkup kepada legitimasi atau legal standing adanya media tersebut. Label hoax pada media online ini juga menempel lantaran tidak memenuhi kualifikasi atau ketentuan hukum lainnya.

Ikhsan Yosarie adalah seorang peneliti di SETARA, Institut untuk Demokrasi dan Perdamaian.

Share: Dialektika Demokrasi: Monopoli Tafsir Hoaks dan Hegemoni Informasi