Isu Terkini

Cerita Perjuangan Keras Penari Ratoh Jaroe di Asian Games 2018 (Part I)

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Tari Ratoh Jaroe berhasil memukau puluhan ribu pasang mata penonton pembukaan Asian Games 2018 di Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta, Sabtu, 18 Agustus. Bukan hanya mereka yang langsung menonton di SUGBK, tapi juga yang menyaksikan dari layar kaca.

Ditampilkan oleh 1.600 penari dari 18 SMA se-DKI Jakarta, tarian asal Aceh itu pun menyisakan banyak cerita unik. Misal, pada awalnya publik sempat mengira tarian ini adalah Tari Saman. Namun belakangan banyak yang menjelaskan perbedaan keduanya.

Secara umum, Tari Saman dilakukan pria dalam jumlah ganjil serta diiringi syair yang dilantunkan para penarinya. Tarian ini memadukan tepukan tangan dan tepukan dada dan dipimpin oleh beberapa penari yang duduk di tengah. Sementara Tari Ratoh Jaroe dilakukan perempuan dalam jumlah genap dan dikendalikan oleh dua orang yang duduk di luar formasi penari. Selain itu, Tari Ratoh Jaroe diiringi musik eksternal, atau di luar para penarinya dan gerakannya tak banyak melibatkan tepukan dada.

Kembali pada pembukaan acara olahraga terbesar se-Asia ini, jika dilihat dari udara, Tarian Ratoh Jaroeh benar-benar indah. Terutama saat membentuk bendera Merah Putih. Menariknya, ketika sorot kamera diperbesar, tampak ribuan penari muda yang berjuang keras untuk menyajikan keindahan.

Asumsi.co berbincang dengan tiga penari Tarian Ratoh Jaroe untuk mencari tau cerita perjuangan keras mereka yang jadi bagian kecil dan menyatu dalam tarian kolosal tersebut di acara pembukaan Asian Games 2018. Seperti apa ceritanya?

Berawal dari Ikut Seleksi

Dinda Rizki Tri Pratiwi, siswi kelas XII SMA 24 Jakarta menceritakan awal mula bisa ikut serta jadi salah satu dari 1.600 penari Ratoh Jaroe pada pembukaan Asian Games 2018. Dinda mengaku harus mengikuti seleksi lebih dulu.

Pertama kali itu kan ditanya sama guru kesiswaan kita, siapa saja yang mau ikut Tari Saman di Asian Games. Tapi beliau enggak bilang kalau itu buat opening ceremony,” kata Dinda kepada Asumsi.co, Senin, 20 Agustus 2018.

Dinda mengungkapkan bahwa pertama kali mulai latihan itu pada bulan April lalu dan setelah itu diseleksi. Remaja kelahiran 19 Agustus 2001 itu membeberkan jika dari 100 orang yang ikut di sekolahnya, ada total 85 orang yang diseleksi.

“Lalu, kita latihan terus, bahkan sampai bulan puasa. Dalam kondisi berpuasa saat itu, kita latihan di sekolah dari jam 13.00 sampai jam 17.00 WIB, diselingin sama waktu istirahat sekitar setengah jam pas jam 15.00 WIB,” ujar remaja berusia 17 tahun tersebut.

Memang tak ada jalan instan untuk menciptakan karya kolosal seperti Tarian Ratoh Jaroe itu. Ada beberapa tahap yang harus dilalui Dinda dan penari-penari lainnya sampai benar-benar hafal dan fasih mempraktikkan tariannya.

Tahap pertama, Dinda dan rekan-rekannya lebih dulu harus berlatih di sekolah. Dinda lanjut bercerita, ada total delapan kali pertemuan yang harus mereka habiskan untuk latihan bersama di sekolah. Setelah menyelesaikan tahapan berlatih di sekolah, barulah mereka masuk tahap kedua di mana latihan gabungan mulai dilakukan bersama penari-penari lainnya. Pada tahap ini, ada dua kali latihan dengan jumlah penari yang semakin banyak.

“Latihan pertama di Lapangan ABC Senayan bareng setengah dari seluruh pesertanya, itu berarti gabung jadi 800 penari. Nah, latihan kedua baru digabungin jadi 1.600 penari dan itu latihan empat kali di Lapangan ABC,” ucapnya.

Meski awalnya latihan terasa begitu sulit, namun Dinda tetap menikmati karena ia memang suka menari, terlebih ia juga sudah punya dan tau teknik dasar menari.

“Latihan itu sulit banget sih pas pertama kali, ngerasa gerakannya enggak selesai-selesai, jadi gerak terus. Kan lagunya sama hitugannya itu cepet banget, jadi sempat bingung juga, enggak kayak saman biasanya.

Banyak yang Tak Punya Skill Menari

Senada dengan Dinda, siswi SMA 24 Jakarta lainnya, Adel Salsabilah, saat dihubungi terpisah oleh Asumsi.co, mengakui awalnya ia juga harus ikut seleksi untuk ambil bagian sebagai penari Tarian Ratoh Jaroe.

“Pihak panitia Asian Games 2018 itu menghubungi sekolah kita untuk minta partisipasi siswi perempuannya ikut menari. Lalu, kita dikasih formulir gitu buat data kita dan mesti diisi,” kata Adel.

“Yang udah punya KTP harus fotokopi KTP, kalo enggak ada harus ada persetujuan orang tuanya. Kita latihannya cukup lama dan mulai latihan itu bulan April sampai 16 Agustus.”

Persis seperti yang dikatakan Dinda sebelumnya, Adel mengatakan bahwa awalnya mereka berlatih di sekolah dulu dan setiap hari Jumat. Lalu, ada dua pelatih yang ditempatkan untuk melatih di sekolah.

“Si pelatihnya ini ngasih semua gerakan setiap seminggu, jadi Jumat pertama gerakan ini, Jumat depan gerakan lain lagi, jadi dibagi-bagi. Sekitar sebulan, baru mulai diseleksi, ada 80 siswi yang jadi penarinya dan sisanya reserve.”

Sepengetahuan Adel, memang banyak penari-penari lainnya yang terlibat memang tak ada skill menari awalnya. Beruntung, Adel sendiri mengaku pernah menari Saman saat ujian praktik masa-masa Sekolah Menengah Pertama (SMP).

“Cuma pas di sekolah dulu itu, aku enggak ambil ekskul narinya gitu, lho. Tapi sejauh yang aku tau, rata-rata teman-teman yang ikut menari di Asian Games itu memang enggak punya basic menari sih setau aku,” ujar Adel.

Menurut Adel, meski punya dasar menari, ia tetap saja kesulitan saat pertama kali latihan, apalagi gerakan menarinya memang banyak. Hanya saja, Adel mengakui lantaran sudah keseringan latihan dan semuanya senang menjalaninya, maka akhirnya jadi hafal dengan sendirinya dan selanjutnya tinggal diteruskan.

Diberi Banyak Asupan Air Mineral dan Makanan Sehat

Saat sudah mulai berlatih compound di Lapangan ABC, Adel merasakan betul cuaca yang cukup panas setiap harinya karena berlatih siang hari dan lapangannya outdoor. Maka dari itu, mereka diberi asupan air mineral sebanyak mungkin.

“Pas latihan kita kadang pake kacamata atau topi untuk menghindari panas yang sangat terik dan menguras tenaga. Maka dari itu, karena cuaca panas, kita dikasih minum terus sih supaya jangan sampai dehidrasi,” kata Adel.

“Panitia terus ngasih kita air mineral yang jumlahnya banyak banget kan, jadi kita bisa minum berbotol-botol air mineral yang kecil setiap saat.”

Tak hanya itu saja, Adel dan teman-temannya juga diberikan makanan dan cemilan sehat. “Nah, pas siang jelang latihannya itu, kita baru dikasih makan siang dari catering dan itu bener-bener lengkap menunya dari karbonya, sayuran, dan lain-lainnya. Lalu, jam 3 sore gitu, kita istirahat dan dikasih cemilan gitu, kadang ada pisang, yang pasti makanan sehatlah, malah kebanyakan makanannya.”

Selain soal makanan dan minuman, Adel juga bercerita soal formasi bendera Merah Putih yang jadi bagian dari aksi mereka saat memperagakan Tarian Ratoh Jaroe. Menurut Adel, pada saat awal latihan gabungan itu, memang mereka dipisah berdasarkan garis merah dan putih.

“Kalau dilihat pas kita tampil itu kan formasinya Merah Putih yang terlihat di televisi itu. Nah, sekolah aku posisinya ada di garis merah tapi posisi paling depan, di mana di depan kita itu ada tim putih.”

Nervous Jadi Musuh Bersama

Salah satu musuh besar menjelang tampil pada malam pembukaan Asian Games 2018 itu adalah rasa gugup. Adel mengatakan dibanding hal-hal lainnya, perasaaan gugup itu memang sudah benar-benar menyerangnya.

“Sebenarnya sih kalo bicara kesulitan itu lebih ke nervous-nya sih. Apalagi kan kita makin lama latihannya kan makin intensif, dari yang seminggu sekali jadi seminggu dua kali,” ujar Adel.

Jelang hari H tampil, Adel membeberkan bahwa mereka pernah latihan empat hari berturut-turut. “Jadi kita latihan di Stadion GBK itu pas awal Agustus. Nah, pas 16 Agustus itu gladi resik terakhir sebelum kita tampil, jadi pas itu orang tua kita dibolehin datang untuk melihat kita latihan dan gladi resik.”

Menurut Adel, diundangnya orang tua untuk hadir saat gladi resik sebagai bentuk uji coba, bakal seperti apa rasanya nanti jika tribun stadion diisi penonton.

“Sehingga hal itu membuat kita jadi tau gambarannya gimana saat disaksikan penonton, meski rasanya itu enggak seheboh pas opening ceremony kemarin. Tapi seenggaknya udah tau.

Sementara itu, proses yang kurang lebih sama juga dialami Meilia Nur Lathifah, siswi SMA 78 Jakarta. Meilia juga ikut serta dengan lebih dulu mengisi formulir, lalu menjalani seleksi bersama teman-temannya yang lain.

Sosok remaja kelahiran 29 Mei 2001 tersebut mengaku kepada Asumsi.co bahwa ia sempat takut teriliminasi di awal-awal seleksi. Namun, berkat usaha keras, Meilia berhasil meyakinkan pelatih hingga dirinya bisa masuk tim inti penari.

“Kita diajarin koreo sama pelatihnya ada dua orang di sekolah buat seleksi pada latihan kedua dan ketiga. Kita diajarin koreonya dari awal sampe akhir, sampai lumayan bisa dari awal musik hingga selesai dan di situ diliatin yang mana yang bisa ngikutin gerakan dan yang mana yang enggak lemot,” ucap Meilia.

Meilia mengaku ia dan teman-temannya berlatih menari di hall sekolahnya setiap hari Rabu jam 15.00 atau saat waktu pulang sekolah, sampai jam 17.00 WIB. Remaja berusia 17 tahun itu mengaku terpaksa bolos les selama beberapa minggu demi latihan menari.

Saat memasuki fase latihan gabungan bersama 1.600 penari lainnya pada bulan Juni, Meili menyebutkan bahwa mereka belajar menyamakan gerakan dan berlatih menyesuaikan warna baju dengan enam lapis warna itu.

“Jadi bajunya itu ada yang enam lapis yaitu abu-abu, orange, ungu, merah, putih, dan biru. Saat itu, kita latihannya masih pakai kostum sementara.”

“Di sana saat sudah latihan gabungan, kita enggak dipanggil nama lho, tapi dipanggil berdasarkan nomor masing-masing yang ada di bagian depan baju dan nomor aku adalah 312.”

Selain baju bernomor, Meilia mengaku para penari juga mendapatkan ID Card untuk memudahkan saat check-in setiap latihan. Menurutnya, hanya orang-orang yang punya ID Card yang boleh masuk ke area latihan.

Bersambung…

Share: Cerita Perjuangan Keras Penari Ratoh Jaroe di Asian Games 2018 (Part I)