Isu Terkini

CCTV dengan Pengenal Wajah Akan Jadi Mimpi Buruk Kita

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Sebentar lagi, segala yang terjadi di Surabaya akan terekam dan tak pernah mati. Walikota Surabaya, Tri Rismaharini, telah lama menyatakan ambisinya untuk memasang CCTV lengkap dengan teknologi facial recognition (pengenalan wajah) di sudut-sudut kota Surabaya. November ini, ambisi tersebut segera terlaksana.

Teknologi itu sudah diuji coba di Terminal Purabaya untuk mendeteksi praktik percaloan. Kemudian, Pemkot Surabaya mengumumkan rencana menambah sedikitnya 280 CCTV lengkap dengan teknologi pengenalan wajah. CCTV tersebut dapat mengenali identitas seseorang dari wajahnya, kemudian mencocokkannya dengan data kependudukan. Jejaring CCTV tersebut pun terhubung dengan command center 112, kepolisian, dan Densus 88. Pemkot Surabaya berdalih, pengawasan massal ini bertujuan untuk mengantisipasi berbagai tindak kejahatan termasuk terorisme.

Langkah tersebut pun menuai tanggapan positif dari Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian. Belum lama ini, ia membeberkan rencana membuat peraturan khusus tentang penggunaan CCTV di berbagai wilayah kabupaten/kota seluruh Indonesia. Tak henti di sana, ia menghimbau kepala daerah menetapkan aturan serupa di daerahnya masing-masing.

Bagi Tito, CCTV tak dinilai ampuh memecahkan “masalah ketertiban lalu lintas, kebersihan, hingga konflik.” Bahkan semasa menjabat sebagai Kapolri, ia mengaku CCTV amat membantu penyidikan polisi soal kerusuhan pasca demonstrasi 22-23 Mei 2019 di Gedung Bawaslu, Jakarta. Ia pun mengusulkan agar CCTV milik swasta yang terpasang di gedung-gedung, restoran, hingga hotel “terintegrasi dengan CCTV pemerintah”, dan menegaskan bahwa data milik Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) telah “90 persen masuk” untuk menyambut teknologi anyar tersebut.

Pada dasarnya, CCTV bekerja dengan prinsip yang disebut panoptikon. Gampangnya: seseorang merasa diawasi terus menerus, padahal dia tidak tahu apakah betulan ada pengawas atau tidak. Secara teori, kalau kamu merasa ada yang mengawasi, kamu bakal berpikir ratusan kali sebelum melakukan tindak kejahatan. Adanya fitur pengenalan wajah yang terhubung pada big data sekadar mempermudah kinerja aparat–sekaligus bikin calon pelaku kejahatan tambah waswas.

Sekilas, hal ini terdengar ideal. Namun, ada berbagai hal yang perlu dikhawatirkan. Tak sedikit pakar, aktivis, hingga pengamat kebijakan yang silih berganti menolak ide tersebut. Menulis untuk situs riset The Conversation, Ika Karlina Idris & Kunto Adi Wibowo menyatakan bahwa “CCTV bukan obat yang mujarab untuk mencegah semua bentuk kejahatan.” Prinsip panoptikon yang digadang-gadang tersebut juga patut dipertanyakan. Meski CCTV efektif mengurangi tindak kejahatan di area parkir dan hunian, CCTV tidak efektif untuk “mencegah kekacauan publik dan kejahatan dengan kekerasan.”

Terlepas dari debat soal efektivitasnya, teknologi pengenalan wajah di CCTV banyak ditolak karena alasan yang sederhana: ia ngeri, dan mencederai begitu banyak batasan etika. Berhubung teknologinya masih baru, hanya segelintir negara yang punya aturan khusus soal penggunaan pengenalan wajah. Di Indonesia, misalnya, RUU Perlindungan Data Pribadi masih mangkrak di DPR. Artinya, tak ada aturan yang mencegah data tersebut diperlakukan seenaknya oleh siapapun yang punya akses.

CCTV dengan teknologi pengenalan wajah pun dinilai melanggar prinsip kegunaan dan proporsi. Pelbagai pakar berargumen bahwa secara hukum, pengawasan yang segalak itu harusnya cuma dilakukan kepada pelaku kejahatan serius atau terduga pelaku. Sementara, CCTV dan teknologi pengenalan wajah mengawasi semua orang–tanpa mereka ketahui, tanpa seizin mereka, dan tanpa ada sedikitpun indikasi bahwa mereka melakukan tindakan kejahatan.

Maka jangan heran kalau kemunculan CCTV dengan fitur pengenalan wajah dianggap sebagai langkah mundur bagi kebebasan sipil dan demokrasi. Teknologi tersebut memang bisa dipakai untuk mencari maling motor, calo tiket bus, hingga pelaku terorisme. Tetapi pada saat bersamaan, ia pun bisa dipakai untuk mengkriminalisasi aktivis, demonstran, hingga jurnalis. Munculnya negara pengawasan atau surveillance state tersebut dinilai bakal mencekik kebebasan berekspresi dan menyuburkan iklim penuh rasa takut dan curiga.

Satu persoalan lain: teknologi CCTV dengan pengenalan wajah erat kaitannya dengan rasisme. Tak sedikit literatur menjabarkan bagaimana teknologi tersebut dipakai seiring dengan database atau kebijakan yang diskriminatif. Mengingat Surabaya adalah percontohan kebijakan ini dan baru tiga bulan lalu muncul insiden rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya, menjamurnya CCTV dengan pengenalan wajah menjadi preseden mengkhawatirkan.

Cina menjadi negara yang paling terang-terangan menggunakan CCTV dan teknologi pengenalan wajah untuk menindas warganya sendiri. Miliaran penduduk Cina direkam CCTV dalam salah satu negara pengawasan paling menyeluruh di dunia. Jejaring CCTV Cina pun terhubung dengan sistem kredit sosial, yang memberi nilai dan ranking bagi warga berdasarkan kepatuhan mereka terhadap aturan.

Tesis bahwa teknologi pengenalan wajah dapat dipakai untuk menegaskan rasisme pun terbukti di Cina. Di provinsi Xinjiang, pemerintah melakukan diskriminasi sistematis terhadap minoritas Muslim Uighur yang diseret ke kemah-kemah konsentrasi. Jejaring CCTV dan pengenalan wajah pemerintah Cina digunakan untuk mengawasi penduduk 2.5 juta penduduk Xinjiang. Pemerintah Cina sengaja menggunakan CCTV dan pengenalan wajah untuk mencari-cari penduduk minoritas Uighur dan melacak pergerakan mereka.

Seperti dilansir The Guardian, seorang aktivis lokal menemukan database daring yang berisi “nama, jenis kelamin, ras, nomor KTP, tanggal lahir, dan tempat kerja penduduk di Xinjiang”, termasuk 6.7 “titik lacak” yang digunakan untuk memetakan pergerakan penduduk selama 24 jam terakhir.

Persoalannya di Cina, tak hanya pemerintah yang bersukacita karena dapat mengawasi tiap gerak gerik warganya. Perusahaan teknologi dan rintisan asal Cina pun panen duit dari tingginya permintaan terhadap CCTV dan teknologi pengenalan wajah. Tencent belum lama ini mengenalkan sistem pembayaran yang dilakukan melalui pemindaian wajah di beberapa jejaring toko waralaba di Cina. Perusahaan seperti Megvii berkibar menjadi start up level unicorn yang bernilai lebih dari 1 miliar dollar gara-gara bisnis pengenalan wajah. Bahkan, WIRED melaporkan bahwa kepolisian di Cina mulai bereksperimen menggunakan kacamata mirip Google Glass yang dapat memindai wajah siapapun di kerumunan–macam Terminator.

Setelah menuai dukungan melimpah dari pemerintah Cina, perusahaan-perusahaan ini mulai merambah pasar mancanegara. Dalam enam bulan pertama 2019, Megvii melaporkan bahwa 4.9 persen pemasukannya berasal dari luar Cina, naik drastis dari 2.7 persen di 2018. Teknologi mereka telah dipasok ke Thailand, dan kompetitor seperti Yitu menyediakan pengenal wajah ke kepolisian Malaysia. Belum lama ini, CloudWalk pun menandatangani kontrak dengan pemerintah Zimbabwe untuk memasang teknologi pengenalan wajah di hampir seluruh jalan raya negara tersebut.

Kamu tentu tidak kaget bila kami bilang bahwa ekspansi perusahaan-perusahaan tersebut berkelindan dengan ambisi pemerintah Cina jadi pemain gede di percaturan global. Ambil contoh kesepakatan baru-baru ini di Zimbabwe. Jalanan tempat teknologi ngeri tersebut terpasang dibiayai oleh program Belt and Road–inisiatif ambisius Cina untuk membiayai pembangunan infrastruktur besar-besaran di berbagai negara berkembang demi memuluskan masuknya investasi Cina. Freedom House pun mengingatkan bahwa melalui inisiatif tersebut, Cina hendak “mengekspor pola pikir” dan ideologi mereka tentang bagaimana pemerintah seharusnya mengatur warganya.

Salah satu perlawanan paling sengit dari upaya Cina ini terjadi di demonstrasi Hong Kong. Meski secara resmi berada di bawah kewenangan pemerintah Cina, Hong Kong memiliki otonomi khusus yang menjadikannya oase demokrasi di wilayah tersebut. Hukum privasi mereka jauh lebih ketat ketimbang Cina daratan. Meski CCTV dengan pengenalan wajah ada di perbatasan dan bandara, warga Hong Kong wajib diberitahu bahwa mereka tengah diawasi. Pemerintah tak bisa seenaknya memasang CCTV, apalagi dengan teknologi pengenalan wajah.

Hanya saja, belakangan muncul tudingan bertubi-tubi bahwa pemerintah Hong Kong betulan memakai teknologi pengenalan wajah di CCTV-nya. Pemimpin kota Hong Kong, Carrie Lam, memang tidak pernah blak-blakan saat ditanya soal keberadaan teknologi pengenalan wajah di sana. Tetapi ada dua hal yang bikin para demonstran Hong Kong jengah.

Pertama, belum lama ini Carrie Lam mengeluarkan peraturan khusus — pertama kalinya aturan khusus digunakan dalam beberapa dekade — yang melarang penggunaan masker dan topeng di jalanan. Aturan absurd ini bikin banyak orang curiga karena masker dan topeng gas punya fungsi handal: mereka menutupi wajah dan bikin kamu tidak mudah dikenali.

Kedua, aturan privasi di Hong Kong dapat dilangkahi bila data tersebut digunakan untuk mencegah tindakan kejahatan. Itulah salah satu alasan kenapa demonstran menuntut agar unjuk rasa tersebut tidak dikategorikan sebagai “kerusuhan”. Kalau dianggap kerusuhan, secara legal, polisi dapat bertindak lebih jauh dari biasanya.

Para demonstran Hong Kong pun mengambil langkah ekstrem: mereka merubuhkan lampu jalanan. Tetapi bukan asal lampu jalan. Tiang-tiang ini digadang-gadang sebagai “smart lamp posts”, CCTV yang sekaligus menghimpun data tentang kemacetan, cuaca, dan kualitas udara. Namun, akibat gerak-gerik mencurigakan Carrie Lam, para demonstran menuding bahwa smart lamp posts tersebut juga mengandung teknologi pengenalan wajah. Tiang-tiang tersebut pun digergaji dan dibongkar.

Masalah besar muncul ketika salah satu smart lamp post dibongkar demonstran. Mereka menemukan sebuah suar GPS berbasis Bluetooth yang digunakan pengelola smart lamp post untuk melacak lokasi perangkat seperti smartphone. Demosisto, salah satu kelompok politik yang mengorganisir unjuk rasa Hong Kong, membeberkan bahwa suar GPS tersebut punya nama dan tipe sama dengan suar bikinan Shanghai Sansi, perusahaan asal Cina daratan. Kecurigaan para demonstran Hong Kong pun seolah terkonfirmasi: pemerintah Hong Kong diam-diam kongkalikong dengan firma serta pemerintah Cina daratan demi mengawasi mereka.

Ada satu pelajaran penting yang dapat kita petik dari hampir semua serial dan film fiksi ilmiah: teknologi yang kelewat kuat akan menjadi senjata makan tuan bila dipegang oleh tangan yang tak bertanggungjawab. Dalam kasus Cina, kita menyaksikan bagaimana teknologi pengenal wajah dan big data berpadu untuk melanggengkan represi terhadap miliaran orang. Di Hong Kong, kita melihat bagaimana masyarakat sipil bergerak demi melawan teknologi tersebut, inci demi inci.

Bila ambisi Bu Risma dilanjutkan oleh Tito Karnavian, Indonesia sebentar lagi menyusul dalam mengenalkan panoptikon secara bertahap. Kita tentu patut bertanya apakah langkah ini bijak, mengingat perlindungan data pribadi yang masih amburadul di Indonesia serta rekam jejak buruk aparat kita dalam melindungi kemerdekaan sipil. Paling tidak, bila semua ini terjadi, mungkin Indonesia akan menjadi subjek cerita dalam serial televisi Black Mirror.

Share: CCTV dengan Pengenal Wajah Akan Jadi Mimpi Buruk Kita