Isu Terkini

Catatan Bagus Selandia Baru, 100 Hari Tanpa Penularan COVID-19

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Selandia Baru kembali jadi sorotan usai mengukir catatan apik dalam penanganan COVID-19. Negara tersebut menandai 100 hari tanpa penularan baru SARS-CoV-2, Minggu (9/8/20). Sejauh ini, Kementerian Kesehatan Selandia Baru menyebut hanya ada total 23 kasus aktif COVID-19. Semuanya terdeteksi saat individu-individu tersebut memasuki negara. Mereka pun segera dirawat di fasilitas isolasi. Direktur Jenderal Kesehatan Masyarakat, Dr. Ashley Bloomfield, berterima kasih kepada semua orang yang telah mengikuti tes.

“Mencapai 100 hari tanpa penularan komunitas adalah tonggak penting, namun, seperti yang kita semua tahu, kita tidak bisa berpuas diri,” kata Ashley seperti dikutip dari Radio New Zealand, Minggu (9/8).

“Kita telah melihat di luar negeri betapa cepatnya virus dapat muncul kembali dan menyebar di tempat-tempat yang sebelumnya terkendali, dan kita perlu bersiap untuk segera membasmi setiap kasus di Selandia Baru pada masa mendatang.”

Ashley mengatakan siapa pun dengan gejala COVID-19 harus berkonsultasi dengan dokter umum atau Healthline mereka, lalu tetap tinggal di rumah.

Perdana Menteri Jacinda Ardern juga mengatakan bahwa catatan 100 hari tidak mengurangi ancaman gelombang kedua COVID-19. Menurutnya, meski belum ada negara lain dengan catatan seperti Selandia Baru, mereka tidak boleh berpuas diri. Dia pun menekankan bahwa Selandia Baru masih harus mengelola perbatasannya dengan sangat hati-hati dan masyarakat harus tetap waspada.

Sementara itu, dikutip dari Time, Minggu (9/8), hidup telah kembali normal di negara kepulauan Pasifik berpenduduk lima juta jiwa itu. Warga Selandia Baru sudah menghadiri pertandingan rugby di stadion yang penuh sesak, ada pula yang sudah duduk di bar dan restoran tanpa takut terinfeksi.

Namun, ada pula orang-orang yang khawatir kalau Selandia Baru mungkin terlena dan tidak mempersiapkan diri dengan cukup baik terkait wabah tersebut di masa depan. Sehingga dikhawatirkan virus akan kembali muncul.

“Sains yang bagus dan kepemimpinan politik yang hebat telah menciptakan perbedaan,” kata profesor Michael Baker, seorang ahli epidemiologi di Universitas Otago. “Jika Anda melihat ke seluruh dunia pada negara-negara yang berhasil menangani pandemi, biasanya ada kombinasi itu.”

Sejak awal, Selandia Baru menjalankan strategi berani untuk memberantas virus ketimbang hanya menekan penyebarannya. Baker mengatakan negara-negara lain semakin ingin mencari jawaban dari kebijakan efektif Selandia Baru.

“Seluruh Dunia Barat telah salah menangani ancaman ini, dan mereka menyadarinya sekarang,” ucap Baker. Menurut Baker, banyak pemimpin melihat dikotomi yang salah antara menyelamatkan nyawa atau menyelamatkan ekonomi mereka. Padahal sebenarnya, lanjut Baker, bisnis bisa berkembang dengan sangat baik ketika mereka memiliki kepastian tentang hal-hal seperti penyakit.

Memang, perekonomian Selandia Baru bernasib lebih baik dari yang diperkirakan banyak orang. Negara ini berhasil mempertahankan tingkat pengangguran hanya empat persen saja. Meskipun banyak ekonom mengatakan angka tersebut tidak memperhitungkan hilangnya pekerjaan baru-baru ini dan kemungkinan akan menjadi lebih buruk secara signifikan setelah subsidi gaji yang didanai pemerintah berakhir bulan depan.

Sementara itu, pengalaman dari beberapa negara lain seperti Vietnam dan Australia, menunjukkan betapa mudahnya virus dapat muncul lagi bahkan ketika sepertinya sudah dikendalikan. Baker mengatakan Selandia Baru tetap dalam mode siap siaga dan tidak melakukan perencanaan yang cukup untuk mencegah virus keluar.

Langkah Selandia Baru Menangani COVID-19

Sejak menutup perbatasannya dan menerapkan lockdown ketat pada 19 Maret lalu, Selandia Baru terus menuai pujian terkait penanganan efektif terhadap COVID-19. Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memuji negara tersebut sebagai contoh karena telah berhasil menghilangkan penularan komunitas.

Langkah yang diambil Selandia Baru itu benar-benar menghentikan penyebaran virus SARS-CoV-2. Selama tiga bulan terakhir, satu-satunya kasus baru muncul dari pelancong yang kembali, yang telah dikarantina di perbatasan.

Sejak pasien pertama didiagnosis pada Februari, ada 1.219 kasus virus yang dikonfirmasi di Selandia Baru dengan kasus penularan komunitas terakhir tercatat pada 1 Mei lalu. Alhasil, penduduk Selandia Baru kini sudah bisa menjalankan hidup secara normal, meski pihak berwenang tetap mengontrol perbatasan secara ketat dan semua kedatangan diharuskan menjalani karantina selama 14 hari.

Adapun perjalanan penting dari penanganan COVID-19 di Selandia Baru adalah sebagai berikut:

Pada akhir Mei lalu, pemerintah Selandia Baru mengumumkan tak ada lagi kasus COVID-19 di wilayahnya selama lima hari berturut-turut. Pasien terakhir yang dirawat di rumah sakit dilaporkan sudah sembuh.

“Saya pikir ini adalah yang pertama kalinya dalam beberapa bulan terakhir, kami tak memiliki pasien Corona di rumah sakit. Ini adalah sesuatu yang bagus,” kata Dirjen Kesehatan Selandia Baru, Ashley Bloomfield, seperti dikutip dari Radio New Zealand, Rabu (27/5).

Memasuki Kamis (4/6), Selandia Baru mengumumkan sudah tidak memiliki kasus aktif COVID-19. Bahkan, selama 12 hari di Selandia Baru tidak ada pasien COVID-19 yang berada di rumah sakit.

“Saat ini sudah tidak ada kasus aktif di New Zealand. Kami telah menguji hampir 40.00 orang untuk COVID-19 dalam 17 hari terakhir dan tidak ada yang dinyatakan positif Corona,” kata Jacinda Ardern. Saat itu juga pemerintah Selandia Baru membuka perekonomian warga dan menghentikan karantina.

Pada Kamis (18/6), Selandia Baru kembali melaporkan satu kasus baru COVID-19 di wilayahnya dalam 24 jam terakhir. Satu kasus baru ini berasal dari seorang pelancong asal Pakistan. Adapun kasus impor ini dilaporkan setelah dua kasus impor lainnya yang dilaporkan pada awal pekan.

Pejabat kesehatan Selandia Baru pun meminta maaf atas munculnya kasus-kasus baru tersebut. Satu kasus terbaru yang dilaporkan di Selandia Baru ini melibatkan seorang pria berusia sekitar 60 tahun yang menjalani karantina usai tiba dari Pakistan pada 13 Juni, dengan pesawat Air New Zealand via Melbourne, Australia. Pria tersebut menunjukkan gejala COVID-19 pada 15 Juni.

Perjalanan penanganan COVID-19 di Selandia Baru itu tentu saja akan menjadi patokan pemerintah untuk tetap waspada terhadap kemunculan kasus baru. Misalnya saja kalau melihat Vietnam, yang selama tiga bulan terakhir sempat tanpa penularan kasus COVID-19 domestik, baru-baru ini justru berjuang untuk mengendalikan wabah di Da Nang.

Demikian pula tetangga Selandia Baru, Australia. Melbourne, kota terbesar kedua negara tersebut, telah di-lockdown selama enam minggu karena lonjakan kasus. Gelombang kedua kasus di Melbourne sebagian besar disebabkan oleh pelanggaran karantina.

Minggu lalu, Selandia Baru pun meningkatkan pengujian di fasilitas dan klinik karantina, dan mulai menyiapkan pelacakan berbasis Bluetooth.

Share: Catatan Bagus Selandia Baru, 100 Hari Tanpa Penularan COVID-19