Vaksin Covid-19

Campuran Vaksin Diyakini Bisa Bentuk Antibodi Lebih Tinggi, Apa Alasannya?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Vaksin Covid-19 yang berbeda jenis disebut mampu menghasilkan respons kekebalan alias antibodi yang kuat. Melansir CNBC, studi yang dipimpin oleh Universitas Oxford, Inggris mengklaim hal tersebut sebagai fakta baru penelitiannya. Benarkah demikian?

Diyakini Bentuk Antibodi Tinggi

​Para peneliti Universitas Oxford menggabungkan vaksin yang mereka kembangkan dengan suntikan Pfizer/BioNTech. Universitas Oxford adalah pihak yang mengembangkan vaksin yang didistribusikan oleh AstraZeneca ke seluruh dunia.

Para ilmuwan ini juga memimpin studi Com-COV, yang dijalankan oleh Konsorsium Evaluasi Jadwal Imunisasi Nasional, yang dibiayai oleh pemerintah setempat dengan dana dukungan sebesar US$9,7 juta.

Baca Juga: Covid-19 Sedang Tinggi, Kok Wapres Ajak ke Raja Ampat? | Asumsi

Meski demikian, hasil penelitiannya menunjukkan respons dari masing-masing imun dapat berbeda menurut urutan imunisasi.

“Kedua jadwal ‘campuran’ (Pfizer/BioNTech diikuti oleh AstraZeneca, dan AstraZeneca diikuti oleh Pfizer/BioNTech), menginduksi konsentrasi antibodi yang tinggi terhadap protein IgG lonjakan SARS-CoV2, ” demikian ditulis laporan peneliti Oxford yang diterbitkan di jurnal pracetak Lancet, pada awal pekan ini.

Peneliti menyimpulkan, hasil gabungan jadwal vaksinasi menggunakan dua jenis vaksin ini berpotensi ampuh untuk melawan Covid-19 dan menginduksi antibodi yang lebih tinggi. Penggunaan dosis vaksin yang berbeda itu artinya tidak dicampurkan secara langsung, tetapi disuntikkan dalam jangka waktu empat minggu secara terpisah.

“Kedua jadwal campuran menginduksi antibodi yang lebih tinggi daripada dua dosis standar suntikan AstraZeneca,” lanjut hasil penelitian tersebut.

Sejauh ini, dua dosis vaksin AstraZeneca direkomendasikan untuk diberikan dalam vaksinasi Covid-19, dengan selang waktu delapan hingga 12 minggu.

Berdasarkan hasil uji peneliti Oxford, kesenjangan yang lebih panjang antara dosis meningkatkan kemanjuran vaksin AstraZeneca menjadi 82,4%, terhadap infeksi COVID-19 yang bergejala.

Indonesia Tertarik Enggak?

Juru Bicara Vaksinasi COVID-19 Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, Siti Nadia Tarmizi, menilai, hasil penelitian ini masih perlu diteliti lebih lanjut secara ilmiah. Ia bilang, Indonesia belum berencana melakukannya.

“Secara saintifik, perlu ada penelitian yang mendukung asumsi tersebut. Sudah lah, saat ini kalau suntikan pertamanya dapat vaksin buatan Sinovac ya kedua, tetap pakai Sinovac. Kemudian kalau pertamanya divaksin pakai AstraZeneca ya, AstraZeneca juga suntikan keduanya. Lagian efek samping vaksinnya perlu dipantau juga kan. Kalau dicampur harus ada uji klinis yang memastikan efek sampingnya tidak berbahaya,” kata Nadia kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Selasa (29/6/21).

Baca Juga: Rutin Sumbang Banyak Kasus Harian, Ini Strategi DKI Hadapi Covid-19 | Asumsi

Ia menerangkan, hal yang perlu diteliti lebih lanjut dari riset ini adalah sberapa besar khasiatnya penggunaan vaksin campuran tersebut untuk melawan Covid-19 bagi yang belum pernah terinfeksi.

“Bukan cuma dari sifatnya secara khasiat saja, tapi juga perlu diketahui berapa banyak antibodi yang muncul yang katanya lebih tinggi daripada pakai jenis vaksin yang sama untuk disuntikan ke tubuh. Kalau memang pembentukan antibodi lebih cepat dan lebih berkhasiat melawan Covid-19, tapi efek sampingnya banyak, buat apa? Kan, kita enggak mau ambil risiko,” imbuh wanita yang juga menjabat Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes ini.

Nadia menambahkan, berdasarkan data Kemenkes RI, vaksin CoronaVac buatan Sinovac dan AstraZeneca sama-sama efektif membentuk antibodi untuk melawan virus Corona.

“Keduanya sama saja kok, buat bentuk antibodi. Sinovac ini kan, efikasinya lebih tinggi 65 persen kalau AstraZeneca 62 persen. Kembali lagi sebenarnya, orang tertular dengan enggak tertular, bergantung lagi pada protokol kesehatan yang dijalankan. Vaksin ini kan, tidak menjamin 100 persen menghindari penularan,” kata Nadia. 

“Vaksin melindungi dari beratnya penyakit saat terpapar dengan risiko kematian. Kalau nakes banyak yang meninggal itu karena faktor komorbid dan kelelahan pasiennya sedang banyak-banyaknya. Makanya kita jangan menambah beban mereka dengan abai pada protokol kesehatan, sekali pun sudah divaksin,” lanjutnya.

Baca Juga: Beda Vaksinasi Anak di China, Amerika, dan Indonesia | Asumsi

Apa Kata Epidemiolog?

Epidemiolog Universitas Griffith di Australia, Dicky Budiman, meyakini kalau hasil penelitian ini merupakan bentuk kesigapan para peneliti, terhadap manajemen risiko vaksinasi di dunia, khususnya di Inggris.

​”AstraZeneca dan Pfizer digunakan untuk vaksinasi campuran, dilakukan penelitian di Inggris, sebetulnya bagian dari manajemen risiko. Mereka sudah bisa memperkirakan akan ada kekurangan stok dari vaksin AstraZeneca. Kemudian mereka juga melihat, sebagian masyarakat yang enggak mau lagi disuntik AstraZeneca. Jadi sebenarnya, proteksinya harus ada dan ini bagian dari itu,” jelasnya saat dihubungi terpisah.

Ia menegaskan, kalau penelitian ini bukanlah bualan. Bahkan, berisiko karena mencampurkan vaksin dianggap bisa membahayakan dan menyebabkan kematian bagi manusia. Tak hanya itu, mencampurkan dua jenis vaksin berbeda dengan jangka waktu tertentu, bukanlah hal yang baru di bidang kesehatan, terutama buat mencegah penularan penyakit.

“Hasil penelitiannya sudah terbukti bagus dalam membentuk imun. Saya sudah baca hasilnya. Ini sebetulnya bukan hal baru untuk mencampurkan suntikan vaksin. Waktu ebola juga begitu, yaitu mengkombinasikan vaksin. Opsi suntikan selanjutnya dengan Pfizer, kalau nantinya kehabisan stok AstraZeneca ini, enggak masalah dan bisa diterapkan di Indonesia,” tandasnya.

Share: Campuran Vaksin Diyakini Bisa Bentuk Antibodi Lebih Tinggi, Apa Alasannya?