Isu Terkini

Caleg PKS yang Diduga Cabuli Anak dan Pentingnya Sahkan RUU Penghapus Kekerasan Seksual

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Seorang calon legislatif (caleg) dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dilaporkan ke polisi dengan dugaan kasus pencabulan terhadap anak kandungnya sendiri. Caleg berinisial AH dan tersebut mendaftarkan diri jadi anggota dewan di Pasaman Bara, Sumatera Barat. Informasi ini telah dikonfirmasi oleh pihak kepolisian setempat.

“Iya, memang ada laporan yang masuk. Sedang dalam penyelidikan kita. Terlapor ini sudah diakui oleh korban. Berinisial ‘AH’ yang masih dalam proses pencarian,” kata Kapolres Pasaman Barat AKBP Iman Pribadi Santoso pada media, Rabu, 13 Maret 2019.

Sayangnya, konon AH kini sudah pergi meninggalkan Sumatera Barat. Dari informasi yang didapat pihak polisi, AH sudah pergi ke Jakarta. Iman mengakui bahwa terlapor merupakan seorang yang kebetulan ikut dalam pemilihan legislatif (pileg). Kini polisi tengah menyelidiki, termasuk soal ada-tidaknya ancaman kepada korban.

Respon Pengurus PKS

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) PKS Kabupaten Pasaman Barat, Sumatera Barat, Fajri Yustian, membenarkan bahwa AH merupakan caleg yang dicalonkan dari partainya. Fajri membeberkan bahwa AH menjadi caleg nomor urut 4 di Daerah Pemilihan Pasaman Barat 3, Kecamatan Sungai Aur. Namun, Fajri menegaskan bahwa AH bukanlah kader PKS.

“Jangan salahkan partai (atas kasus pencabulan). Dia bukan kader, tapi caleg yang kita rekrut menjelang pencalonan anggota legislatif karena ketokohannya,” ujar Fajri pada Rabu, 13 Maret 2019.

Menurut Fajri, AH dicalonkan sebagai caleg karena dorongan masyarakat, meskipun PKS tidak mengetahui secara rinci tentang kehidupan pribadinya. Fajri mengaku selama ini PKS hanya mengenal AH sebagai guru ngaji, imam masjid, dan tokoh masyarakat. Terkait dugaan pencabulan tersebut, Fajri mengingatkan untuk mencari pembuktiannya terlebih dahulu.

“Jadi kita tidak bisa memvonis (soal kasus pencabulan), ini baru dugaan. Dugaan yang harus ada bukti di pengadilan, apakah yang bersangkutan betul bersalah?” kata Fajri.

Fajri mengatakan bahwa PKS hingga saat ini masih mendukung langkah polisi untuk mengusut kasus tersebut sesuai prosedur hukum. Ia berpegang teguh pada prinsip berkeadilan, di mana para tersangka yang memang melakukan tindakan kejahatan haruslah diproses secara hukum.

“Tapi tetap pada prinsipnya PKS tidak mentolerir sikap perilaku demikian, siapapun pelakunya. Kalau terbukti silakan hukum, hukum seberat-berat. Tapi silakan yang bersangkutan diberi kesempatan untuk melakukan klarifikasi, tapi sayangnya tidak bisa dihubungi. Kami, PKS, selalu proaktif untuk menghubungi yang bersangkutan,” ucap Fajri.

RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang Ditolak PKS

Fraksi PKS DPR RI menolak draf Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) dengan alasan masukan perubahan mereka tidak diakomodir. Meskipun, menurut pengakuan Ketua Fraksi PKS DPR Jazuli Juwaini, pihaknya sangat berkomitmen memberantas kejahatan seksual. Namun, PKS masih menginginkan adanya perubahan nama RUU menjadi RUU Penghapusan Kejahatan Seksual.

“Kita butuh undang-undang yang tegas dan komprehensif yang melandaskan pada nilai-nilai Pancasila, agama, dan budaya bangsa bukan dengan peraturan yang ambigu dan dipersepsi kuat berangkat dari paham/ideologi liberal-sekuler yang sejatinya bertentangan dengan karakter dan jati diri bangsa Indonesia itu sendiri,” tegas Jazuli dalam keterangannya, Kamis, 7 Februari 2019 lalu.

Bagi Jazuli, istilah ‘Kejahatan Seksual’ lebih memenuhi kriteria dibanding ‘Kekerasan Seksual’. Menurut Jazuli, sejumlah tokoh agama dan elemen masyarakat menilai RUU PKS tersebut memiliki potensi membolehkan kegiatan seks di luar nikah dan hubungan orientasi homoseksual.

Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Sri Nurherwati, seperti dilansir oleh kantor berita Antara, menjelaskan bahwa terminologi “kekerasan” yang ditolak oleh fraksi PKS DPR RI tidak sejalan komitmen pemerintah Indonesia yang sudah meyetujui Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan yang ditetapkan oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa di tahun 1979. Selain konvensi PBB tersebut, pemerintah Indonesia juga sudah menggunakan terminologi “kekerasan” ketika meluncurkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga.

Selain menangguhkan definisi “kekerasan seksual,” RUU PKS juga mengatur kurikulum dan pembangunan infrastruktur seperti pemasangan kamera closed circuit television (CCTV). Kemudian, soal hukum acara, yang meliputi pelaporan hingga persidangan. Komnas Perempuan ingin menciptakan proses hukum yang lebih merangkul memperhatikan hak korban.

Ada sembilan bentuk kekerasan seksual yang ingin dipertahankan Komnas Perempuan dalam RUU tersebut, dan semua poin ini disimpulkan dari pengalaman mereka dalam menangani berbagai kasus. Sembilan tindak pidana kekerasan seksual terdiri dari pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan pelacuran, perbudakan seksual, dan penyiksaan seksual. Tentunya dari poin-poin tersebut, kasus pencabulan pada anak seperti yang dilakukan oleh caleg PKS berinisial AH bisa lebih jelas penanganan kasusnya.

Share: Caleg PKS yang Diduga Cabuli Anak dan Pentingnya Sahkan RUU Penghapus Kekerasan Seksual