Budaya Pop

Blunder Terbaru Donald Trump: Berkonflik dengan Militernya Sendiri

Raka Ibrahim — Asumsi.co

featured image

Bukan Donald Trump namanya kalau tidak mengundang kehebohan. Namun, kali ini tampaknya Presiden Amerika Serikat itu jatuh ke lubang yang kelewat dalam. Akibat serangkaian kebijakan yang meleset, pernyataan yang asal-asalan, serta konflik internal, kini sahabat kita semua itu tengah otot-ototan dengan para petinggi militernya sendiri. Dan kali ini, dampaknya bisa fatal bagi peluangnya dilantik lagi sebagai presiden.

Bola mulai bergulir pekan lalu, saat The Atlantic mempublikasikan berita yang menggegerkan tentang kunjungan Trump ke Perancis, dua tahun lalu. Kala itu, Trump diundang untuk mengunjungi sebuah pemakaman khusus veteran perang AS di Paris sebagai gestur penghormatan sekaligus untuk memperingati 100 tahun selesainya Perang Dunia I.

Kabarnya, Trump menolak ajakan kunjungan tersebut, berkelakar bahwa tentara-tentara yang telah wafat itu adalah “pecundang” dan “orang-orang tolol”. Lebih membingungkan lagi, Trump juga enggan berangkat ke pemakaman tersebut karena cuaca sedang tidak cerah benderang, dan ia takut hujan akan bikin rambutnya berantakan.

Iya, rambut Trump. Yang rapi, indah, dan menggugah selera itu.

Klaim tersebut lekas-lekas disanggah oleh Gedung Putih. Trump sendiri menyatakan bahwa berita The Atlantic sekadar “hoaks yang didorong oleh kepentingan politik”, terlebih lagi menjelang Pilpres AS 2020 yang akan ketat bukan main. Namun, orang dalam di pemerintahan Trump mengkonfirmasi bahwa pernyataan tersebut benar adanya. Dua petinggi dinas kontra-teror di Department of Homeland Security bahkan menyatakan “sudah jadi rahasia umum bahwa Trump tidak suka pada tentara yang terbunuh atau terluka di tengah peperangan.”

Belum kelar kontroversi akibat pernyataan tersebut, kemarin (7/9) Trump ngegas lagi ke militer dalam jumpa pers. Ia mengaku bahwa meski para tentara mencintai dia, petinggi militer dan Pentagon tidak senang kepadanya karena “mereka ingin menyenangkan perusahaan-perusahaan gede yang mengeruk keuntungan dari peperangan.”

Respons dari pihak militer tentu saja tidak menggembirakan. Pensiunan Admiral AL John Kirby menyatakan bahwa Trump “tak hanya menghina tentara yang melayani negara dan orang-orang yang mereka pimpin, tapi juga memperkuat dugaan publik tentang perasaannya yang sesungguhnya terhadap militer.” Bahkan James Mattis, jenderal kenamaan yang mundur sebagai Menteri Pertahanan AS pada 2018, menyebut Trump “presiden pertama yang sama sekali tak mencoba mempersatukan rakyat AS, malah mencoba memecah belah rakyatnya sendiri.”

Bahkan sebelum investigasi The Atlantic dan blunder terbaru Trump di konferensi pers, hubungan antara sang presiden dengan militernya sudah memburuk. Menhan Mark Esper kabarnya berantem dengan Trump karena sang presiden ingin meloloskan UU yang akan memaksa tentara turun ke jalan untuk berhadap-hadapan langsung dengan para demonstran #BlackLivesMatter.

Sementara Jenderal Mark Milley, ketua Joint Chiefs of Staff, berkonflik dengan Trump karena sang presiden menjegal serangkaian reformasi yang hendak dilakukan pemerintah terhadap militer. Upaya militer menghapus simbol-simbol Konfederat–separatis selatan AS yang mendukung perbudakan selama Perang Saudara–diveto oleh Trump. Serangkaian program inklusi berdasarkan ras dan gender pun dihalang-halangi oleh Trump, padahal program itu dicetuskan oleh orang dalam militer itu sendiri.

Baru-baru ini, Milley angkat tangan. Ia menegaskan bahwa bila terjadi konflik pascapilpres karena hasilnya yang tidak diterima setiap pihak, militer tidak akan turun gunung untuk menengahi perdebatan tersebut. Ia menegaskan bahwa militer AS “akan terus apolitis” dan tidak membela presiden bila ada tantangan terhadap hasil Pilpres 2020 nanti.

Bencana ini tentu tak luput dari perhatian partai Demokrat dan pesaing Trump di Pilpres nanti, Joe Biden. Seperti diwartakan The New York Times, dukungan terhadap Trump yang tadinya kuat perlahan terkikis selama empat tahun kepemimpinannya. Kini mereka siap memanfaatkan keadaan. Tak lama setelah blunder ganda Trump, mereka langsung menggencarkan kampanye iklan yang menyasar veteran perang dan anggota kesatuan.

Organisasi veteran perang VoteVets yang pro-Demokrat berhasil menggalang dana 100 ribu dollar AS hanya dalam waktu lima jam setelah sebuah iklan yang menyerang Trump habis-habisan disiarkan. Politisi Demokrat yang juga veteran perang, seperti senator Tammy Duckworth dan eks-capres Pete Buttigieg, juga bergantian muncul di iklan untuk menyerang Trump.

Dalam Pilpres 2020 nanti, pergerakan Demokrat ini bisa saja krusial. Seperti diutarakan analis politik Nathan Gonzales, Trump memang dibantu oleh suara yang tinggi dari veteran perang dan anggota kesatuan. Namun, di banyak negara bagian, pemilih Trump yang non-veteran tidak sebanyak itu. Biden tidak perlu membuat semua veteran perang berbalik memilihnya. Ia hanya perlu meyakinkan beberapa persen pemilih dari militer untuk menarik suara dari Trump, dan momentum akan sepenuhnya di tangan Demokrat.

Apakah Trump akan selamat dari blundernya kali ini?

Share: Blunder Terbaru Donald Trump: Berkonflik dengan Militernya Sendiri