Vaksin Covid-19

Berjuang di Tengah Pandemi, Ini Para Perempuan Peneliti Vaksin Merah Putih

M. Ashari — Asumsi.co

featured image
Dokumentasi

Betapa banyak perubahan terjadi dalam ruang sosial perempuan saat ini. Sekitar seratus tahun lalu, Raden Adjeng Kartini mengungkapkan keluh kesah mengenai adat istiadat di sekitarnya yang dianggap mengekang kaum perempuan untuk menempuh pendidikan. Keluh kesah itu ia tuangkan dalam surat-surat untuk sahabat penanya di Belanda.

Namun, bila Kartini bisa melihat ruang sosial kaum perempuan saat ini, suka citanya mungkin akan tumbuh berkali lipat. Ia mungkin akan bersuka cita ketika melihat perempuan saat ini ternyata tidak harus tinggal di dalam rumah selepas umur 12 tahun dan hanya menunggu dipersunting pria asing. Perempuan Indonesia saat ini ternyata bisa berangkat ke Bristol, Inggris, hanya karena berminat mempelajari patologi dan mikrobiologi.

Untuk menghormati cita-cita Kartini dalam hal pendidikan, merenungkan kembali ruang sosial perempuan yang telah mengalami banyak perubahan sampai hari ini, akan sedikit diulas tentang kiprah perempuan dalam ranah ilmu pengetahuan dan teknologi. Khususnya lagi, para perempuan yang kesehariannya kini disibukkan dengan penelitian vaksin Merah Putih.

Pandemi Covid-19 belum usai. Dan di ruang-ruang laboratorium dingin yang jauh dari pandangan orang biasa, terdapat mereka yang berjibaku tanpa lelah mencari vaksin untuk melawan virus Corona. Dalam upaya pencarian itu, kaum perempuan turut berpartisipasi. Perempuan-perempuan yang berpartisipasi itu dibekali oleh seperangkat ilmu pengetahuan serta keahlian yang, tentunya, tidak sembarangan. Inilah perempuan-perempuan itu:

Ernawati Arifin Giri-Rachman

Perempuan kelahiran Bandung, 31 Juli 1970, ini mengawali karir di bidang vaksin dengan belajar di Program Studi Kimia, ITB, pada tahun 1993. Empat tahun berselang, perempuan yang kini bekerja di Sekolah Ilmu Teknologi Hayati (SITH) ITB ini melanjutkan studi pascasarjana di bidang yang sama. Pada tahun 2003, peneliti di Pusat Penelitian Biosains dan Bioteknologi ITB ini kemudian melanjutkan studi S3 di University of Bristol, Inggris, dengan konsentrasi studi patologi dan mikrobiologi.

Pergumulan Ernawati dalam bidang studi patologi dan mikrobiologi ini membuat arah hidupnya menjadi seperti sekarang ini, yaitu meneliti vaksin Merah Putih bersama timnya di ITB.  Dalam sebuah webinar bertajuk “Kartini-kartini dalam Inovasi Indonesia”, Rabu (21/4/2021), Ernawati bercerita tentang kesan-kesannya sebagai perempuan yang berkutat di penelitian vaksin selama ini.

Ernawati mengaku, dirinya cukup beruntung selama ini berada dalam lingkungan penelitian vaksin. Pasalnya, banyak dari peneliti di lingkarannya yang juga perempuan. “Jadi, mungkin (tantangan sebagai perempuan) tidak terlalu terasa di bidang ini, (tantangan) antara perbedaan perempuan dan laki-laki. Kami memiliki banyak kesempatan untuk mengeksplorasi lebih banyak lagi,” kata Asisten Profesor dalam bidang Molekular Biologi ITB ini.

Dalam perbincangan itu, Ernawati justru mengatakan, bila tantangan terberat dalam lingkungan penelitian vaksin justru bukanlah dalam hal perbedaan gender. Tantangan terberat justru datang dari diri sendiri.

“Saya sih merasa tantangan terberat datang dari diri sendiri. Bagaimana kita supaya bisa tetap fokus pada misi. Jadi, kalau, misalnya, masalah dana dan peralatan, itu klasik. Itu dihadapi oleh semua. Tapi, yang menjadi tantangan tersendiri itu adalah menjaga konsistensi,” ujarnya.

Ucapan Ernawati itu bukan tanpa dasar. Mengembangkan vaksin dari nol adalah perjalanan yang rumit, panjang dan melelahkan. Butuh beberapa tahapan uji klinis, dimana dari tahapan yang dilalui itu, vaksin yang dikembangkan belum pasti lolos uji. Tahapan itu bahkan bisa berlangsung tahunan. Oleh sebab itu, diperlukan konsistensi dalam pengerjaannya.

“Kerja (mengembangkan) vaksin itu perjalanannya panjang. Nah, bagaimana caranya kita supaya bisa tetap fokus. Jangan baper gitu ya. Baper dikomentarin, ditanya ‘kapan selesai (mengembangkan vaksin)’,” tuturnya.

Neni Nurainy

Perempuan lulusan Farmasi dan Apoteker ITB tahun 1996 ini kini menjabat sebagai Project Senior Integration Manager Research and Development Division PT Bio Farma. Keahliannya adalah di bidang vaksionologi. Neni juga terlibat dalam pengembangan vaksin Merah Putih. Hal itu ditandai dengan keanggotaannya di Tim Pengembangan Vaksin Covid-19 yang dibuat oleh Kementerian Riset dan Teknologi/Badan Riset dan Inovasi Nasional.

Meski sama-sama meneliti vaksin, tapi iklim penelitian Neni berbeda dengan yang dijalani oleh Ernawati. Neni berada dalam iklim penelitian yang berorientasi industri. Artinya, riset-riset yang dilakukan haruslah diterjemahkan ke dalam suatu produk dan upaya penerjemahannya itu memiliki aturan-aturannya tersendiri yang harus dipatuhi.

“Saya, sebagai periset di Bio Farma, tentunya beda iklimnya dengan, tadi, Bu Erna (Ernawati). Jadi, kita riset translasi yang benar-benar mengarahkan bagaimana hasil berupa konsep di Ibu Erna itu tadi bisa kita translasikan menjadi satu produk. Nah, tentunya harus banyak aturan-aturan yang harus kita penuhi juga,” kata Neni, dalam acara webinar yang sama.

Begitu juga dalam pengembangan vaksin Merah Putih. Ia mengatakan, ada tiga hal yang dikejar dalam pengembangan vaksin tersebut, yakni kecepatan, aksesibilitas vaksin dan skalabilitasnya. Tiga hal tersebut dikatakannya harus dikejar karena situasinya adalah pandemi. Dengan demikian, perlu penanganan secepatnya dengan mencakup skala sebesar mungkin.

Akibat kondisi itu pula, ia mengatakan, bahwa situasi kerja di tengah pandemi ini membuat kesehariannya menjadi sangat sibuk. “Mungkin kita kaya apa ya, mungkin 24 jam kerja. Vaksin ini kan penting sekali ya. Percepatan adalah salah satu yang utama ya. Jadi, kita perlu kerja sama terus-menerus. Bahkan, mungkin daily coordination, ya, di setiap bidang kita. Jadi, ada bidang produksi, quality control, regulasi, gitu,” ujarnya.

Di tengah kondisi tersebut, ia menuturkan mengenai sistem dukungan, baik di rumah maupun tempat kerja, bagi dirinya dalam menjalani peran sebagai peneliti. Menurutnya, lingkungan di rumah, dalam relasinya dengan kehidupan keluarga, sangat mendukung untuk peran yang ia jalani saat ini. “Suami alhamdulillah sangat mendukung. Sejak saya kuliah S3 itu beliau sangat mendukung. Kan, saya sedang hamil besar. Jadi, waktu sidang, (usia kandungan) saya 8,5 bulan ya. Hampir lahir, takut setelah sidang saya langsung delivery, jadi sudah disediakan ambulan. Nah, jadi pada saat itu, ketika usia kandungan sangat besar, suami ikut membantu dalam hal penyusunan tesis. Paling tidak, membantu edit tuh kalau lagi bingung. Namanya Ibu hamil kalau lagi kecapaian,” katanya.

Sementara dalam lingkungan kerja, ia mengatakan, situasinya cukup mendukung karir perempuan. Neni menuturkan, Bio Farma pernah mendapatkan penghargaan dari Pemerintah Provinsi Jawa Barat sebagai perusahaan yang mendukung karir perempuan. “Jadi di kami disediakan fasilitas yang mendukung karir perempuan. Dan kemarin, pada 20 April itu, Pak Erick Thohir menyampaikan, sebagai salah satu launching Srikandi BUMN. Jadi, ada suatu wadah bagi perempuan supaya berkiprah secara optimal di BUMN,” tuturnya.

Retno Ayu Setya Utami

Rento, bisa dibilang, peneliti bungsu dibandingkan kedua perempuan yang telah disebutkan sebelumnya. Perempuan yang sempat mempelajari ilmu biologi medis di University of Melbourne ini adalah kelahiran 1989. Meski demikian, minat dan keahlian yang dikembangkan selama ini telah membuatnya menjadi peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. Ia juga dilibatkan dalam proyek pengembangan vaksin Merah Putih.

Ia mengaku, pada awalnya berkonsentrasi di bidang molekuler, utamanya dalam hal penelitian variasi genetik untuk plasmodium. “Jadi kami mengumpulkan sampel plasmodium dari beberapa site di Indonesia dan kemudian kami analisis variasinya untuk dibuat database, untuk Indonesia,” katanya.

Kemudian, beberapa tahun di Eijkman, ia mengaku, mendapatkan kesempatan untuk melanjutkan sekolah master di University of Melbourne. Sejak kuliah di Australia ini fokus kajiannya bergeser ke bidang imunologi. Begitu juga ketika ia telah kembali ke Indonesia, bidang pekerjaannya bergeser ke bidang imunologi. Tak lama kemudian, pandemi Covid-19 datang. Ia mengenang, ketika pandemi datang, dirinya tengah melahirkan anaknya yang kedua. “Saat masa cuti melahirkan, saya ditelefon untuk ditawarkan ke tim vaksin. Jadi, sudah selama setahun ini saya mengerjakan vaksin Merah Putih,” katanya.

Ia mengatakan, dalam perjalanan mengembangkan vaksin Merah Putih, tekanannya cukup tinggi. Terlebih lagi, masyarakat Indonesia dikatakannya sangat mengharapkan vaksin ini. Meski demikian, hal itu diakuinya tidak membuat down. Pasalnya, ia mengetahui bahwa pekerjaan yang tengah dijalaninya saat ini sangat penting.

“Kita melakukan yang terbaik, yang bisa kita lakukan di tengah pandemi ini, yang terbatas memang pergerakannya, tapi kita lakukan yang terbaik untuk bisa memproduksi vaksin sendiri. Untuk pertama kalinya di Indonesia, kita benar-benar membuat vaksin dari nol, karya anak bangsa. Ya, cukup, pressure cukup tinggi,” katanya.

Meski demikian, ia mengatakan sistem pendukung di rumah menjadi penting bagi dirinya. Menurutnya, suami mendukungnya supaya bisa bekerja sesuai hasrat. “Tentunya kalau tidak ada dukungan dari keluarga, ini akan sangat challenging. Sangat sulit untuk dilakukan, terutama karena saya punya dua anak dan yang paling kecil masih belum setahun,” tuturnya.

Begitu juga dukungan bagi rekan kerja di Eijkman. Menurutnya, sebagian besar peneliti yang ada di Eijkman saat ini adalah perempuan. “Jadi kita juga saling menguatkan, saling mendukung,” tuturnya.


Share: Berjuang di Tengah Pandemi, Ini Para Perempuan Peneliti Vaksin Merah Putih