Budaya Pop

Benarkah Orang Indonesia Sulit Menerima Budaya Sendiri Jadi Karya Kreatif?

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: Galeri Indonesia Kaya

Banyak masyarakat belum mengetahui karya kreatif mengandung unsur budaya Indonesia yang diciptakan oleh kreator lokal. Sorotan lebih banyak diarahkan kepada karya dari luar membuat pergerakan industri kreatif negeri sendiri terkesan lamban.

Hal yang kemudian menjadi perhatian adalah kemungkinan orang Indonesia yang dianggap kurang menerima budaya sendiri yang diaplikasikan ke dalam karya kreatif. Benarkah demikian?

Perlu Inovasi

Mantan Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), Ricky Joseph Pesik menilai pergerakan industri kreatif Indonesia saat ini memang bisa dikatakan belum progresif. 

Menurutnya, tantangan terbesar industri kreatif Indonesia saat ini adalah belum terpikir untuk mengarahkan pergerakannya pada aspek inovasi dari segi penyajian dan distribusinya.  

“Kalau yang basis revenue-nya berupa distribusi pemasaran produk fisik, itu justru kelihatannya lagi enak-enak dan bagus-bagusnya apalagi ekosistem e-commerce kita jadi kendaraan yang sangat ideal,” katanya kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Jumat (20/8/21).

Ia mengungkapkan pertumbuhan industri kreatif yang berbasiskan e-commerce saat ini memang sedang berkembang di Indonesia namun belum dimanfaatkan secara maksimal. 

“Sektor digital kita lagi berkembang. pada akhirnya untuk mencapai popularitas yang paling penting saat ini kreativitas bagaimana memonetisasinya,” ujarnya. 

Ia mencontohkan seperti di bidang perfilman yang acuan keuntungannya masih berbasis pada jumlah audiens. Hal inilah yang akhirnya membuat industrinya terdampak berat saat ini. 

“Acuannya di kita sayangnya masih berdasarkan jumlah penonton yang menyaksikan filmnya. Ini kan, sekarang jadi tantangan besar bagaimana cara migrasinya ke streaming. Jadi bagaimana perhitungan bisnisnya bukan lagi penonton tapi billing dan quantity,” jelas dia.

Butuh Peranan Pemerintah

Ricky memandang kondisi industri kreatif Indonesia saat ini masih jalan di tempat. Para pelakunya pun masih terkesan ragu-ragu untuk berinovasi dan beradaptasi dengan perkembangan zaman, apalagi di tengah situasi pandemi Covid-19.

“Menurut saya (industri kreatif Indonesia) masih di situ-situ saja. Industri kreatif pada dasarnya perlu berani beradaptasi kayak misalnya crypto art kan di kita juga sudah mulai. Nah, ini bisa terus dikembangkan,” kata pria yang pernah menjabat sebagai staf khusus Menparekraf ini. 

Namun dirinya menggaris bawahi agar industri kreatif Indonesia bisa tumbuh dengan kuat, memerlukan ekosistem yang baik juga dengan keterlibatan pemerintah di dalamnya.

“Maka menurut saya bukan cuma perlu meningkatkan kemampuan kreativitasnya tapi juga mesti mampu berinovasi dari segi model bisnisnya. Di dalam model bisnis itu seharusnya negara juga ikut mengurus, membantu. Perlu ada keterlibatan yang aktif juga,” ucapnya.

Ia menambahkan, persaingan industri kreatif yang tanpa batas ini juga memerlukan dukungan negara untuk membangun ekosistem yang lebih kompetitif. Langkah yang bisa dilakukan, misalnya memberikan bantuan insentif dan subsidi.

“Itu kan, policy yang mesti dibangun untuk ekosistem ini. Sekarang masih belum matang benar, harus diakui memang. Musti ada hitungan insentif atau subsidi yang diberikan untuk perfilman misalnya. Dalam bentuk apa yang bisa diberikan negara subsidi dan insentif ini,” tuturnya.

Mengemas Budaya ke dalam Karya Kreatif

Soal anggapan orang Indonesia kurang bisa menerima budaya sendiri ke dalam karya kreatif, Ricky mengaku tak setuju dengan hal ini. Ia menilai penyebab industri kreatif bangsa ini terkesan masih melempem bukan karena masyarakatnya kurang bisa menerima budayanya menjadi produk seni, melainkan kurangnya dukungan pemerintah yang sistematis seperti yang disampaikannya.

“Sebenarnya enggak (orang Indonesia tidak bisa menerima budayanya dalam bentuk karya kreatif). Masalahnya kurang dukungan yang sistematis dan ini yang mesti dibenahi. Bahkan kalau bisa dilakukan investasi gila-gilaan,” tuturnya.

Lebih lanjut, Ricky juga meminta para kreator untuk lebih peka terhadap budaya atau folklor lokal dan mau berinovasi menuangkannya menjadi sebuah karya yang menarik minat masyarakat.  

Ia mengingatkan agar jangan sampai budaya Indonesia diambil oleh negara lain menjadi bagian dari produk industri kreatif mereka di tengah persaingan global saat ini. 

“Industri kreatif sebagai new economy dalam kaitannya dengan industri digital, ini perlu tercipta konten-konten baru. Barat itu kan sudah mulai kehabisan bahan buat dijual. Maka kalau kita enggak bisa memanfaatkan mengangkat budaya kita dalam produk kreatif bakal diambil dan dipopulerkan oleh orang luar,” terangnya. 

Kepekaan kreator terhadap kebudayaan Indonesia yang kemudian dijadikan karya kreatif sudah dilakukan oleh Sweta Kartika, salah satu seniman komik lokal yang karyanya sudah dipamerkan di Bologna Children’s Book Festival di Itallia.

Ia menilai, masyarakat Indonesia  terkesan lebih mudah menerima budaya, gaya, musik, atau cerita luar negeri ketimbang domestik karena belum banyak kreator yang bisa mengemaskan budaya kita jadi seni populer. 

“Saya rasa, bagaimana juga mampu mengemasnya dalam bentuk karya yang bagus. Produk budaya yang penting bagaimana mengemasnya, dan perlu melakukan riset dengan betul-betul supaya tahu pendalaman maknanya,” katanya saat dihubungi terpisah.

Hal yang perlu dilakukan supaya orang Indonesia lebih menerima karya berbasiskan budaya kita sendiri, menurut Sweta bisa dengan cara memperkenalkannya secara masif.

“Jadi, bagaimana kreator bisa mengemas karyanya menjadi sesuatu yang kekinian, tapi di dalamnya ada nilai-nilai tradisional kita yang melekat di dalamnya. Hal yang paling penting itu kan, nilainya,” kata dia.

Ia juga menekankan pentungnya dukungan dari pemerintah untuk memasarkan atau mempopulerkan karya para seniman lokal seperti dirinya. Sweta mengungkapkan, selama ini dirinya berjuang sendiri bersama para anggota Padepokan Ragasukma, komunitas seniman komik lokal yang diempunya dalam mengangkat berbagai karya hasil kreasi mereka.

“Intinya kami bergerak sendiri dan kalau ngomongin pemerintah Indonesia, belum pernah terjadi ada dukungan tertentu. Perlu saya garis bawahi, kalau orang kreatif sebetulnya diinjak-injak saja masih bisa hidup apalagi di-support pemerintah. Jadi, kalau bicara dukungan ya, selama ini keluarga, teman-teman yang bareng-bareng di komunitas ini, dan tentunya pembaca,” imbuh Sweta.

Share: Benarkah Orang Indonesia Sulit Menerima Budaya Sendiri Jadi Karya Kreatif?