Isu Terkini

Bajak Laut dan Riwayat Kekuatan Maritim di Pulau Bangka

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Bicara sejarah Nusantara, kita tak bisa melepaskan diri dari sejarah kerajaan-kerajaan maritim, di mana kekuatan bahari jadi ujung tombak. Di laut, kerajaan-kerajaan Nusantara bertempur, berjaya, lalu sirna. Perjuangan Nusantara di laut juga tak lepas dari cerita-cerita bajak laut yang tumbuh tenggelam dalam sejarah.

Tengok saja Sriwijaya, Samudera Pasai, Majapahit, Malaka, Makassar, Ternate, Tidore, hingga Demak, yang berjaya karena tak lepas dari wawasan mereka terhadap laut. Kondisi geografi Indonesia membuat orang Indonesia memang sejak lama dekat dan hidup bersama laut.

Prof. Dr. Erwiza Erman, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), membicarakan fungsi laut dalam webinar bertajuk “Laut, Bajak Laut dan Kuasa Dalam Sejarah Indonesia”, Sabtu (13/6). “Jadi ada tiga sebenarnya yang memperlihatkan fungsi laut sebagai sebuah interkoneksi. Laut berfungsi mengintegrasikan satu tempat dengan tempat yang lain. Akan salah kaprah kalau dalam politik ada istilah memunggungi laut,” katanya.

Prof. Erwiza menyebut laut dan darat merupakan satu entitas, tidak bisa dipisahkan. Produk-produk yang dihasilkan di darat dibawa menyeberangi laut, begitu juga sebaliknya. Menurutnya, laut dari proses sejarahnya adalah tempat ‘bermain’ yang banyak menciptakan sejarah.

“Siapa yang menciptakannya? Orang yang ‘bermain’ di laut seperti kerajaan-kerajaan maritim, kekuatan kapitalis Eropa, hingga bajak laut. Mereka bermain di arena yang sama,” ujarnya dalam webinar yang diselenggarakan Masyarakat Sejarawan Indonesia Provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Asosiasi Guru Sejarah Indonesia Kepulauan Bangka Belitung tersebut.

Seperti yang pernah dikatakan mendiang sejarawan kenamaan Indonesia Adrian Bernard Lapian dalam “Berlayar dan Bermimpi” pada antologi Guru-Guru Keluhuran karya St. Sularto, bahwa sejak 1957, Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara kepulauan, suatu archipelagic state.

“Kata asal archipelago secara harfiah berarti ‘laut utama’, jadi paradigma harus dibalik. Bukan pulau-pulau yang dikelilingi laut, melainkan laut utama yang bertaburan dengan banyak pulau –lebih dari 13.000,” tulis Lapian.

Lapian mengutip Alfred Thayer Mahan—perwira angkatan laut Amerika Serikat, ahli geostrategi, dan pendidik, yang ide-idenya tentang laut mempengaruhi kekuatan angkatan laut di seluruh dunia—bahwa negara yang berpotensi menjadi sebuah kekuatan maritim harus berpenduduk banyak, tapi yang lebih penting lagi adalah jumlah penduduk yang berorientasi ke laut (soft power).

Selain itu, menurutnya, negara juga harus memiliki hard power dalam bentuk angkatan laut yang tangguh dan armada niaga yang besar—dua hal yang jelas membutuhkan biaya besar.

Inggris zaman dulu kala dikenal sebagai “Raja Laut” yang punya armada tangguh dengan wilayah kekuasaan yang luas. Inggris percaya kejayaan bisa diraih dari hasil kerja keras memaksimalkan kondisi geografis laut. Superioritas negeri Ratu Elizabeth itu pun tergambarkan dari semboyan “Inggris, negara di mana matahari tidak pernah terbit dan tenggelam.”

Prof. Erwiza menyebut ‘permainan’ di laut dilakukan oleh aktor yang bermacam-macam dengan tujuan yang hampir sama yakni untuk menjaga otoritas, sekuritas keamanan dan memperjuangkan atau mempertahankan ekonomi. Dalam situasi pergulatan di laut tersebut, bajak laut jadi salah satu kelompok yang menghiasi cerita Nusantara.

Dua Wajah Berbeda Bajak Laut

Fenomena bajak laut tak bisa dikesampingkan dari sistem bahari. Namun, memang cerita bajak laut di Nusantara tak otomatis bisa disamakan dengan fenomena di Inggris dan Prancis, piraat atau zeerover di Belanda, atau pirata di Italia, Spanyol, dan Portugis.

Prof. Erwizar menyebut persepsi bajak laut di Nusantara berbeda dengan bajak laut di Eropa. Di Nusantara, bajak laut dipandang lewat dua wajah yang berbeda; sebagai perompak atau penumpas dan sebagai pejuang yang menyelamatkan.

“Bahwasanya persoalan bajak laut masih sedikit dipelajari. Persoalan bajak laut bukan persoalan masa lalu, tapi juga jadi persoalan masa kini. Debat pasti muncul, apakah di kalangan sejarawan Indonesia yang tidak menerima label bajak laut sebagai orang-orang yang berjuang,” ujarnya.

Jadi menurut Prof. Erwizar, memang ada cara pandang yang berbeda terkait fenomena bajak laut. Ada sejumlah keraguan tentang label yang disematkan kepada bajak laut; apakah memang sebagai perompak atau pejuang? Hal ini masih akan terus menerus diperdebatkan.

“Bagi Belanda dengan modal ekonominya, kata mereka perompak, harus dibasmi, harus ada kontrol navy atau angkatan lautnya untuk menjaga sekuritas di seluruh perairan Indonesia. Mulai dari bagian Barat, apalagi yang berbatasan dengan wilayah yang dikuasai pemerintah Inggris seperti Singapura dan Malaysia.”

Di Nusantara, bajak laut seringkali mendapat dukungan dari masyarakat pesisir. Mereka dianggap pahlawan yang menyelamatkan masyarakat dari ancaman dan gangguan yang datang dari luar. Dalam praktiknya, lanjut Prof. Erwizar, batasan antara bajak laut, orang laut, dan raja laut sangatlah tipis.

“Bahkan antara raja laut dan bajak laut ada hubungan kekerabatan. Misalnya bajak laut dari Siak, Raden Yahya, yang mengawinkan anaknya dengan putri raja laut. Inilah yang akhirnya memperkuat perekonomian Siak di lautan.”

Bahkan, sering terjadi juga di mana orang laut sekaligus berperan sebagai bajak laut, atau bajak laut naik jadi raja laut atau sebaliknya. Peran mereka di perairan benar-benar sangat penting.

Orang laut banyak beraktivitas dalam perdagangan, selain juga ada yang menjadi prajurit bagi kerajaan-kerajaan Melayu. Dalam kondisi ini, orang laut banyak membantu Melayu untuk menguasai pelabuhan dan mengamankan wilayahnya.

Orang laut banyak yang mendiami pesisir pantai dengan perahu. Mereka juga hidup berpindah-pindah alias nomaden di wilayah Johor, Kepulauan Riau, pantai timur Sumatra, Bangka, Belitung, Kepulauan Natuna, Kepulauan Sulu, Kalimantan Timur, Sulawesi Timur, dan Kepulauan Maluku.

Oleh karena itu, Prof. Erwizar mengatakan bahwa wilayah-wilayah di Bangka, seperti di Koba, Toboali, hingga Belitung menjadi pusat-pusat pergerakan dari bajak laut. Belitung sejak masa VOC dikenal sebagai sarang bajak laut dan menjadi wilayah yang diproteksi bajak laut, karena menghasilkan timah.

“Misalnya ada laporan militer tentang Bangka dan bagaimana presurre yang dilakukan oleh angkatan lautnya Belanda terhadap bajak laut yang menyerang wilayah Koba, Toboali dan seterusnya. Ini sejarah yang menyedihkan dan mengharukan juga.”

Seiring berjalannya waktu, mulai muncul kampanye politik anti bajak laut yang berasal dari negeri induknya, lalu jadi isu global. Misalnya Inggris yang melakukan kampanye anti bajak laut di wilayah jajahannya, begitu juga Belanda yang melakukannya di Suriname misalnya, juga Prancis dan seterusnya.

Menurut Prof. Erwizar, ini semacam isu global yang terkoneksi, kampanye politik anti bajak laut. Karena itu politik anti bajak laut ini sangat variatif tergantung dengan perkembangan kerajaan. Di seluruh periode itu, ada semacam konektivitas, konfrontasi, tetapi juga ada semacam negosiasi untuk memberantas bajak laut, hingga kompromi dengan agen-agen yang ada di tingkat induk.

“Ini untuk apa? Untuk personal benefit, kepentingan sendiri, bukan untuk kepentingan formal atau pemerintah. Ada proses yang dinamis, ‘oke sekarang kita harus mengirimkan prajurit untuk membasmi bajak laut’. Inilah bahasa politik masa lalu, ketika budak sudah dilarang.”

Riwayat Bajak Laut di Pulau Bangka

Akhmad Elvian, sejarawan Bangka Belitung, mengatakan Provinsi Kepulauan Bangka Belitung memiliki sejarah yang erat kaitannya dengan perjuangan bahari. Menurutnya, kebudayaan dan peradaban masyarakat Bangka Belitung itu terbagi dua yakni peradaban berbasis pada laut atau bahari dan peradaban berbasis darat.

Menurutnya, peradaban di Bangka Belitung didukung oleh masyarakat laut, pribumi laut, Orang Sekak, hingga Orang Sawang. Sementara peradaban darat didukung oleh pribumi darat, yang biasa disebut orang gunung orang bukit.

“Orang laut pribumi Bangka itu mendiami sejumlah wilayah. Ada kelompok yang disebut kelompok Pulau Lepar, kelompok Pulau Semujur di Bangka Tengah, Teluk Kelapan di Bangka Utara, hingga orang di Belitung,” kata Elvian dalam kesempatan yang sama.

Orang Bangka itu mengenal istilah sehari-hari yakni zaman bari, dalam bahasa melayu artinya zaman bahari. Kenapa disebut zaman bari? Sebab, orang Bangka dulu peradaban baharinya cukup maju dan cukup tinggi, yang didukung orang laut pribumi Bangka atau Orang Sekak.

“Mereka tinggal berkelompok atau gerombolan dalam 4-10 perahu, yang disebut dengan perahu lepa gajang. Lepa artinya atap yang terbuat dari lipah, dan ada satu pulau di Selat Gaspar, yang disebut Pulau Lepar, Pulau Lepa, pulau yang diberi nama berdasarkan perahu orang-orang laut, orang-orang Sekak di bumi Bangka.”

“Mereka dipimpin satu orang Batin, orang laut. Kehidupan mereka mencari kerang, teripang. Hasil laut yang mereka peroleh itu mereka tukar dengan beras, pakaian, besi dengan orang-orang Cina dan orang-orang darat.”

Dalam sejarah, Elvian menyebut mereka ini sangat hebat dan tangguh serta menguasai pengetahuan bahari dan kelautan. Dengan perahu gobangnya, pada saat terjadi perang, semesta rakyat Bangka yang dipimpin Depati Amir bertempur melawan pasukan Hindia Belanda, baik itu di laut dan di darat.

Kala itu, Belanda mengirim kapal uap canggihnya ke perairan Pulau Bangka untuk mengamankan pertempuran laut yang terjadi. Kapal-kapal Belanda itu ditempatkan di Selat Gaspar, untuk menangkal serangan dari orang laut pribumi Bangka atau orang-orang Sekak.

“Karena kesalahan pemerintahan Orde Baru, orang-orang laut pribumi Bangka atau orang Sekak itu, sekitar 1980 dianggap sebagai orang terasing, menetap berpindah-pindah. Mereka dianggap suku asing oleh Orde Baru, mereka pindah ke darat. Akibatnya rumah yang dibangun di jebu laut, kedimpal, tidak ditempati, malah ruang tamunya dibuat untuk bakar ikan.”

Elvian menyebut, satu kebijakan yang salah dari pemerintah Orde Baru yang merumahkan orang-orang tersebut.

Perihal sepak terjang bajak laut di Bangka, Elvian menjelaskan bahwa sebenarnya memang banyak persepsi yang muncul. Baginya, mengekploitasi laut itu juga termasuk sama juga dengan membajak laut. Lalu, muncul istilah bajak laut, yang sebenarnya istilah dari mengekspolitasi laut.

“Namun, konotasi bajak laut itu jadi negatif, karena maknanya sudah meluas yang merujuk pada hal-hal yang tidak baik lainnya. Saat pemerintah kolonial Belanda membuat kebijakan arah peradaban bangsa Indonesia itu dari kerajaan maritim ke darat, yang menjadikan kita membelakangi laut dan menghadap gunung, istilah membajak pun dilarang, jadi membajak ladang dan membajak sawah.”

Menurut Elvian, orang-orang yang tinggal di Bangka dan Belitung, yang terdiri dari 750 pulau itu, mengarahkan peradabannya ke laut, sehingga tidak membelakangi laut. Misalnya kampung-kampung yang dipimpin oleh Batin di Pulau Bangka yang berfungsi sebagai feeder point atau titik pengumpul, yang pada dasarnya menghadap ke laut sehingga orientasinya bahari.

“Dalam terminologi Eropa, orang-orang yang kita sebut pejuang-pejuang di laut Bangka itu, oleh orang Belanda memang sering disebut sebagai perompak atau bajak laut. Misalnya saat orang Sekak di Bangka menyerang pasukan luar.”

“Namun, dalam konteks kita sebagai orang Bangka atau Indonesia sentris, mereka orang-orang Sekak itu justru yang berjuang bersama Depati Amir menyerang dan ingin membebaskan diri dari orang Belanda yang ada di Bangka Belitung. Jadi persepsi bajak laut di Bangka ini juga memiliki dua wajah.”

Menurut catatan Elvian dari laporan Belanda sekitar tahun 1890-an, bajak laut yang datang ke Pulau Bangka itu umumnya masuk melalui utara, Teluk Kelabat, lalu menyusuri Sungai Layang, yang mana sungai itu terhubung ke wilayah pesisir barat dan pesisir timur Pulau Bangka

Setidaknya ada dua kelompok bajak laut besar yang menyerbu Pulau Bangka. Menurut Elvian, pertama adalah bajak laut yang menamakan diri sebagai bajak laut rakyat dari Kesultanan Siak, yang dipimpin Raja Ismail. Kedua, bajak laut yang menamakan dirinya lanon, ini di dalam peta-peta kuno itu membangun pusat kuasa di barat Pulau Bangka, masuk distrik Toboali, juga Kepoh.

Bajak laut lanon ini melakukan perampokan ke pesisir barat, termasuk ke Toboali. Lalu, sultan saat itu memerintahkan kepada wilayah-wilayah di pesisir barat sampai Toboali untuk dibangun benteng-benteng pertahanan yang menjadi pangkal pengumpul timah di Pulau Bangka.

“Timah yang dikumpul itu akhirnya dirampas bajak laut lanon yang membangun benteng di muara Kepoh yang terhubung dengan Jawa. Bajak laut lanon juga merampok sampai ke Pangkal Pinang, Terak, Teru, termasuk ke wilayah pedalaman Paku, yang waktu itu wilayah penghasil besi di Pulau Bangka.”

Share: Bajak Laut dan Riwayat Kekuatan Maritim di Pulau Bangka