Isu Terkini

Australia Menuntut Facebook dan Google Membayar Konten Berita

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Facebook dan Google yang memonopoli iklan di internet telah lama dikritik sebagai sumber malapetaka bagi bisnis jurnalisme, dan pemerintah Australia tak tinggal diam. Akhir Juli lalu, kedua perusahaan ini diminta untuk membayar konten berita ke perusahaan media demi menciptakan persaingan bisnis media yang lebih sehat dan adil. Australia pun akan jadi negara pertama di dunia yang menetapkan aturan ini.

Menteri Keuangan Australia Josh Frydenberg menilai kebijakan ini diambil demi, “memastikan kita telah meningkatkan persaingan, perlindungan terhadap konsumen, dan lanskap media yang berkelanjutan.”

Kebijakan ini mewajibkan Facebook dan Google untuk membayar royalti dari keuntungan yang mereka dapatkan dari iklan dan konten berita. Kedua perusahaan ini mesti bernegosiasi dengan perusahaan media terlebih dahulu untuk dapat mengangkat konten berita di platform mereka, dan kedua pihak diberikan waktu hingga tiga bulan untuk mencapai kesepakatan. Jika Facebook dan Google melanggar aturan, mereka bisa dikenakan denda hingga A$10 juta atau sekitar Rp106,5 juta untuk setiap pelanggaran.

Kebijakan ini tak keluar secara serta merta. Pada 2019, sebuah studi mengestimasikan bahwa 3.000 kerja jurnalisme tumbang di Australia selama 10 tahun terakhir karena keuntungan yang didapatkan dari iklan diambil alih oleh Facebook dan Google. Untuk setiap A$100 atau Rp1 juta penghasilan iklan di Australia, 47% akan diserap oleh Google dan 21% oleh Facebook.

Tak hanya di Australia, perusahaan media di negara-negara lain juga ikut berdarah-darah. Pada 2019, PHK besar-besaran terjadi di sejumlah media di Amerika Serikat. Buzzfeed melakukan PHK terhadap 15% pekerjanya di awal 2019, diikuti dengan Vice yang memberhentikan 10% stafnya. Terdapat lebih dari 7.800 pekerja media yang di-PHK di Amerika Serikat selama 2019—jumlah yang meningkat drastis jika dibandingkan dengan tahun 2014-2017, dengan 5.000.

Persoalannya lagi-lagi bermuara pada Google. Studi yang dilakukan oleh News Media Alliance pada 2018 menunjukkan bahwa Google menghasilkan US$4,7 miliar hanya dari Google News dan hasil pencarian konten berita melalui platform mereka. Sementara itu, tak ada bagian dari penghasilan itu yang masuk ke perusahaan media.

Terlebih lagi, 60% keuntungan iklan di Amerika Serikat dipegang oleh Facebook dan Google. Bisnis media pun terus mengalami penurunan pendapatan iklan, dari US%37,8 miliar pada 2008 menjadi US$14,3 miliar pada 2018.

Sebelumnya, perusahaan media di Jerman, Prancis, dan Spanyol juga telah mendorong agar pemerintah mengesahkan undang-undang hak cipta yang mewajibkan Google membayar biaya lisensi atas artikel yang mereka sebarkan. Aturan ini tak berdampak baik: Google justru berhenti membagikan nukilan artikel-artikel dari perusahaan media Eropa demi menghindari biaya lisensi—dan berakhir membuat perusahaan media terbesar di Jerman merugi dan kembali tunduk pada mekanisme Google.

Menanggapi aturan yang akan disahkan oleh pemerintah Australia ini, sejumlah media mengapresiasi tindakan Australia, menilai Facebook dan Google telah berperilaku “tidak adil” dan “merusak” industri media.

Namun, kedua perusahaan yang dituntut tak memberikan respons positif. Google menyayangkan sikap pemerintah, mengatakan pihak mereka telah mengabaikan “miliaran klik” yang telah diterima oleh perusahaan media setiap tahunnya dari Google. “Regulasi ini mengirimkan pesan kepada para pelaku bisnis dan investor bahwa pemerintah Australia akan melakukan intervensi dan tak membierkan pasar bekerja dengan sendirinya,” ujar managing director Google Australia dan Selandia Baru, Mel Silva, dikutip dari Reuters.

Pihak Facebok Australia dan Selandia Baru, William Easton, mengatakan perusahaannya akan “mengkaji proposal pemerintah untuk memahami dampaknya kepada industri, layanan, dan investasi kami ke ekosistem berita di Australia.”

Share: Australia Menuntut Facebook dan Google Membayar Konten Berita