Isu Terkini

Aturan Kontroversial “Periksa Jaksa Harus Seizin Jaksa Agung” Akhirnya Dicabut

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Kejaksaan Agung jadi sasaran kritik usai menerbitkan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang “Pemberian Izin Jaksa Agung atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan dan Penahanan terhadap Jaksa yang Diduga Melakukan Tindak Pidana.” Setelah menuai polemik, Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin akhirnya resmi mencabut aturan tersebut.

Pedoman itu sendiri ditandatangani oleh Jaksa Agung Sanitiar (ST) Burhanuddin pada Kamis, (6/8/20) lalu. Adapun pencabutannya dilakukan tak kurang sepekan usai diterbitkan. Menurut Burhanuddin pencabutan dilakukan karena penerapannya belum tepat dilakukan saat ini lantaran menuai polemik.

“Dengan ini Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tentang Pemberian Izin Jaksa Agung Atas Pemanggilan, Pemeriksaan, Penggeledahan, Penangkapan Dan Penahanan Terhadap Jaksa Yang Diduga Melakukan Tindak Pidana, dinyatakan dicabut,” ujar Burhanuddin dalam keterangan tertulis, Selasa (12/8) malam.

Pencabutan itu berdasarkan Keputusan Jaksa Agung RI Nomor 163 Tahun 2020 tanggal 11 Agustus 2020 tentang Pencabutan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020. Burhanuddin mengatakan Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 itu awalnya memang belum secara resmi diterbitkan Kejagung.

Burhanuddin menduga ada pihak yang tidak bertanggung jawab sengaja menyebarkan Pedoman tersebut melalui pesan WhatsApp. Ia pun mengaku akan menelusuri pelaku yang sengaja menyebarkan naskah Pedoman itu.

“Bahwa Pedoman Nomor 7 Tahun 2020 tersebut belum secara resmi dikeluarkan atau diedarkan oleh Biro Hukum Kejaksaan Agung, sehingga beredarnya pedoman tersebut melalui media sosial WhatsAp diduga dilakukan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab,” ucapnya.

Sementara dengan pencabutan yang sudah dilakukan itu, Burhanuddin mengatakan pihaknya masih akan mengkaji ketentuan yang diatur dalam pasal 8 ayat (5) Undang Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Di dalamnya menyebutkan:

“Dalam hal melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada ayat (4), Jaksa diduga melakukan tindak pidana maka pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Jaksa yang bersangkutan hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung.”

Burhanuddin menjelaskan bahwa meski telah melalui kajian, poin itu masih berpotensi menimbulkan perbedaan penafsiran sehingga pihaknya perlu kembali mengkajinya dengan Kementerian Hukum dan HAM.
“Hal tersebut telah dilakukan kajian yang cukup lama, namun hingga saat ini masih diperlukan harmonisasi dan sinkronisasi lebih lanjut dengan Kementerian Hukum dan HAM serta instansi terkait,” ujarnya.

Apa Isi Pedoman Nomor 7 Tahun 2020?

Adapun pedoman itu sendiri sebelumnya mengatur bahwa pemanggilan pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan, dan penahanan terhadap jaksa yang diduga terlibat tindak pidana hanya dapat dilakukan atas izin Jaksa Agung. Hal itu sesuai bunyi poin nomor 1 pada Bab II Pedoman Nomor 7 Tahun 2020.

Pedoman dibuat dengan tujuan memberi perlindungan kepada jaksa agar dapat melaksanakan tugasnya tanpa gangguan atau dari hal yang belum diuji kebenarannya, seperti pertanggungjawaban pidana serta perdata. Di dalam pedoman tersebut turut diatur tata cara memperoleh izin Jaksa Agung, yaitu dengan mengajukan permohonan dan sejumlah dokumen persyaratan.

Instansi yang ingin melakukan pemanggilan hingga penahanan mengajukan permohonan yang dilengkapi dengan sejumlah dokumen persyaratan.

Kemudian, permohonan akan diperiksa oleh Asisten Umum Jaksa Agung, Asisten Khusus Jaksa Agung atau pejabat lainnya yang ditunjuk Jaksa Agung. Informasi lebih lanjut terkait jaksa yang akan dipanggil atau ditahan dapat dikumpulkan melalui koordinasi dengan Jaksa Agung Muda atau ekspose.

Permohonan izin dapat ditolak apabila tidak lengkap, tidak sesuai, atau tidak memiliki urgensi. Namun, izin Jaksa Agung tidak diperlukan untuk jaksa yang tertangkap tangan melakukan tindak pidana.

Sebelumnya, pedoman itu menuai kritik dari berbagai pihak. Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, aturan itu tidak sesuai dengan asas equality before the law atau kesetaraan di hadapan hukum. ICW juga menduga penerbitan Pedoman Nomor 7 oleh Kejagung tersebut bertujuan agar penegak hukum lain tak mengambil alih kasus terkait.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan menduga aturan ini berkaitan dengan kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari yang tersangkut kasus buronan Djoko Tjandra. Kurnia menilai bahwa pasal 112 KUHAP jelas menyatakan bahwa proses hukum tak memerlukan perizinan dari pihak manapun, bahkan pihak yang dipanggil penyidik pun wajib memenuhinya.

“Penyidik dapat memanggil saksi maupun tersangka dan kedua subjek hukum tersebut wajib memenuhi panggilan penegak hukum tanpa adanya mekanisme perizinan tertentu oleh pihak manapun,” kata Kurnia dalam keterangannya, Selasa (11/8).

Namun, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung, Hari Setyono, membantah dugaan ICW itu. Menurut Hari, penerbitan pedoman yang di dalamnya antara lain mengatur pemeriksaan terhadap jaksa harus seizin Jaksa Agung itu tak berkaitan dengan proses hukum yang dihadapi Pinangki saat ini.

Hari pun menegaskan bahwa penerbitan pedoman itu merupakan amanat yang diatur dalam Pasal 8 ayat 5 UU Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI. Selama ini, lanjut Hari, pelaksanaan ketentuan itu hanya dilakukan lewat surat biasa.

“Penerbitan pedoman itu tidak ada kaitannya dengan kasus PSM (Pinangki Sirna Malasari),” kata Hari lewat pesan singkat kepada awak media, Selasa (11/8).

Share: Aturan Kontroversial “Periksa Jaksa Harus Seizin Jaksa Agung” Akhirnya Dicabut