Isu Terkini

Asal Mula Kata ‘Hoax’ Mulai Terkenal di Media

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Masyarakat Indonesia sudahsering ‘dijejali’ istilah “fake news” atau “hoax” sejak beberapa tahun terakhir terutama di media sosial. Banyaknya berita hoaks yang bertebaran pun memunculkan dampak buruk. Lalu, bagaimana sejarah hoaks itu sendiri dan seperti apa penyebarannya di Indonesia?

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), hoaks adalah berita bohong. Menurut Oxford English Dictionary, hoax merupakan malicious deception atau kebohongan yang dibuat dengan tujuan jahat. Jelas dari definisi tersebut bahwa hoaks merupakan berita yang sengaja dibuat-buat dengan tujuan tertentu.

Jika melihat jauh ke belakang, ternyata hoaks sendiri sudah beredar sejak Johannes Gutenberg menciptakan mesin cetak pada tahun 1439 silam. Mirisnya lagi, hoaks di masa-masa itu bahkan jauh lebih berbahaya ketimbang di era digital dan internet seperti hari ini. Akibatnya, haoks yang beredar jadi sulit diverifikasi.

Sementara itu, menurut peneliti Lynda Walsh dalam buku berjudul Sins Against Science, hoaks sendiri merupakan istilah dalam bahasa Inggris yang mulai masuk sejak era industri atau sekitar tahun 1808. Namun, asal kata hoaks sendiri diyakini sudah ada dan muncul sejak ratusan tahun sebelumnya. Kata tersebut diyakini muncul dari hocus yang berarti untuk mengelabui, dan merupakan penyingkatan dari mantra hocus pocus, frasa yang kerap digunakan dalam pertunjukan sulap seperti ‘simsalabim’.

Di sisi lain, dalam buku berjudul Museum of Hoaxes, Alexander Boese menjelaskan bahwa hoaks pertama yang dipublikasikan adalah almanak atau penanggalan palsu yang dibuat Isaac Bickerstaff alias Jonathan Swift pada tahun 1709 silam. Saat itu, ia meramalkan kematian astrolog John Partridge.  Kemudian, agar bisa meyakinkan publik, Swift bahkan membuat obituari palsu tentang Partridge pada hari yang diramal sebagai hari kematiannya. Dalam prosesnya, ia mengarang informasi itu untuk mempermalukan Partridge di mata publik.  Hasilnya, Partridge pun berhenti membuat almanak astrologi hingga enam tahun setelah hoaks beredar.

Pada 1835, penulis sekaligus penyair aliran romantik Amerika Serikat, Edgar Allan Poe, menerbitkan cerita hoaks terkenal; The Unparalled Adventure of One Hans Pfaall tentang pria yang pergi ke bulan menggunakan balon udara dan tinggal di sana selama 5 tahun.

Lalu, memasuki abad ke-XX yang serba canggih, berita hoaks banyak muncul lewat jalur siaran daripada media cetak. Alasannya tentu karena mengikuti perkembangan zaman sehingga penayangan berita harus secepat mungkin.

Akibatnya, banyak media massa yang tidak mengklarifikasi informasi terlebih dahulu sebelum mempublikasikannya. Salah satu hoaks yang paling terkenal pada abad 20 adalah saat siaran stasiun televisi ABC dan USA Today mengklaim bahwa Rusia berencana menjual jenazah Vladimir Lenin untuk mendongkrak penerimaan negara.

Selain itu, ada juga salah satu hoaks yang kerap beredar yakni soal ancaman asteroid yang akan menghantam bumi hingga menyebabkan kiamat. Dalam kasus ini, NASA, pada tahun 2015 lalu, membantah rumor asteroid jatuh dan mengakibatkan kerusakan besar di bumi.

NASA menjelaskan bahwa asteroid yang berpotensi berbahaya memiliki 0,01 persen berdampak pada bumi selama 100 tahun ke depan. “Kalau ada objek besar yang akan merusak pada September, tentu kami sudah bertindak sekarang,” kata Manajer Objek Dekat Bumi NASA Paul Chodas, Agustus 2015 lalu.

Tentu, hoaks di era sekarang yang serba digital ini diklaim lebih berbahaya dan menakutkan karena bisa dibuat dengan sangat mudah dan penyebarannya pun bisa lebih cepat melalui jaringan internet. Bahkan, hoaks di masa kini sudah menyebar ke berbagai segmen kehidupan politik, sains, ekonomi, sosial, maupun hiburan.

Untuk mengetahui lebih jauh, mari kita lihat beberapa jenis berita hoaks yang kerap beredar dalam beberapa waktu terakhir.

1. Hoax proper

Hoax proper adalah berita bohong yang dibuat secara sengaja. Dalam konteks ini, pembuatnya tahu bahwa berita itu bohong dan bermaksud atau sengaja untuk menipu orang dengan beritanya.

2. Judul berita heboh tapi berbeda dengan isi berita

Warganet Indonesia banyak yang tertipu dengan maraknya berita hoaks yang selama ini beredar. Sebagian besar selalu terbiasa hanya membaca headline beritanya saja tanpa membaca isinya sama sekali. Sejauh ini memang banyak beredar berita atau artikel yang isinya benar tapi diberi judul heboh dan provokatif, bahkan sering sama sekali tidak sama dengan isi artikelnya.

3. Berita benar tapi menyesatkan

Berita-berita yang sudah lama terbit ternyata masih sering beredar kembali di media sosial, sebagai usaha menyesuaikan pada isu-isu terkini. Padahal berita itu sudah lama terbit, sehingga saat muncul lagi bisa menimbulkan kesan bahwa berita tersebut merupakan berita terbaru dan ter-update. Mirisnya, berita-berita itu bisa menyesatkan terutama jika publik tidak mengecek dulu tanggal terbitnya.

Tak hanya itu, berita itu juga bisa saja menimbulkan gesekan antar masyarakat jika tak dilihat lagi tanggal terbitnya.

Fenomena berita hoaks juga ramai muncul di media sosial pada saat Pemilihan Gubernur (Pilgub) 2012 lalu. Bahkan, berita hoaks tersebut berlanjut dan tumbuh subur pada saat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2014 lalu.

Seperti dilansir dari Kompas.com, 11 Januari 2017 lalu, Kementerian Komunikasi dan Informatika selama ini sudah aktif melakukan pemantauan dan pemblokiran akses ke situs-situs bermuatan negatif, termasuk situs berita hoaks. Namun, Menkominfo Rudiantara menegaskan bahwa pemblokiran bukanlah solusi karena situs hoaks baru bisa bermunculan setiap saat.

Rudiantara menjelaskan bahwa daripada memblokir situs hoaks, cara yang lebih efektif adalah dengan mengedukasi masyarakat soal cara mengenali dan menjauhi konten berita palsu. Menurut Rudiantara, Edukasi akan memutus mata rantai hoaks dengan mencegah penerima menyebarluaskan lebih lanjut.

“Pemblokiran itu adalah upaya menyembuhkan orang sakit. Alih-alih fokusnya blokir, lebih baik kita naik ke hulu, menjaga orang agar tetap sehat,” kata Rudiantara.

Maka dari itu, Rudiantara pun menyambut baik rencana Dewan Pers yang ingin menyematkan tanda pengenal berupa logo dan QR Code untuk media cetak dan online yang sudah terverifikasi sebagai institusi pers resmi.

Selain itu, ada juga upaya mandiri seperti komunitas Masyarakat Indonesia Anti Hoaks yang melancarkan upaya memerangi hoaks melalui edukasi, baik secara online maupun offline dengan melakukan pendekatan ke masyarakat. “Inilah yang harus didorong. Pendekatannya sosialisasi, literasi, dan lain-lain. Dalam membuat kebijakan, justru unsur peran masyarakatnya yang sangat besar,” ucap Rudiantara.

Untuk itu, agar bisa terhindar dari berita hoaks yang dengan mudah tersebar di media sosial, maka bagi para pembaca rutinlah membaca berita dari media yang kredibel, dipercaya, dihormati, dan well-established.

Jika ragu terhadap sebuah berita, maka bacalah dua kali dan lebih teliti lagi, atau bandingkan dengan pemberitaaan di media kredibel lainnya untuk memastikan data dan fakta yang ada. Selain itu, disarankan untuk tidak men-share artikel/foto/pesan berantai yang kerap muncul di grup WhatsApp tanpa membaca sepenuhnya, apalagi belum yakin dengan kebenarannya.

Share: Asal Mula Kata ‘Hoax’ Mulai Terkenal di Media