General

Aroma Politik Jenderal di Pilkada 2018: Antara Barak dan Prestise Jabatan Sipil

Ramadhan — Asumsi.co

featured image
Asumsi.co

Dinamika perpolitikan Indonesia jelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 sudah mulai panas. Tak hanya calon-calon sipil, kontestasi Pilkada 2018 juga jadi ajang pertarungan para jenderal dari TNI dan Polri untuk mencari peruntungan di pemerintahan.

Setidaknya, empat jenderal aktif baik itu dari TNI maupun Polri telah mengajukan pensiun dini untuk maju dalam kontestasi Pilkada 2018. Mereka adalah Letnan Jenderal TNI Edy Rahmayadi, Inspektur Jenderal Pol Anton Charliyan, Inspektur Jenderal Pol Safaruddin, serta Inspektur Jenderal Pol Murad Ismail.

Keterlibatan para jenderal di dunia politik Indonesia tentu bukanlah hal baru. Hasrat untuk berpolitik atau berkuasa itu tentu sudah berakar bahkan sejak era perang kemerdekaan, orde baru, dan hasilnya berlanjut sampai era reformasi sekarang ini.  Lalu, apa sebenarnya motif para jenderal baik dari TNI maupun Polri sangat berhasrat untuk menduduki jabatan sebagai kepala daerah di pentas Pilkada 2018 ini? Apakah slogan “militer harus kembali ke barak” hanya tinggal kenangan?

Motif Militer Terjun ke Politik

Pengamat Militer dari Lokataru, Mufti Makarim menjelaskan kepada Asumsi.co bahwa memang tak ada alasan eksplisit yang muncul terkait alasan dibalik terjunnya tentara ke dunia politik. Setidaknya, ada beberapa faktor yang mungkin melatarbelakangi keinginan mereka tersebut.

“Sejauh ini kan memang gak ada yang menyampaikan secara eksplisit soal tujuan tentara untuk maju dalam Pilkada. Tapi, harus diakui bahwa keikutsertaan militer dalam politik itu tak lepas dari kontribusi di zaman perang kemerdekaan,” kata Pengamat Militer, Mufti Makarim kepada Asumsi.co, Kamis (11/01).

Sepak terjang tentara yang berjuang di masa perang kemerdekaan melahirkan keinginan-keinginan untuk berkuasa. Mereka merasa heroik karena memperjuangkan kemerdekaan, DAN hasrat itulah yang kemudian terus ada hingga muncul keinginan untuk meraih kekuasaan.

“Itulah kemudian jadi alasan kenapa hasrat untuk selalu mewarnai dinamika kekuasaaan gak bisa lepas. Pretensi dan konfidensi yang terbangun sejak masa perang kemerdekaan itu masih melekat, walaupun tidak eksplisit,” lanjutnya.

Dalam situasi politik kekinian atau di era reformasi saat ini, memang militer harus dijauhkan dari politik. Bahkan, dorongan supaya tentara netral dalam pemilu selalu jadi himbauan penting. Namun yang perlu diingat adalah agar jangan sampai ada oknum-oknum tentara yang menganggap bahwa jika ada yang tidak beres dalam pemerintahan atau negara, maka tentara bisa mengambil alih kekuasaan.

“Misalnya di satu sisi dorongan supaya tentara netral dalam pemilu, itu positif ya kan. Tapi di sisi lain bisa jadi bahwa ada satu pihak yang menerjemahkan bahwa saat situasi di mana kekuatan-kekuatan politik tersebut ternyata tidak berpihak kepada kepentingan NKRI, maka tentara-tentara ini yang bakal ambil peran,” ujar Mufti.

“Kasus itu pernah terjadi saat kudeta di Thailand. Ketika partai-partai politik sudah dianggap melenceng dari kepentingan negara, maka tentara yang akan ambil alih dan menurunkan pemimpin negara tersebut.”

Kutukan Dwifungsi ABRI

Keberadaan Dwifungsi ABRI secara jelas menjadi dalih militer untuk terjun secara langsung ke dunia politik. Mari kita ingat lagi bagaimana rezim Orde Baru di bawah Soeharto memantapkan Dwifungsi ABRI yang berlandaskan hukum dengan membuka kran seluas-luasnya untuk militer menikmati kehidupan politik di dalam pemerintahan, bahkan di sektor-sektor lainnya.

Yang jelas, implementasi Dwifungsi ABRI dilegitimasi melalui penetapan dasar hukum yang berkesinambungan, dari Ketetapan MPRS No. II Tahun 1969 hingga Ketetapan MPR No. IV Tahun 1978, juga Undang-undang No. 82 Tahun 1982. Jadi, dengan dalih Dwifungsi ABRI yang berlandas hukum tersebut, militer Indonesia punya dua tugas utama.

Tugas pertama adalah menjaga keamanan serta ketertiban negara, dan kedua, memegang kekuasaan serta (berhak) mengatur negara. Lalu tugas kedua adalah ABRI berperan ganda sebagai dinamisator sekaligus stabilisator dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Nah, menurut Mufti, keberadaan Dwifungsi ABRI inilah yang akhirnya menghidupkan kembali hasrat untuk berpolitik dari kalangan militer. Mufti menyebut Dwifungsi ABRI semacam jadi kutukan untuk kehidupan militer di era sekarang ini.

“Ada juga soal kutukan Dwifungsi ABRI. Jadi sejarah Orde Baru yang memang menempatkan karier politik sebagai salah satu tujuan bagi para rekrutmen militer khususnya yang ada di Akademi Militer, itu ternyata masih ada,” beber Mufti.

Mufti mengungkapkan bahwa jenderal-jenderal yang terlibat di kontestasi Pilkada 2018 ini tak lepas dari sentuhan Orde Baru. Aroma dan hasrat untuk berpolitik itulah yang masih melekat dalam diri mereka.

“Dan jangan lupa bahwa mereka-mereka (jenderal) yang ikut berkompetisi di Pilkada saat ini adalah yang direkrut pada masa-masa Orde Baru, yang salah satu mimpinya adalah ketika jadi perwira mereka tidak semata-mata menduduki jabatan-jabatan strategis di dunia militer, tapi juga di dunia sipil,” ujarnya.

“Apalagi faktanya di era reformasi saat ini, majunya tentara-tentara ini ke dunia politik juga karena ditarik-tarik oleh partai politik. Ada dua alasan kenapa parpol mau merekrut tentara, pertama karena mungkin mereka butuh political power militer dan yang kedua karena mereka merasa gak cukup percaya diri untuk maju. Jadi dua alasan itulah yang kemungkinan membuat tentara akhirnya berhasrat untuk terjun ke dunia politik praktis.” tambahnya.

Potensi Salah Urus

Sayangnya, keterlibatan jenderal dari militer dalam politik praktis tentu memunculkan kekhawatiran. Yang ditakutkan jika militer ikut berpolitik adalah potensi salah urus lantaran tak punya bekal pendidikan politik yang cukup mumpuni.

“Potensi yang kurang baik dari keterlibatan militer di dunia politik adalah potensi salah urus. Karena mereka sejak awal kan tidak dilatih untuk jadi birokrasi sipil, mereka tidak punya pengalaman untuk mengendalikan negara dengan pendekatan civilian,” lanjut Mufti.

Naluri militer yang sudah dicetak untuk angkat senjata dan berperang dikhawatirkan bakal tetap ada jika nanti tentara terpilih sebagai kepala daerah.

“Bahwa politik itu adalah pertarungan ide, gagasan, dan kebijakan bukan pertarungan yang menggunakan senjata. Jadi kekhawatirannya adalah jika militer mengorganisir massa dengan cara yang tidak paralel dengan cara-cara sipil, misalnya mengorganisir proses Pilkada sama seperti mengorganisir proses perang.”

“Takutnya cara mereka menggalang dukungan sama seperti menggalang dukungan dalam propaganda militer. Lalu, kalau mereka berkuasa takutnya tidak bisa menjalankan roda pemerintahan sebagaimana yang dilakukan aktor politik sipil. Sebengal-bengalnya aktor politik sipil, mereka bisa dikendalikan karena mereka memang tidak punya kekebalan politik.

“Artinya, kalau korupsi ya ditangkap dan diproses. Takutnya kalau ada oknum militer yang korupsi, KPK malah gak berani kalau belum dibukakan pintu oleh Panglima TNI misalnya,” tuntas Mufti Makarim.

Prestise Jabatan Sipil

Sementara itu, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menilai ada faktor kuat kenapa jenderal baik itu dari TNI atau Polri rela mengundurkan diri dari jabatannya demi mengejar jabatan kepala daerah. Para jenderal tentu menginginkan prestise jabatan yang lebih hebat ketimbang jabatannya saat ini. Tampil sebagai kepala daerah praktis bakal serta merta membuat jenderal merasa sangat terpandang di masyarakat, apalagi sebelumnya mereka memiliki latar belakang jenderal TNI atau Polri yang juga dihormati.

“Di tengah iklim demokrasi kita yang terbuka seperti sekarang ini, banyak tentara ataupun polisi kita itu yang agak ‘genit’ untuk mengadu peruntungan ke dunia politik. Mereka yang berstatus jenderal aktif ini cukup percaya diri jika mereka bisa diterima di masyarakat dengan bekal pangkat dan jabatannya,” kata Direktur Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno kepada Asumsi.co, Kamis (11/01).

“Jadi mereka ini menganggap romantisme masa lalu yang terkait dengan diktatorship yang pernah ada di militer itu perlahan mulai punah. Karena itulah jenderal TNI maupun Polri yakin bisa diterima di masyarakat,” lanjutnya.

“Sebenarnya gak ada masalah kalau jenderal di TNI ataupun Polri ingin terjun ke dunia politik. Hanya saja agar tidak menimbulkan preseden buruk dan kecurigaan-kecurigaan yang berkelanjutan kalau mereka ingin ikut Pilkada, ya minimal setahun sebelumnya harus mengundurkan dirilah.”

Adi juga menjelaskan bahwa wajar jika para jenderal tersebut akhirnya lebih memilih terjun ke politik dari pada melanjutkan kariernya di TNI atau Polri. Alasannya jelas bahwa untuk naik pangkat di dunia TNI atau Polri, itu tentu membutuhkan waktu yang cukup lama. Meski begitu, tak serta merta keikutsertaan para jenderal di kontestasi Pilkada itu bakal membuat jalan mereka mulus. Tapi setidaknya, mereka bakal punya modal kuat di dunia politik meski gagal pada usaha pertama Pilkada dan bisa berjuang lagi pada kesempatan lain.

Faktanya, para jenderal bakal memiliki popularitas yang tinggi jika sudah berpartisipasi di Pilkada meski pun kalah. Setelah itu, para jenderal justru punya peluang untuk direkrut partai politik berkat rekam jejaknya di Pilkada.

Gagal di Pilkada 2018? Tenang, masih ada kesempatan untuk mengadu peruntungan pada tahun 2019 baik itu di pentas Pemilihan Legislatif (Pileg) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres).

“Hierarki yang harus dilalui para jenderal untuk naik pangkat di instituasinya itu cukup panjang. Sementara kalau di politik, meski gagal, mereka dapat mengelola suaranya di pemilu 2019,” lanjut Adi yang merupakan Dosen Politik di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Demi mengejar jabatan prestise di kalangan sipil, para jenderal tentu sudah memperhitungkan peluang menangnya dan itu jadi salah satu alasan mereka terjun ke dunia politik. Menurut Adi, tidak mungkin seorang jenderal rela mengundurkan diri dari jabatannya jika tidak melihat peluang menang yang besar.

Misalkan saja keberadaan Edy Rahmayadi yang mencalonkan diri sebagai calon gubernur di Pemilihan Gubernur (Pilgub) Sumatera Utara (Sumut) 2018. Coba lihat, Edy adalah mantan Pangdam Bukit Barisan dan salah satu wilayah Kodam Bukit Barisan adalah Sumut.

Tak hanya itu, jabatannya sebagai Pangkostrad juga dinilai bisa menarik massa karena popularitasnya. Apalagi, Edy juga didukung sejumlah partai politik yang kuat di antaranya PKS, Gerindra, PAN, Nasdem, dan Golkar. Sederet modal itu tentu membuat Edy sangat percaya diri.

“Jadi kira-kira seperti itulah motif-motif dan alasan kenapa para jenderal baik itu dari TNI ataupun Polri mau terjun ke politik praktis dan meninggalkan jabatannya,” kata Adi.

Militer Harusnya Kembali ke Barak

Adi berpendapat bahwa di era demokrasi yang mulai menuju kemapanan, tentara dan polisi itu seharusnya kembali ke barak. Sebagai alat negara, tentara dan polisi harus menjauhkan dirinya dari dunia politik.

“Memang memunculkan banyak kekhawatiran jika militer terjun ke dunia politik. Takutnya timbul sikap-sikap otoritarianisme, praktek pemimpin-pemimpin yang anti kritik, dan pemimpin-pemimpin yang menjaga kekuasaan lewat kekerasan,” tandas Adi.

Adi tak menampik bahwa trauma sikap represif dari tentara di masa Orde Baru masih menghantui hingga saat ini. Yang ditakutkan bahwa potensi tersebut bisa saja muncul lagi di era sekarang ini.

“Trauma masa lalu selama 32 tahun di zaman Soeharto itu tidak bisa dihilangkan begitu saja. Karena memang potensi itu ada dan bisa saja terjadi, terutama oleh jenderal-jenderal yang berhenti di tengah jalan, bukan karena pensiun.”

“Secara teoritis di negara-negara manapun, ketika demokrasinya sudah terkonsolidasi, mapan, dan tidak ada imperialisme, maka memang TNI dan Polisi itu harus kembali ke barak.

“Mereka harus menjelmakan dirinya sebagai abdi negara, alat negara, menjaga keamanan dan stabilitas negara. Itu saja titik, gak ada tawar menawar karena seseorang yang memilih hidupnya untuk menjadi tentara atau polisi itu berarti memilih untuk mengabdikan diri sepenuhnya untuk negara, bukan untuk politik,” tuntas Adi.

Share: Aroma Politik Jenderal di Pilkada 2018: Antara Barak dan Prestise Jabatan Sipil