Isu Terkini

Julukan Nyeleneh Efektifkah untuk Kritik Pejabat?

Ikhwan Hardiman — Asumsi.co

featured image
Sekretariat Kabinet RI

Setelah Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI) menyematkan julukan King of Lip Service kepada presiden Joko Widodo. BEM Keluarga Mahasiswa Universitas Negeri Semarang (KM Unnes) pun memberi gelar kepada wakil presiden Ma’ruf Amin sebagai King of Silence dan Ketua DPR RI sebagai Queen of Ghosting

Julukan BEM UI terhadap Jokowi  sempat menimbulkan polemik di tengah masyarakat, terutama jagad media sosial. Ketua BEM UI, Leon Alvinda Putra pun sempat menjadi sorotan karena dianggap mengompori suhu politik menjadi semakin panas. Namun tak sedikit pula yang menganggapnya sukses melayangkan kritik agar langsung sampai ke telinga penguasa. 
Dalam studi lembaga kajian politik Laboratorium Indonesia 2045, unggahan BEM UI tentang King of Lip Service pada 26 Juni 2021 lalu sukses menjadi salah satu bahan perbincangan terpopuler di linimasa Twitter. Setidaknya ada 65.910 akun yang mengunggah topik tersebut dari 26-29 Juni 2021. Dalam studi yang sama, pembicaraan warganet didominasi oleh kritikan mahasiswa BEM UI terhadap Joko Widodo yang dinilai tidak konsisten dalam ucapan dan tindakan. 
Analis Komunikasi Politik Universitas Esa Unggul, Jamiluddin Ritonga menilai fenomena julukan publik terhadap politisi merupakan bentuk ketidakpercayaan masyarakat terhadap para pemimpinnya. Menurutnya, persoalan kepercayaan merupakan isu vital dalam pemerintahan karena masyarakat merupakan pemilih langsung orang-orang yang saat ini berdiri di kursi istana kepresidenan. 

“Semua julukan tersebut bernada negatif yang langsung ditujukan kepada orang-orang yang paling berkuasa di Indonesia. Nadanya mengindikasikan ketidakpercayaan kepada Presiden, Wakil Presiden, dan Ketua DPR RI,” kata Jamil dalam keterangan persnya pada Kamis (8/7/2021). 
Terpisah, Direktur Eksekutif Indonesian Public Institute, Karyono Wibowo menanggapi fenomena jululkan itu sebagai bentuk kreativitas berpendapat di negara demokrasi. Mengenai efektivitas julukan terhadap tokoh politik, ia mengajak publik melihat dampak dari aksi tersebut dengan memerhatikan respon objek yang dikritik. 
“Kembali ke pilihan kita masing-masing untuk memilih cara (kritik) yang beradab. Tinggal dipilih ke kritik konstruktif atau destruktif,” katanya saat dihubungi Asumsi, Kamis (8/7/2021).
Ia menjelaskan kritik kepada pemimpin negara tidak dilakukan dengan menyerang pribadi dan melanggar hukum. Di satu sisi, ia berharap politisi yang mendapat sebutan-sebutan nyeleneh menyikapi persepsi publik dengan bijak. Menurutnya, politisi yang cerdas memberi respon terhadap keraguan publik dapat menghadapi kritik sekeras apapun. 
“Kritik itu bebas nilai, walaupun keras sekalipun tetap sah-sah saja. Tapi memang perlu objektif,” ujarnya. 
Pemakluman sebutan-sebutan nyeleneh kepada pejabat publik juga disampaikan oleh Direktur Lingkar Madani Indonesia, Ray Rangkuti. Menurutnya, julukan kepada politisi itu sama sekali tidak berlebihan
“Khususnya yang terkait dengan pak Jokowi, berbagai pernyataannya berbeda di lapangan. Hal yang paling tampak ada adalah Jokowi tidak bertindak soal [adanya pelemahan KPK melalui] tes wawasan kebangsaan  (TWK)  KPK,” kata Ray saat dihubungi Asumsi, Kamis (8/7/2021). 

Selain kritik untuk Jokowi, ia berpendapat julukan King of Silence kepada Ma’ruf Amin juga tepat karena sebagai wakil presiden, Ma’ruf tidak memiliki peran apa-apa dan tidak bertindak atau melakukan langkah politik untuk membantu kebijakan untuk menyelesaikan permassalahan di tengah pandemi. Ma’ruf dinilai sangat hening selama pandemi COVID-19. 
Kemudian ada pula sebutan Puan Maharani sebagai Queen of Ghosting, karena dianggap tak punya paradigma kerakyatan selama menjadi Ketua DPR. Terlebih dalam penjelasan  Presiden BEM KM Unnes menjelaskan selama kepemimpinan Puan, DPR RI mengesahkan 6 rancangan undang-undang atau RUU dari 37 rancangan yang masuk program legislasi nasional. Namun, enam RUU tersebut justru problematis di kalangan masyarakat. Sementara RUU yang diharapkan cepat diundangkan seperti penghapusan kekerasan seksual tak kunjung disahkan. Menanggapi hal tersebut Ray menjelaskan, kritik yang diberikan oleh mahasiswa adalah kritik yang membangun.
“Jika penanganan Covid-19 tidak membaik, justru akan menambah kerekatan gerakan mahasiswa. Jadi perlu ajak dialog, debat dan sebagainya. Itu akan lebih baik daripada menyerang secara personal apalagi membawanya ke kepolisian,” kata dia. 

Share: Julukan Nyeleneh Efektifkah untuk Kritik Pejabat?