Foto: Ramadhan Yahya/Asumsi.co
Irfan tak pernah mengira bahwa kabar buruk itu tiba dan mengetuk pintu hidupnya. Lima hari lalu, tante Irfan dari keluarga sang ibu menutup mata untuk selamanya. Dia terpukul. Dia merasa tak dapat berbuat apa-apa selain menerimanya sebagai bagian dari siklus kehidupan.
Namun begitu, Irfan tak mampu menutupi rasa kecewanya. Andaikata sejak Maret tahun lalu pemerintah lebih serius menangani pandemi, katanya, mungkin saja nyawa tantenya dapat tertolong.
Subuh lima hari lalu, tante Irfan melakukan rutinitasnya seperti biasa: bangun sebelum matahari muncul lalu salat Subuh. Tak lama berselang, dia ambruk dan tergeletak tanpa daya.
“Akhirnya, sama suaminya, tante dibawa ke klinik biasa dia berobat, di daerah Padalarang,” kata lelaki 27 tahun ini kepada saya.
Sesampainya di klinik, tante Irfan langsung ditangani sebisa mungkin dengan peralatan yang begitu terbatas. Oleh petugas klinik, sang tante diminta pergi ke rumah sakit terdekat, yang fasilitasnya jauh lebih memadai.
Rombongan keluarga Irfan segera menginjak gas mobil, mencari rumah sakit yang dapat dimintai pertolongan. Di rumah sakit yang pertama, mereka ditolak dengan alasan sudah penuh oleh penderita COVID-19.
Rombongan tersebut kembali ke mobil dan mencari rumah sakit ke daerah Cibabat. Harapan terus diapungkan. Mereka percaya, di lokasi kedua, semua akan baik-baik saja.
Ternyata tidak. Lagi-lagi tante Irfan tak memperoleh pelayanan karena rumah sakit terkait tengah disterilisasi setelah banyak tenaga kesehatan yang bertugas di sana terpapar virus.
“Di RS kedua itu hari sudah siang,” jelas pegawai swasta yang berdomisili di Bandung ini.
Berupaya tetap menjaga optimisme, rombongan mengarahkan roda kendaraan ke lokasi yang ketiga. Bayang-bayang keputusasaan menyelimuti anggota keluarga lantaran pihak rumah sakit, mulanya, menolak untuk menangani tante Irfan.
Alasannya tak jauh berbeda: rumah sakit penuh pasien COVID-19.
“Pihak rumah sakit akhirnya mengiyakan setelah keluarga memohon. Akhirnya, mereka memperbolehkan asal keluarga menandatangani surat yang menyebut bahwa kalau nanti tante dites dan terindikasi [tertular] COVID-19, dan ada [kejadian] apa-apa, jenazahnya bisa dimakamkan sesuai prosedur COVID-19,” paparnya.
Tante Irfan ambruk bukan karena COVID-19, melainkan diabetes yang diidapnya kambuh.
Surat sepakat pun diteken. Bayangannya, tante Irfan bisa dirawat di ruang ICU, namun kenyataan justru berkata sebaliknya. Pihak rumah sakit menempatkannya di UGD, hanya dengan bantuan selang dan tabung oksigen.
Keluarga sedikit lega. Setidaknya dia mendapatkan perawatan supaya kondisinya tak makin memburuk. Doa tak henti-hentinya dipanjatkan.
Namun, hidup tak bisa ditebak. Kita tak bisa memastikan ke mana bandul nasib akan bergerak. Beberapa jam kemudian, berita bak gemuruh itu disampaikan pihak rumah sakit: tante Irfan meninggal dunia.
Dunia keluarga Irfan runtuh seketika. Hanya ada tangis dan derai air mata yang terus mengucur. Sore itu, harapan ada lagi bagi para anggota keluarga Irfan. Sisa-sisa keyakinan berserakan ke berbagai sudut, lenyap bercampur kecewa, amarah, dan kesedihan tak terkira.
Andai saja penanganan pandemi bisa lebih baik.
***
Awalnya, Regina tak mendapatkan restu dari orang tuanya—terutama sang ibu—untuk bertugas di garda terdepan penanggulangan wabah COVID-19, sekalipun statusnya adalah seorang dokter.
“Mei itu, waktu pandemi masih ‘baru,’ orang tua enggak ngizinin,” ujarnya kepada saya, membuka perbincangan. “Setelah beberapa kali ngobrol, akhirnya dibolehin juga.”
Wajar belaka orang tua Regina, dan saya pikir semua orang tua, berpikir lebih dari dua kali sebelum memberi lampu hijau kepada anaknya untuk bertemput di garis penanganan COVID-19. Tugas tenaga kesehatan, entah dokter, perawat, hingga supir ambulans, penuh risiko.
Kemungkinan tertular, bahkan kehilangan nyawa saat bertugas, mengingat betapa ganasnya virus ini, terbuka amat lebar.
“Salah satu alasanku untuk meyakinkan orang tua adalah bahwa ini tugas kemanusiaan. I have moral reason to join,” kata perempuan 24 tahun ini.
Izin sudah dipegang, dan sejak Mei tahun lalu dia resmi bertugas, menjadi satu dari sekian banyak nakes yang terdaftar dalam upaya memutus—dan menghentikan—rantai penyebaran virus.
Regina melintasi batas-batas, dari satu tempat menuju ke tempat lainnya, demi memastikan nasib mereka yang terjerat COVID-19 dapat diselamatkan. Selama lebih dari setengah tahun, dia berusaha menjaga napas sekaligus semangatnya; menghadapi hari-hari yang tak pasti, termasuk ketika penyebaran virus memperlihatkan wajah ganasnya beberapa bulan belakangan.
Regina berkisah, sebelum masa kelam itu datang, biasanya, dia menangani sekira 30 pasien. Seiring meningkatnya jumlah kasus positif COVID-19, bebannya bertambah sampai 70 pasien dalam sehari.
“RS penuh, Mas. Bahkan, dulu satu ruangan isolasi [COVID-19] itu kalau ada 140 suspect, hanya sekitar 10 orang yang positif. Sekarang berbeda. Hampir semuanya positif, dengan hasil rontgen yang cukup buruk,” katanya, dengan suara yang bergetar.
Situasi kian buruk manakala rumah sakit tempat Regina bertugas statusnya cuma kelas D, di mana hanya memiliki satu ventilator dan dua kamar HCU (High Care Unit).
Kematian pasien dan tersungkurnya para nakes pun jadi pemandangan yang tak asing baginya. Dalam satu kesempatan, enam pasien yang dia tangani meninggal dunia selagi dicarikan rumah sakit rujukan.
Di lain waktu, dia juga melihat dengan begitu gamblang bagaimana perawat ambruk di depan matanya, tepat saat IGD dipenuhi pasien yang mencari kesembuhan.
“Udah kayak Wuhan waktu kemarin-kemarin,” jelas Regina, menggambarkan situasi chaos yang dialaminya.
Pengalaman-pengalaman tersebut, tak pelak, membikin Regina terjatuh dalam lelah yang teramat, baik fisik maupun mental. Tak terhitung lagi seberapa sering kesedihan dan rasa terpukul yang mesti dia lewati. Dia pun tahu, duka yang terjadi pada hari ini bisa terulang kembali di kemudian hari.
“Aku akan nangis ketika udah ada di posisi kayak gitu,” tambahnya. “Rasanya kayak udah nggak kuat ngelihat apa yang terjadi di depan kita, ketika nyawa seperti jadi taruhan.”
***
Para ilmuwan mengatakan bahwa kemunculan virus mematikan dari Wuhan, Cina, akan jadi musuh besar bagi banyak negara. Kabar tersebut menyelinap di antara kabar lainnya seperti tewasnya Qasem Soleimani—orang penting militer Iran setelah ditembak rudal—hingga pemakzulan badut politik AS, Donald Trump.
Kabar soal virus mematikan itu tak direspons seragam. Beberapa menanggapinya dengan serius, yang kemudian disusul penyusunan langkah preventif secara komprehensif. Beberapa lainnya menganggapnya tak ubahnya angin lalu yang bakal lenyap dengan sendirinya.
Bulan-bulan pertama 2020, yang semestinya bisa dimanfaatkan dengan baik untuk memperkuat sistem kesehatan hingga mitigasi, nyatanya, justru dipakai pemerintah untuk melontarkan berbagai pernyataan yang terkesan meremehkan.
Menantang ilmuwan Harvard untuk datang ke Indonesia dan membuktikan bahwa COVID-19 ada, mengatakan COVID-19 tak lebih dari sekadar flu biasa, mengajak masyarakat berdoa agar tubuh senantiasa kuat, dan masih banyak lagi perilaku konyol para pejabat kita yang seperti merangkum satu hal: betapa tak seriusnya pemerintah Indonesia melihat eksistensi COVID-19.
Bahkan laku semacam ini masih dapat dijumpai tatkala Indonesia mencatat kasus pertama pada Maret 2020. Berkali-kali terjadi tarik ulur antara Jakarta dan daerah lainnya sehubungan kebijakan penanggulangan COVID-19. Pertimbangan “menjaga roda perekonomian” menjadi landasan utama pemerintah di setiap keputusan yang diambil, tak terkecuali meniadakan lockdown dan memilih memakai pendekatan “karantina wilayah,” “pembatasan sosial,” maupun istilah-istilah lain yang berubah-ubah dan, nahasnya, kerap bikin bingung masyarakat, sebelum akhirnya meruntuhkan tembok kepercayaan terhadap pemangku kebijakan.
Sebetulnya pemerintah itu mau seperti apa?
Tak mengherankan bila 10 bulan waktu berjalan pandemi COVID-19 di Indonesia belum memperlihatkan garis finish-nya. Selayaknya lomba lari, kita dipaksa terus mengayunkan langkah kaki, tak peduli seberapa jauh jarak yang mesti ditempuh, tak ambil pusing sudah berapa peluh keringat bercucuran, tanpa tahu dengan pasti apakah kita bisa sampai atau tidak.
Di saat banyak negara sanggup mengendalikan laju pandemi, Indonesia masih berkubang dalam kabar peningkatan jumlah kasus positif setiap harinya.
Sejauh ini, ada 836.718 kasus positif yang tercatat, dengan 24.343 orang dinyatakan meninggal dunia dan 688.739 sembuh. Angka tersebut mengantarkan Indonesia ke dalam jajaran 20 besar negara di dunia dengan kasus positif COVID-19—dan peringkat klasemen di kawasan Asia Tenggara. Di waktu bersamaan, banyaknya jumlah kasus positif itu berbanding lurus dengan positivity rate-nya, yang menyentuh titik di atas 20 persen.
Sayang, alih-alih meningkatkan langkah penanggulangan yang lebih tepat sasaran, seperti memperbanyak jumlah testing, yang sampai hari ini masih begitu rendah, sekira 0,14 per seribu penduduk, pemerintah malah sibuk menyebar false positivity. Mulai dari membanggakan tingkat kesembuhan yang terus menanjak, membandingkan dengan negara lain yang keadaannya disebut jauh lebih parah, hingga bergantung pada eksistensi distribusi vaksin.
Sementara jargon-jargon meneduhkan semacam itu senantiasa direproduksi dari waktu ke waktu, layanan kesehatan kita berada di ambang kejatuhan, banyak pasien—COVID-19 atau tidak—tak terselamatkan, hingga nakes yang satu per satu berguguran.
Hampir setiap hari saya membuka media sosial, dan tepat di situlah saya selalu mendapatkan informasi yang kurang lebih berbunyi: rumah sakit sudah kewalahan. Nakes mati. Kuburan penuh. Dan masyarakat sibuk bervakansi sebab merasa pandemi akan berakhir dengan munculnya vaksin.
Itu belum seberapa sampai akhirnya saya membaca ungkapan penuh welas asih dari orang nomor satu di negeri ini:
“Walau pandemi belum berlalu, tapi kita bersyukur bahwa kita termasuk negara yang mampu mengelola tantangan ini, penanganan kesehatan yang bisa dikendalikan dengan terus meningkatkan kewaspadaan dan pertumbuhan ekonomi yang sudah naik kembali sejak kuartal tiga lalu mesi dalam kondisi minus.”
Dalam konteks penanganan pandemi di Indonesia, ekonomi adalah raja dan kematian tak lebih dari angka-angka statistik.
***
“Saya [udah] kehabisan harapan,” ujar Irfan. “Nggak tau [pemerintah] orientasi [kebijakan] ke mana.”
Irfan mengucapkan kalimat tersebut dengan nada yang berat, dan seperti sudah tandas harapannya melihat cara rezim ini menangani pandemi. Dia baru saja dirundung kabar duka, salah satu anggota keluarganya meninggal dunia sebab sengkarut pengelolaan wabah selama 10 bulan terakhir.
“Saya percaya ini masalah struktural, yang berkelindan dengan urusan kesehatan. Sejak awal kita menyepelekan. Mulai dari kacaunya pengelolaan data, yang kemudian berujung pada banyaknya kasus pasien meninggal setelah ditolak RS yang udah kewalahan. Belum yang meninggal dalam perjalanan ambulans,” katanya.
“Sedih rasanya,” dia menambahkan.
Irfan tak sendirian. Kita bisa sepakat bahwa di luar sana akan ada banyak orang yang menganggap bahwa sampai sekarang penanganan pandemi di Indonesia masih jauh dari kata ideal, entah yang sudah merasakan langsung peristiwa kehilangan maupun yang baru mendengar dari cerita di sekitarnya.
Senada dengan Irfan, Regina tak ingin lagi menaruh harap kelewat tinggi terhadap situasi saat ini. Dia sadar, tantangannya begitu banyak, dan proses mengurai sengkarut masalah itu butuh waktu yang tak sebentar.
“Udah kayak kehabisan kata aja, Mas,” dia memberi tahu saya.
Yang ingin Regina lakukan hanyalah bertugas sebaik mungkin, berupaya keras menjaga nyawa-nyawa mereka yang terserang virus agar mampu terhindar dari lubang kegelapan. Untuknya, hal itu adalah keniscayaan, sekalipun dia paham betapa hari-hari mendatang (masih) dilumuri gelap ketidakpastian.
Dan entah butuh berapa lama lagi bagi kita agar bisa merangkak, dan kemudian berjalan, menuju titik terang yang terpancar dari hitam lorong kenestapaan.