Isu Terkini

Alat Deteksi Bencana Alam Rusak, Instruksi Presiden Jadi Kunci

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Tsunami di Selat Sunda yang menerjang Lampung dan Banten menjadi sebuah bencana yang cukup menghebohkan. Apalagi, tidak ada peringatan dini seperti bencana alam pada umumnya. Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengaku tsunami yang terjadi pada 22 Desember 2018 kemarin berbeda seperti biasanya.

Ketika itu memang tidak ada gempa bumi sebagai tanda terjadinya tsunami. BMKG hanya memperingati adanya gelombang tinggi air laut dan bukannya gelombang tsunami. Akibat dari tidak adanya peringatan itu, ada sekitar 437 orang yang meninggal dunia, 14.075 korban luka-luka, dan 10 orang yang dinyatakan belum berhasil ditemukan. Lalu, mengapa bisa tidak ada peringatan dari BMKG?

Ombak besar yang menghantam pesisir Banten dan Lampung itu disebabkan oleh erupsi Gunung Anak Krakatau. Hal ini diberitahu oleh BMKG sehari setelah terjadinya Tsunami. Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono mengaku pihaknya hanya bisa berikan peringatan dini tsunami jika disebabkan oleh gempa bumi.

“Untuk kasus tsunami akibat Gunung Anak Krakatau belum ada peringatan dini. Yang ada peringatan dini akibat gempa bumi tektonik,” ujar Triyono di Gedung BMKG, Jakarta, Minggu, 23 Desember 2018.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) pun menjelaskan bahwa sebenarnya masyarakat bisa menyelematkan diri dari bahaya tsunami jika ada peringatan dini. Setidaknya orang-orang di sekitar pesisir pantai masih punya waktu sampai 24 menit untuk bisa evakuasi diri setelah adanya peringatan dini. Namun sayangnya, Indonesia tidak memiliki sistem pendeteksi tersebut.

“Tidak ada peringatan dini tsunami karena kita, Indonesia tidak miliki sistem peringatan dini tsunami yang dibangkitkan longsroan bawah laut dan erupsi gunung api. Sehingg tiba-tiba jadi masyarakat tidak bisa evakuasi. Beda sama tsunami gempa bumi, Indonesia sudah punya,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho, di Graha BNPB, Jakarta, Selasa, 25 Desember 2018.

Lebih dari itu, ada data mengejutkan pula yang menguak fakta baru tentang sistem pendeteksi bencana alam di Indonesia. Ternyata selama ini pendeteksi bencana di Indonesia ditemukan banyak yang mengalami kerusakan. Seperti keadaan alat pendeteksi tsunami yang biasa dikenal dengan sistem Buoy. Alat dengan nama asli Deep-Ocean Assessment and Reporting of Tsunami ini ditempatkan di lautan untuk mengetahui perubahan level permukaan air laut.

Namun miris, sejak 2012 silam sistem Buoy itu tidak ada yang beroperasi. Bahkan pada 2017 lalu, Humas BNPB Sutopo juga sudah pernah mengatakan, bahwa dari Indonesia memiliki 22 Buoy yang tersebar di perairan Indonesia, semuanya dalam kondisi rusak total. Itu juga yang menyebabkan gempa dan tsunami di Sulawesi juga memakan korban jiwa.

Sekelumit Anggaran Deteksi Bencana

Anggota Komisi V Nurhasan Zaidi sudah mendesak pemerintah agar segera membeli alat pendeteksi tsunami. Ia menuturkan. Kepada Komisi V, BMKG sendiri sudah pernah mengajukan anggaran dana. Namun anggaran perawatan tersebut tidak dipenuhi oleh pemerintah karena berbagai alasan penghematan.

“Sekarang presiden baru ngeh. Kita sudah sampaikan sejak dulu. Jadi harus mengerti mana prioritas persoalan ini, jadi DPR sudah mengingatkan,” kata Nurhasan Zaidi saat menanggapi perintah Presiden Joko Widodo untuk menambah alat pendekteksi bencana.

Pernyataan dari Nurhasan senada dengan pengakuan dari Kepala Pusat Gempa Bumi dan Tsunami BMKG Rahmat Triyono. “Biasanya terkendala di pembahasan kalau enggak strategis ya dicoret,” ujarnya pada Selasa, 25 Desember 2018.

Walau sudah ada instruksi Presiden untuk penambahan alat, Rahmat Triyono menilai bahwa untuk masalah anggarannya tak bisa cepat direalisasi. Sebab ada mekanisme yang haus dilalui dari mulai perencanaan, pembahasan penganggaran dan pembelian. “Masalahnya penganggaran tidak serta merta BMKG usulkan anggaran. Tentu harus lalui dewan, Kemenkeu, Bappenas dikaji. Itu prosesnya bersama,” keluhnya.

Apalagi anggaran untuk tahun 2019 sudah disetujui pada tahun ini. Menurut prediksinya, instruksi Presiden mempercepat pengadaan alat deteksi dini baru terealisasi minimal tahun 2020. Ia menyayangkan lambatnya pemerintah merespon permintaan alat deteksi dini jenis bencana gempa dan tsunami dari usulan BMKG. Padahal Indonesia berada di zona rawan banyak bencana. Kehadiran alat deteksi dini juga berdampak pada mitigasi bencana yang akan mengurangi korban.

Tak hanya pendeteksi tsunami, ahli vulkanologi Surono juga ikut mempertanyakan keberadaan alat pemantau Gunung Anak Krakatau. Mantan Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) ini meminta agar BMKG terus memantau alat pendeteksi Gunung Anak Krakatau.

“Ini kita bicara nyawa, alam, itu harus jujur. Mari kita hadapi dengan kejujuran, misal ini (Lampung dan Banten) daerah vital dan strategis, pemerintah masang alat pemantau Gunung Anak Krakatau enggak?” kata Mbah Rono dalam sebuah diskusi bertema ‘Mitigasi bencana masih menjadi PR’, di kawasan Rawamangun, Jakarta Timur, Kamis, 31 Januari 2018.

Surono berharap pihak-pihak terkait senantiasa memastikan alat pantau itu dalam keadaan nyala. Namun, satu hal yang ia peringatkan, bahwa meskipun adanya mitigasi bencana, penelitian juga tetap harus terus dilakukan. “Identifikasi ancamannya termasuk penelitian, mitigasi tanpa penelitian itu gagal, sudah pasti,” tandasnya.

Share: Alat Deteksi Bencana Alam Rusak, Instruksi Presiden Jadi Kunci