Kendati kritik keras terus bermunculan, meminta pemerintah menunda Pilkada Serentak 2020 dan fokus dalam penanganan pandemi, rencana tetap berjalan seperti semula.
270 daerah yang tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia menyelenggarakan Pilkada. Setiap daerah punya karakter yang berbeda, mulai dari dinasti politik, perpanjangan tangan oligarki, hingga bayang-bayang konflik lingkungan yang menunggu diselesaikan.
Asumsi berbicang dengan Aisah Putri Budiatri, peneliti Pusat Penelitian Politik LIPI, yang fokus pada isu partai politik dan pemilihan umum, untuk memahami kerumitan-kerumitan yang melingkupi Pilkada 2020 ini. Berikut wawancara yang telah disunting demi kerjernihan:
Kita tahu, beberapa negara menunda pemilihan umum karena pandemi. Mengapa pemerintah Indonesia ngotot melaksanakan Pilkada?
Yang tahu secara pasti jawabannya adalah pemerintah, saya rasa, sebab mereka yang mengambil kebijakan. Namun, saya pikir keputusan ini muncul terkait perputaran perekonomian. Ini dugaan saya.
Dengan adanya Pilkada, harapannya bisa mendorong belanja negara, ketika ada uang besar yang digunakan sekaligus di banyak daerah dan di waktu yang sama.
Pandemi membuat perekonomian dalam negeri stagnan, bahkan [pertumbuhannya] minus. Saya kira, dari sini jelas bahwa alasan ekonomi lebih kuat sebagai pendorong pelaksanaan Pilkada di masa pandemi.
Di luar alasan ekonomi, ada juga faktor cost politik yang sudah dikeluarkan. Sebetulnya Pilkada tahun ini sudah mengalami penundaan. Agaknya tidak dapat ditunda lagi karena antara elite lokal dan nasional kemungkinan besar bargain-nya tidak menunda. Jika ditunda entah sampai kapan, kerugian politiknya akan cukup banyak.
Ini berhubungan dengan peta politik di tingkat lokal, ya. Mempersiapkan diri untuk bertarung di ajang Pilkada itu bukan dalam semalam. Meski dilakukan pada 2020, persiapannya mungkin sudah jauh-jauh hari. Mulai dari penyusunan strategi, perekrutan tim sukses dan relawan, kerja sama dengan konsultan politik, hingga menjaring calon pemberi suara.
Jika ditunda, selain rugi secara finansial untuk biaya-biaya persiapan tadi, atau dengan kata lain dana operasionalnya membengkak, juga rugi secara politik: calon berpotensi kehilangan loyalitas maupun pegangan di antara para konstituen.
Apa yang sudah dibangun jauh-jauh hari, dalam konteks dukungan dari calon pemilih, berpeluang lenyap. Calon pemilih bisa jadi lupa [dengan pasangan calon yang ada] dan akhirnya tidak memilih. Perhitungan pun meleset.
Apakah pandemi membuat publik semakin kritis terhadap eksistensi dinasti politik dalam Pilkada tahun ini? Saya melihat perbincangan soal dinasti politik tidak terlalu sekencang pada waktu-waktu sebelumnya.
Saya rasa yang harus dicemaskan bukan itu, lantaran di beberapa level, terutama di tingkat aktivis maupun akademisi, daya kritis itu masih ada. Saya khawatirnya justru di level grassroot ketika pandemi membuat pemahaman terhadap calon yang ada jadi sedikit-banyak terdampak.
Pandemi membuat segala ruang yang dapat memberikan pemahaman akan calon yang ada jadi tertutup. Kampanye, misalnya, dilakukan dengan menghindari tatap muka.
Akhirnya, karena kondisi semacam itu, dampaknya bisa muncul di hari-H pelaksanaan. Pengetahuan yang kurang terhadap calon lain—dan program-program yang dibawa—bisa jadi membuat para pemilih memberikan suaranya ke dinasti politik lagi. Jatuhnya keuntungan buat dinasti politik. Ini yang sebetulnya mengkhawatirkan.
Bagaimana dengan isu agama? Masih laku?
Saya tidak melihat [isu agama] menonjol. Karena ada perbedaan di konteks lokal dan nasional. Saya kira isu agama tidak melulu laku. Bahkan di level nasional pun laku di dalam konteks tertentu saja. Ada faktor yang saya pikir cukup memengaruhi itu: peta politik dan sosok yang berdiri di belakangnya.
Isu agama ini meledak waktu pertama kali dicoba pada 2014. Waktu itu bisa jadi mainan dan bancakan politik karena sosok Jokowi yang, ambil contoh, didukung PDIP. Setelah Jokowi, pengalaman serupa juga dirasakan Ahok—mantan Gubernur DKI Jakarta—yang berkali-kali diserang karena keyakinan maupun etnisnya.
Jadi, memang tergantung kebutuhan politiknya seperti apa. Di level nasional, isu agama berpeluang terus-menerus dipakai karena ada celah yang bisa dimainkan, dalam hal ini sosok yang tengah bertarung. Tapi, di level lokal, belum tentu isu agama laku dipakai politikus. Medan tempur politiknya berbeda dan tidak bisa dipukul rata. Itu sebabnya di tingkatan lokal, pada tahun ini, [isu] agama tidak kelewat menonjol.
Pada 2018, publik dikagetkan dengan kemenangan kotak kosong di Pilkada Kota Makassar. Kotak kosong menang melawan paslon yang didukung belasan partai. Pilkada tahun ini, kotak kosong kembali muncul di beberapa daerah. Apakah peluang menangnya besar?
Fenomena kotak kosong ini menarik sekali dibahas, tapi tidak banyak media maupun akademisi yang mengulasnya secara mendalam. Dari Pilkada Makassar 2018 sebetulnya kita bisa membaca bahwa kotak kosong bisa terulang, semakin meningkat, dan akhirnya jadi fenomena tersendiri dalam konstelasi politik lokal.
Kemunculan kotak kosong berkaitan dengan partai politik, menandakan bahwa rekrutmen dan kaderisasi mereka bermasalah. Gambarannya, kira-kira, begini. Ada satu calon yang menonjol, secara sosial maupun finansial. Ketimbang susah, partai politik akhirnya memilih calon yang menonjol tadi saja karena sudah jelas.
Calon itu, mungkin, memang menonjol. Tapi, yang perlu diingat, bisa jadi itu bukan calon yang terbaik. Dari sinilah kemudian muncul kotak kosong. Kondisi di Makassar dua tahun lalu juga begitu, bukan?
Pilkada yang berlangsung di masa pandemi ini sebetulnya jadi ajang trial kotak kosong di beberapa daerah. Peluangnya masih sama-sama terbuka, antara calon tunggal dan kotak kosong itu sendiri. Namun, yang pasti, kalau kotak kosong menang seperti yang terjadi di Makassar, besar kemungkinan akan jadi fenomena terulang di ajang-ajang berikutnya.
Ketika membicarakan politik dinasti, orang kerap menyebut Solo. Apa yang bisa dilakukan masyarakat sipil agar pemerintahan di kota mereka benar-benar berjalan secara adil dan tidak sekadar jadi ceruk kepentingan elite?
Kalau mencegah sudah jelas tidak bisa, karena sudah jadi calon. Dan untuk mencegah publik agar tidak memilih pun, saya kira, juga sangat kecil lantaran yang ada di depan mereka itu Gibran. Kita tahu dia siapa daripada lawannya yang maju secara independen. Akan susah. Mereka maju melawan partai aja kemungkinan menangnya kecil, apalagi ini melawan Gibran.
Adanya Gibran bukan hanya jadi sorotan di level lokal, tapi juga nasional. Dia menarik perhatian publik ke Solo. Beban Gibran cukup berat untuk membuktikan bahwa dia mampu jadi pemimpin. Dia sangat muda di dunia politik, tidak punya track record sebagai birokrat maupun teknokrat. Dia anak presiden yang banyak dianggap jadi perpanjangan tangan oligarki melanggengkan kekuasaannya.
Namun, jika dia berhasil menang, berarti ada sebagian besar masyarakat Solo yang menghendakinya sebagai pemimpin. Dari sini, kita juga harus bisa melihatnya secara fair dan objektif: bisakah Gibran menjadi wali kota yang baik untuk warganya? Bisakah dia kerja sesuai visi dan misi yang ditetapkan? Bisakah dia merealisasikan program-program kerjanya?
Penyematan label “anak presiden” dan semacamnya tidak bisa dihindari karena situasi dan kenyataannya memang seperti itu. Yang harus dilakukan Gibran andaikata dia benar-benar terpilih adalah memperlihatkan kapasitasnya sebagai pemimpin daerah. Itu saja saya kira. Dan untuk masyarakat sipil sendiri, yang dapat dilakukan adalah terus mengawal kebijakan-kebijakan yang dia ambil.
Beberapa tahun lalu upaya menutup peluang kelahiran dinasti politik sempat ditempuh, tapi dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK). Ada alternatif?
Posisi MK sendiri sudah paling tinggi, jadi agak susah setelah ini. Paling memungkinkan adalah membuat undang-undang. Ini punya peluang dengan adanya revisi Undang-Undang Pemilu yang sudah dijadwalkan dalam Prolegnas [Program Legislasi Nasional].
Kita bisa masuk lewat pasal-pasal yang ada. Tapi, saya sendiri belum bisa membayangkan poin yang bisa disertakan dengan ketentuan yang sangat ketat: tidak boleh melanggar hak politik individu terkait.
Kendati secara legal masih problematis, saya kira, jalan yang bisa diambil dalam perlawanan terhadap dinasti politik ini adalah pembelajaran demokrasi itu sendiri. Demokrasi membikin semua tahu bagaimana risiko memilih dinasti politik. Jika tahu dinasti politik itu buruk, pertanyaan penting berikutnya pasti akan muncul: apakah harus memilih lagi untuk calon yang sama setelah dikecewakan?
Di sinilah aktivis dan akademisi yang concern terhadap isu demokrasi bisa memainkan perannya. Tunjukan ke publik bahwa dinasti politik itu lebih banyak mendatangkan kerugian. Sosialisasi-sosialisasi ini kemudian jadi bahan belajar politik yang krusial agar risiko yang berhubungan dengan dinasti politik dapat ditekan.
Dalam banyak kasus, dinasti politik lekat dengan praktik politik yang culas. Saya sampai bertanya-tanya: tidak bisakah, sekali saja, dinasti politik itu bekerja buat warga alih-alih kepentingannya sendiri. Mengapa demikian?
Itu terjadi lantaran melemahnya check and balance. Ketika satu daerah dikuasai dinasti politik, dari tingkat parlemen hingga eksekutif, sudah pasti profesionalitas mereka dalam bekerja patut diragukan. Keponakannya berada di DPRD, pamannya jadi wali kota, dan lain sebagainya.
Kalau sudah seperti itu, pengawasan tidak akan berjalan maksimal, sehingga ada ruang untuk praktik korupsi sampai bribery.
Yang lebih mengkhawatirkan lagi apabila dinasti politik itu levelnya meluas dan berlapis. Tak sekadar di lokal saja, tapi juga sampai provinsi hingga nasional, seperti halnya dinasti [Ratu] Atut [Chosiyah] di Banten. Kemungkinan muncul praktik-praktik culas, pastinya, akan jauh lebih besar.
Sementara yang kedua, dan ini juga tak bisa lepas dari kritik, adalah bukti bahwa partai politik tidak ideal dalam menyerap aspirasi. Dalam merekrut anggota, partai politik semestinya mempertimbangkan urusan publik dan negara. Ketika yang dipilih hanya itu-itu saja dan berasal dari satu garis keluarga yang sama, tugas dan fungsi parpol tidak berjalan secara baik. Ini baru dari satu partai saja, ya. Coba bayangkan bagaimana dinasti politik ini bila berasal dari banyak partai.
Siapa saja, seharusnya, punya kesempatan untuk bergabung ke partai politik dan kemudian maju dalam ajang kontestasi politik. Namun, saat ruang itu hanya diisi keluarga dan elite tertentu, makin tertutup kemungkinan bagi “orang-orang biasa” untuk ikut berkompetisi.
Jika sudah begini, saat politik dikuasai elite dan oligarki makin meningkat, satu-satunya harapan ada di masyarakat sipil.
Bakal berlangsung lama, ya, sepertinya.
Gejalanya menunjukkan seperti itu.
Apa yang dapat dilihat dari Pilkada 2020 sehubungan dengan kontes politik yang lebih luas: 2024?
Semuanya masih serba “kosong” lantaran belum tahu siapa calon kuat yang berpeluang menang dan mendapatkan dukungan publik. Pada 2024, tidak ada politisi petahana. Prabowo sendiri, misalnya, punya kendala usia yang nantinya berpengaruh pada kerja-kerja teknis. Sementara di level regulasi, kemungkinan adanya perubahan dalam Undang-Undang Pemilu juga masih terbuka. Jadi, semua masih terbuka lebar, entah itu calon atau partai.
Dengan tidak adanya calon pasti untuk 2024, paling tidak Pilkada 2020 ini menentukan partai politik mana yang kuat sebelum ajang empat tahun berikutnya. Partai politik yang menang di banyak daerah, kepercayaan dirinya akan meningkat, dan bisa mengusung calonnya sendiri. Sudah punya fondasi sendiri, bukan sekadar sebagai [partai] bagian koalisi, melainkan pengusung utama.
Ketika partai politik menang di banyak daerah, Pilkada ini dilangsungkan di 270 daerah, mereka punya akar dukungan di kota atau kabupaten. Belum ketika calon yang mereka usung menang, kekuatannya jadi bertambah.
Di media sosial, kritik terhadap Pilkada 2020 sudah sampai ajakan untuk tidak berpartisipasi. Bagaimana kira-kira di lapangan nanti?
Sebenarnya, jika melihat tren di dunia, ada kurang lebih 60 persen negara yang mengalami penurunan partisipasi dalam pemilihan umum di masa pandemi. Risiko memang tak bisa dihindari.
Berbicara soal Indonesia, risiko akan semakin besar, karena setidaknya faktor-faktor seperti ini:
Pertama, sempitnya metode pemilihan, yang dilakukan pada hari tertentu dan di tempat tertentu. Ada pengecualian, tapi ini untuk pasien. Saya, misalnya, yang tinggal di Cinere, Depok, tak bisa memilih di hari lain. Ini berbeda dengan, contohnya, Korea Selatan yang pemilihnya bisa memilih di hari lain. Mereka punya durasi pelaksanaan yang lama dan tempat yang fleksibel.
Atau contoh lain lagi di Amerika Serikat yang dalam pemilihan kemarin menggunakan mail voting. Di Indonesia, itu tidak dijumpai. Metodenya masih mengharuskan kita datang ke TPS dan memilih di tempat. Sebetulnya mail voting bisa diadopsi untuk situasi seperti sekarang. Tapi, kata pelaksana, terlalu riskan.
Kedua, perkembangan kasus positif COVID-19 di berbagai daerah sedang mengalami peningkatan. Ini termasuk di daerah yang banyak melangsungkan pemilihan, seperti Jawa Tengah dan Jawa Barat. Orang kemudian jadi takut keluar kalau kondisinya masih parah.
Ketiga, pengetahuan pemilih soal calon maupun metode pelaksanaan pemilihan kian rendah. Karena tidak tahu siapa yang hendak dipilih atau cara memilihnya bagaimana karena keterbatasan sosialisasi sebab pandemi, maka kemungkinan bagi mereka untuk tidak memilih pun bertambah besar.
Terakhir, penolakan atas pelaksanaan Pilkada di masa pandemi. Kampanye golput kemudian jadi laris di masyarakat. Orang-orang memakainya sebagai cara mengkritik pemerintah yang tetap melangsungkan Pilkada walaupun COVID-19 belum memperlihatkan tanda-tanda bakal selesai.
Beberapa paslon yang kami riset jarang bicara soal langkah nyata penanganan pandemi, dan masih menjual visi-misi populis seperti meningkatkan kesejahteraan, pembangunan infrastruktur, hingga yang paling klasik: mengentaskan kemiskinan. Mengapa masih saja begini?
Ini memang tak luput dari strategi politik yang diambil para calon. Isu kesejahteraan selalu menjual. Jargon semacam ini laku di mana-mana. Apalagi dalam kondisi saat ini, ketika ekonomi masyarakat tengah merosot. Maka, isu-isu populis akan jadi jualan yang sangat laku di pasaran. Dengan kata lain: modal untuk dipilih dan diterima di ruang publik.