Isu Terkini

Airbnb dan Uber Minim Peminat, Bagaimana Nasib Sharing Economy Pascapandemi?

Permata Adinda — Asumsi.co

featured image

Kapan terakhir kali kamu menyewa hunian lewat Airbnb? COVID-19 membuat orang lebih waspada dan menjaga jarak. “The new normal” sehabis pandemi diprediksi akan menghapus interaksi fisik dengan orang asing—termasuk interaksi yang membentuk bisnis sharing economy kini.

Platform berbagi hunian Airbnb telah mem-PHK 1.900 karyawannya selama pandemi atau 25% dari total tenaga kerja mereka. Prediksi mereka untuk balik modal tahun ini buyar, penghasilan hingga akhir tahun tak akan lebih dari separuh penghasilan tahun lalu. Airbnb juga melakukan pemotongan biaya dan menggelontorkan dana kompensasi bagi host atau mitra pemilik hunian yang mengalami banyak pembatalan pesanan.

“Walaupun kami tahu bisnis Airbnb akan pulih sepenuhnya, perubahan yang akan kami hadapi tidak akan bersifat temporer atau berjangka pendek,” ujar CEO Airbnb Brian Chesky dalam surat kepada karyawannya.

Kini, Airbnb berupaya menarik orang menggunakan platformnya dengan memastikan penyewa atau tamu dapat meminta jeda 24 hingga 72 jam sebelum huniannya bisa diisi kembali. Jika biasanya platform ini digunakan oleh orang-orang yang sedang berlibur dalam waktu singkat, Airbnb kini juga berfokus untuk menyediakan hunian yang dapat ditinggali dalam jangka panjang dan berjarak lebih dekat dengan rumah.

Sebelum pandemi COVID-19 melanda, sharing economy digadang-gadang akan menjadi masa depan ekonomi. Pada 2018, nilai Airbnb meraup US$38 miliar—meningkat dari US$31 miliar pada tahun sebelumnya. Menawarkan layanan penginapan dengan harga yang lebih terjangkau dan pengalaman yang lebih autentik daripada hotel, sebuah survei menunjukkan 55% pengguna Airbnb di Amerika Serikat dan Eropa sangat puas dengan pengalaman menginap lewat Airbnb. Dengan jumlah pengguna Airbnb di Amerika Serikat mencapai 33,9 juta orang, jumlah ini tadinya diprediksi akan meningkat menjadi 45,6 juta pada 2022.

Tak hanya Airbnb, bentuk-bentuk bisnis sharing economy lain seperti layanan berbagi tumpangan Uber dan co-working space juga tadinya diprediksi akan berkembang pesat. Uber telah tersedia di 69 negara dan lebih dari 900 kota di dunia. Layanan penyedia transportasi ini memiliki 100 juta pengguna di seluruh dunia dan keuntungan bersih mencapai US$14 miliar pada 2019.

Namun, penerapan physical distancing tak lagi membuat Uber bisa menyediakan layanan berbagi tumpangan atau UberPool. Analisis perusahaan finansial DA Davidson memprediksi kebutuhan akan layanan tumpangan telah turun hingga 83% pada Maret lalu. Penurunan ini tak hanya terjadi pada Uber, tetapi juga platform-platform penyedia layanan tumpangan lain. Kini, Uber telah mem-PHK 20% dari 27.000 karyawannya. Chief Technology Officer perusahaan tersebut, Thuan Pham, juga dikabarkan telah mengundurkan diri.

Uber pun mengalihkan fokus bisnisnya ke layanan pengantar makanan, sebagaimana Gojek dan Grab di Indonesia sekarang mengandalkan fitur Gofood dan Grabfood. Sejak pertengahan Maret lalu, jumlah pengguna yang menggunakan layanan antar makanan Uber Eats ini pun telah meningkat hingga 27%.

Walaupun begitu, sejumlah mitra kerja Uber mengatakan layanan antar makanan ini tidak sebanding dengan penghasilan yang biasanya mereka dapatkan dari layanan angkut penumpang. Data yang dikumpulkan oleh layanan Gridwise menemukan bahwa rata-rata pemasukan mitra pengendara Uber menurun sebesar 36% sejak awal Maret lalu.

Begitu pula dengan co-working space WeWork yang berupaya mentransformasi bisnisnya yang awalnya berlandaskan pada prinsip berbagi. Dibandingkan dengan rata-rata kapasitas ruangan untuk setiap pekerja di Amerika Serikat yang sebesar 19 m2, kapasitas ruangan untuk setiap pekerja di WeWork hanyalah 7 m2. Co-working space ini juga bergantung pada fasilitas bersama seperti ruang kerja bersama, bilik telepon, dan dapur. Kini, mengantisipasi kembalinya pekerja sehabis pandemi, WeWork berupaya memastikan setiap orang setidaknya berjarak dua meter dari satu sama lain. Begitu pula dengan protokol sanitasi ruangan yang lebih digencarkan.

Andaikan pandemi berakhir dan kebijakan physical distancing sudah dilonggarkan, hasil survei oleh Statistica Research Department menunjukkan bahwa sebagian orang tak akan kembali menggunakan layanan berbagi dalam bisnis sharing economy. Sebanyak 27% responden survei mengatakan akan mengurangi pengunaan layanan walaupun kebijakan physical distancing telah berakhir. Hanya 19% responden yang mengatakan akan kembali menggunakan layanan seperti biasa.

Sejumlah pihak mengatakan pandemi COVID-19 dapat jadi ajang untuk mengembalikan konsep sharing economy ke ide originalnya: masyarakat yang saling gotong royong dan dilandaskan dari rasa saling percaya. Sementara itu, kini sharing economy telah bertransformasi jadi pilar yang menopang gig economy dan mengeksploitasi pekerja-pekerjanya. Sharing economy telah beralih fungsi untuk membuat transaksi berjalan seefisien mungkin dan menekan harga serendah mungkin dengan mengorbankan pekerjanya—menjadikan komunitas sebagai komoditas.

Selama pandemi, aksi kolektif masyarakat meningkat: masyarakat berbagi makanan, menyisihkan pendapatannya untuk dibagikan ke orang-orang lain yang kehilangan pemasukan, mendistribusikan disinfektan dan hand sanitizer buatan sendiri, dan sebagainya. Airbnb pun sempat memanfaatkan platformnya untuk menyediakan tempat tinggal bagi 100.000 tenaga medis—bekerja sama dengan organisasi-organisasi internasional. Sementara itu Uber memberikan 10 juta layanan mengantarkan penumpang dan makanan gratis untuk tenaga medis dan orang-orang yang membutuhkan.

“Pascaisolasi, makna sharing economy dapat kembali ke prinsip ‘kurangi kepemilikan, perbanyak berbagi’ dengan banyaknya kolaborasi, kreativitas, dan dedikasi atas layanan yang telah didemonstrasikan selama beberapa bulan ke belakang,” ungkap pendiri perusahaan konsultan Anthesis Group, Josh Whitney, dalam Bloomberglaw.

Share: Airbnb dan Uber Minim Peminat, Bagaimana Nasib Sharing Economy Pascapandemi?