General

Sandiaga Dituduh Bersandiwara oleh Erick Tohir: Kecerdasan Masyarakat Sedang Diuji Jelang Pilpres 2019?

Ramadhan — Asumsi.co

featured image

Suhu politik jelang Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 terus memanas antara dua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Berbagai isu di luar kebiasaan pun bermunculan misalnya saja yang terbaru soal sindiran Erick Thohir soal ‘sandiwara’ Sandiaga Uno ketika ditolak kedatangannya di Sumatera Utara. Kondisi perpolitikan di tanah air pun kian jauh dari substansi.

Saat berkampanye di Pasar Kota Pinang, Selasa, 11 Desember 2018 lalu, Sandiaga disambut poster penolakan yang memintanya pulang. Poster kecil berwarna putih itu bertuliskan, “Pak Sandiaga Uno, Sejak Kecil Kami Sudah Bersahabat, Jangan Pisahkan Kami Gara-gara Pilpres. Pulanglah!!!”. Hal itu pun memicu kehebohan.

Sandi pun tak marah saat melihat poster dengan isi yang memintanya pulang itu. Mantan Wakil Gubernur DKI Jakarta tersebut malah mendatangi pemilik kios yang bernama Drijon Sihotang tersebut dan mengajak berdialog di luar kiosnya. Sementara Drijon sendiri saat itu dengan tegas menyatakan bahwa dirinya menolak kehadiran Sandi karena dukungannya terhadap Jokowi.

Erick Thohir Sindir Kubu Sebelah Main ‘Sinetron’

Erick Thohir sebagai Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) pasangan capres-cawapres nomor urut 01 Joko Widodo-Ma’ruf Amin, akhirnya tergelitik setelah mengetahui hal itu. Ia menyindir kubu pasangan nomor urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno. Mantan bos Inter Milan itu meminta agar pemilu tidak disamakan dengan sinetron yang penuh sandiwara.

Menurut Erick, pemilu merupakan kontestasi politik yang bertujuan untuk memilih sosok pemimpin yang bisa memimpin bangsa Indonesia. Jika ada yang bersandiwara, lanjut Erick, maka sosok itu tak layak dijadikan pemimpin. Orang-orang yang memainkan drama, dinilai Erick hanya ada di TV.

“Kita mesti bedain dong pemilu sama sinetron, sandiwara. Mesti kita bedain dong. Pemilu ini memilih pimpinan yang bisa memajukan bangsa Indonesia yang bisa membuat bangsa kita bersih dari korupsi, sejahtera, keadilan untuk semua, bukan yang sandiwara atau sinetron. Kalau itu di TV aja kita nonton,” kata Erick di Hotel Acacia, Salemba, Jakarta Pusat, Kamis, 13 Desember 2018.

Baca Juga: Ambisi Kubu Prabowo-Sandi Pindah Markas ke Jateng, Bisa Dongkrak Elektabilitas?

Dari pernyataannya itu, Erick sebenarnya tak mengatakan secara rinci soal siapa sosok yang ia sindir, apakah Sandiaga Uno atau sosok lain. Namun, ia sendiri mengaku bahwa dirinya tengah mempelajari soal peristiwa terpasangnya poster ‘Sandi Pulanglah’ saat Sandi datang berkunjung ke Pasar Kota Pinang, Sumatera Utara, untuk berkampanye tersebut.

“Saya lagi pelajari juga cuma yang saya dapat (infonya) seperti itu,” kata mantan Ketua Panitia Pelaksana Asian Games 2018 INASGOC tersebut.

Sandiaga Uno Bantah Bersandiwara

Tak tinggal diam, Sandi pun akhirnya buka suara terkait polemik penolakan dirinya di Sumatera Utara beberapa hari lalu sehingga ia dinilai bersandiwara sampai muncul tagar #sandiawarauno di media sosial. Ia membantah jika telah terjadi penolakan terhadap dirinya saat itu. “InsyaAllah apa yang terjadi itu apa adanya,” kata Sandi di Hotel Ambhara, Jakarta, Rabu, 12 Desember 2018.

Sandi pun tak masalah dengan situasi penolakan terhadap dirinya itu. Ia menilai kejadian itu merupakan bagian dari dinamika kontestasi politik dan tak boleh direspons secara negatif. Bahkan, ia pun bakal memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengutarakan aspirasinya agar kebebasan berpendapat tetap terjamin di negara demokrasi ini. “Dan itu perlu kita pastikan bahwa pemilu ini betul-betul damai, sejuk boleh berbeda pilihan tetapi tetap satu NKRI,” ujar sosok politisi berkacamata tersebut.

Baca Juga: Kader PAN Malah Membelot Dukung Jokowi Jelang Pilpres 2019: Fenomena yang Sulit Dihindari

Berkaca dari peristiwa tersebut, Sandi pun mengingat kembali kejadian yang nyaris serupa pernah ia alami sebelumnya. Sandi mengungkapkan bahwa dirinya juga pernah mendapatkan penolakan saat berkampanye sebagai calon wakil gubernur DKI Jakarta di Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu. Akan tetapi, Sandi tetap menghargai hal itu.

Sandi menegaskan bahwa dirinya tetap akan menahan diri dan tetap berupaya agar tidak ada gesekan antara dirinya dengan pendukung lawan. “Jadi kita boleh berbeda pilihan, kita harus tetap berangkulan. Kita harus terus menjaga persatuan kita, ukhuwah kita. Itu yang kita sebut sebagai demokrasi sejuk, politik santun, dan kampanye yang damai, kampanye yang berpelukan,” ucapnya.

Banyak Drama Politik Tak Penting, Masyarakat Harus Jeli

Pengamat Politik Universitas Al Azhar Indonesia Zaenal A. Budiyono melihat bahwa peristiwa yang dialami Sandiaga Uno lalu direspons Erick Thohir memang sulit untuk dipastikan apakah itu sandiwara atau memang fakta. Yang jelas, menurut Zaenal, semua bentuk kampanye jelang pilpres, sebagian juga disisipi intrik demi meraup simpati masyarakat.

“Sejauh ini tidak ada yang bisa memastikan apakah insiden itu natural atau rekayasa. Pihak koalisi Prabowo-Sandi meyakinkan tidak ada rekayasa, sementara Erick Thohir, Ketua TKN Jokowi-Maruf menganggap itu bagian dari settingan, sinetron,” kata Zaenal kepada Asumsi.co, Minggu, 16 Desember 2018.

“Saya sendiri tidak tertarik membahas apakah itu “fakta atau fiksi”. Yang namanya kampanye, semua strategi, trik atau apapun namanya pasti akan dikerahkan kedua kubu untuk menarik dukungan yang lebih luas,” ujarnya.

Meski demikian, Zaenal menyarankan kepada media agar bisa menjaga fokus pada substansi yang ditawarkan kedua pasangan, ketimbang menyoroti hal-hal tak jelas di luar program kerja. Ia pun menegaskan bahwa jangan sampai gimmick kecil di lapangan justru menjadi tema utama, mengalahkan pesan kunci dari kandidat.

“Ironisnya selama ini perdebatan di publik lebih banyak dijejali dengan manuver para capres dan cawapres, seperti jurus bangau, naik chooper, tampang boyolali, sontoloyo, dll. Kalau sudah begini siapa yang salah? Semua memiliki saham atas narasi yang demikian, baik itu partai, caleg, pasangan capres cawapres, juga media,” ucapnya.

Zaenal melihat ada semacam penghinaan terhadap kecerdasan kolektif jika ada kubu yang terus menerus memainkan sensasi politik belaka, lantaran menganggap publik tidak tertarik atau tidak paham substansi. Ia menegaskan bahwa masyarakat saat ini sudah paham dan bisa menilai calon mana yang berkualitas dan mana yang tidak.

“Hal itu terkonfirmasi dari sejumlah hasil di Pilkada lalu yang banyak menampilkan kejutan. Konstituen itu diam bukan berarti mereka tidak membaca, sebaliknya mereka menilai dengan pengetahuan masing-masing. Satu faktor yang membuat saya yakin kecerdasan kolektif dan partisipasi politik masyarakat meningkat, karena adanya internet, termasuk sosial media,” kata Zaenal.

Baca Juga: Menanti Peran Ma’ruf Amin Saat Elektabilitas Jokowi Masih Stagnan

“Dalam komunikasi politik, platform ini disebut sebagai distrubtion technology, yang membawa dampak yang berbeda sama sekali dengan realitas behavioral politik masyarakat sepuluh tahun lalu,” ucap Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC) tersebut.

Bagi Zaenal, justru platform baru tersebut harus dimanfaatkan oleh para kandidat untuk meyakinkan pemilih dengan mengintensifkan komunikasi, mendengar aspirasi dan menawarkan solusi yang rasional. Jika ini yang dilakukan, maka dengan sendirinya perdebatan di publik akan bergeser menjadi lebih substansial.

“Lebih dari semuanya, media memiliki peran penting sebagai katalisator kecerdasan publik. Pasalnya media adalah salah satu tiang demokrasi yang memegang posisi penting di era informasi sekarang ini,” ujarnya.

Sementara itu, Pengamat Politik UIN Syarif Hidayatullah Ahmad Bakir Ihsan juga menilai hal yang sama bahwa jelang kontestasi Pilpres 2019, masih banyak hal-hal yang jauh dari substansi bermunculan. Sehingga hal itu pun berdampak kurang bagus ke masyarakat, yang sejauh ini justru masih belum mengetahui secara jelas program kerja apa yang ditawarkan kedua belah pihak.

“Politik kita belum sepenuhnya dewasa. Para kandidat masih sibuk menjawab serangan atau mencari kelemahan lawan. Akibatnya masyarakat pendukung juga melakukan hal yang sama. Adu program menjadi terabaikan. Wajar bila dalam dua bulan kampanye lebih, masyarakat belum memahami program yang dicanangkan oleh kontestan,” kata Bakir kepada Asumsi.co, Sabtu, 15 Desember 2018.

Share: Sandiaga Dituduh Bersandiwara oleh Erick Tohir: Kecerdasan Masyarakat Sedang Diuji Jelang Pilpres 2019?