Isu Terkini

Proyek Reklamasi Jakarta yang Mengancam Mata Pencaharian Nelayan dan “Teror” dari UU ITE

Winda Chairunisyah Suryani — Asumsi.co

featured image

Proyek pembangunan jembatan penghubung pulau reklamasi di Jakarta dikritik oleh ribuan nelayan di Kampung Baru Dadap. Pasalnya jembatan yang menghubungkan Pantai Indah Kapuk (PIK) 2 dengan Pulau C hasil reklamasi itu dibangun melintang di jalur transportasi kapal nelayan Dadap. Tentunya hal itu bisa mengganggu lalu lintas perahu nelayan dan berdampak pada mata pencaharian mereka sehari-hari.

Namun saat Ketua Forum Masyarakat Nelayan Kampung Baru Dadap, Waisul Kurnia, mengungkapkan keresahannya kepada media, ia justru ditangkap oleh polisi. Petugas kepolisian Subdit IV Cyber Crime Ditreskrimsus Polda Metro Jaya menjemput Waisul di rumahnya, wilayah Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang, pada Rabu, 6 Maret 2019 sekitar pukul 19.30 WIB kemarin. Pria 35 tahun itu kemudian didampingi pengacara dari Perhimpunan Advokat Pro Demokrasi (PAPD) selama memberikan keterangannya di Polda.

Direktur Eksekutif PAPD Marthen Siwabessy mengatakan penangkapan itu terjadi karena Waisul tak memenuhi panggilan pemeriksaan kepolisian pada Senin, 4 Maret 2019. Tapi, menurut Marthen, panggilan polisi terbilang mendadak. Waisul pun tidak datang karena tak bisa meninggalkan pekerjaan hari itu. Saat itu, Waisul menolak langsung diperiksa karena sudah larut malam. Tim advokat juga menganjurkan agar pemeriksaan dilakukan keesokan hari.

“Dia bukan tersangka teroris, makar, atau apa. Ini kan (tersangka) ujaran kebencian, dan semua orang ngerti pasal itu pasal melar, enggak jelas,” kata Marthen.

Baca juga: Bagaimana Nasib Nelayan Cilincing Pasca Reklamasi?

Marthen mengatakan polisi melayangkan sekitar 45 pertanyaan dan rencananya Waisul bisa dipulangkan malam ini. Namun, meski demikian nyatanya pemeriksaan tak berhenti sampai di situ. Sebab pada dasarnya Waisul sudah ditetapkan sebagai tersangka kasus pencemaran nama baik dan ujaran kebencian melalui media elektronik terhadap PT Kapuk Naga Indah (KNI) sejak September 2018 lalu.

“Statusnya tetap sebagai tersangka, cuma dia tidak ditahan,” ujar Marthen.

Tim PAPD lainnya, Charles Benhard mengatakan kasus ini merupakan tindak lanjut atas laporan kepolisian oleh kuasa hukum PT KNI, Reinhard Halomoan. Laporan polisi itu dibuat pada 10 Agustus 2018. Dalam perjalanannya, Waisul juga telah menempuh jalur praperadilan pada Februari lalu. Namun janggal, keterangan saksi ahli tak masuk pertimbangan hakim dan permohonan praperadilan ditolak.

“Mungkin kami laporkan juga hakimnya ke Komisi Yudisial, karena aneh, keterangan saksi ahli enggak ada di pertimbangan majelis hakim,” ujar Marthen.

Waisul sendiri dijerat pasal berlapis. Di antaranya pasal 27 ayat 3 Jo, pasal 45 ayat 3 Jo, pasal 28 ayat 2 Jo, pasal 45 A ayat 2 Jo, pasal 36 UU Nomor 19 Tahun 2016 perubahan UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), pasal 15 dan 24 UU No. 1 Tahun 1946, pasal 310 dan 311 KUHP.

Jembatan Penghubung Pulau Reklamasi yang Memutus Pekerjaan Nelayan

Sudah sejak lama warga kampung nelayan baru Dadap, Kosambi, Kabupaten Tangerang menyatakan keberatan dengan pembangunan jembatan penghubung Dadap dan pulau reklamasi. Bahkan dikabarkan bahwa tidak ada sosialisasi yang diberikan oleh pemilik proyek dengan para nelayan. Padahal merekalah yang akan terdampak dari pembangunan tersebut.

“Kami keberatan, pembangunan jembatan ini berjalan terus dan sampai saat ini kami tidak tahu siapa yang memberi ijin,” ujar Waisul pada Rabu 18 Juli 2018 silam.

Warga merasa keberatan dengan pembangunan tersebut karena posisi jembatan yang berada di depan muara Dadap, dan itu akan menganggu lalu lintas perahu nelayan. Sedangkan muara tersebut merupakan akses utama perahu para nelaya dalam mencari mata pencaharian. Dengan adanya jembatan penghubung tersebut, nelayan Dadap khawatir akses mereka perlahan-lahan nantinya bisa mati.

Belum lagi selama proses pembangunan, ada keberadaan alat berat dan kegiatan konstruksi di kawasan itu menganggu warga sekitar. Meski Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan kabarnya sudah menyegel pulau D dan C beberapa waktu lalu, Waisul merasa proyek reklamasi itu seolah tak terhenti.

“Pekerjaan jembatan jalan terus, selama 24 jam,” katanya.

Waisul mengatakan nelayan Dadap tidak tahu proses awal pembangunan jembatan tersebut. Mereka tahunya, jembatan itu sudah dalam proses pembangunan.  “Pada Oktober 2017 ada konsultasi publik soal Amdal dari anak perusahaan Agung Sedayu, tapi kami tidak diundang,” katanya.

Baca juga: Pulau Reklamasi Sudah Buka, Area Kuliner Belum Miliki Izin?

Sebelumnya, Gubernur Banten Wahidin Halim lah yang memberikan ijin pembangunan jembatan penghubung antara Tangerang ke Reklamasi di Desa Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang. Jembatan atas laut tersebut akan dibangun dari Pantai Pasir Putih Dadap ke pulau reklamasi C dan D. Gubernur Wahidin mengatakan jembatan penghubung ini akan berdampak positif untuk Banten.

“Makanya ijin pembangunannya akan saya keluarkan,” ujarnya pada Kamis 7 Juni 2018 lalu.

Keluhan para nelayan pun awalnya sempat mendapatkan perhatian dari pihak kepolisian. Kapolsek Teluknaga, AKP Dedi Herdiana bahkan ikut menghadiri pertemuan yang digelar oleh warga Kampung Dadap. AKP Dedi berjanji akan mengadakan dialog kepada pengembang terkait pembangunan jembatan penghubung pulau reklamasi di muara sungai Dadap tersebut.

“Saya nanti akan temui pengembang tersebut untuk menyampaikan aspirasi warga nelayan Dadap. Mudah-mudahan mereka bisa duduk bersama dengan nelayan,” jelas Dedi di Kampung Dadap, Kabupaten Tangerang, Rabu, 18 Juli 2018.

Namun pada kenyataannya, nelayan yang menyatakan keberatannya kini justru dinyatakan sebagai seorang tersangka. Mereka yang berkeluh kesah dan merasa terancam akan masa depan mata pencahariannya kini dituduh sebagai bentuk tindakan ujaran kebencian dan pencemaran nama baik.

Share: Proyek Reklamasi Jakarta yang Mengancam Mata Pencaharian Nelayan dan “Teror” dari UU ITE