Pengguna X sempat dihebohkan atas dugaan kemunculan resto fiktif di salah satu aplikasi ojek online GoFood. Sejumlah resto fiktif ini menggunakan gambar dan nama yang serupa.
Temuan ini pertama kali diunggah oleh seorang pengguna X dengan nama akun Bima Prawira pada 7 April 2025 lalu. Ia menemukan anomali aplikasi milik GoTo itu.
Dalam postingan itu tampak sejumlah merchant resto di GoFood menampilkan gambar identik dengan penamaan yang juga serupa. Sejumlah pengguna lain turut merespons menemukan dugaan resto fiktif semisal.
Temuan ini bukan hal baru bagi GoFood, pada 2020 silam, tiga warga Malang, Jawa Timur, berinisial MZ, FG, dan JA dihukum 2 tahun penjara. Ketiganya membuat restoran fiktif dengan nama Makaroni Suep dan Cendol Dawet RJS di aplikasi GoFood dan memanipulasi sejumlah transaksi.
Pada 2023, Gojek juga mengalami kasus serupa. Dua mitra berinisial HA dan BSW merekayasa order fiktif yang merugikan perusahaan sekitar Rp2,2 miliar dengan modusnya yang kompleks.
HA dan BSW membuat merchant dan 95 akun pelanggan fiktif. Selama 10 bulan sejak Oktober 2022 hingga Agustus 2023, HA dan BSW melakukan 107.066 transaksi.
Guna mencari keterangan ihwal hal ini, kami berupaya menghubungi pihak Gojek, namun mereka menolak menerangkan. Sementara itu, Yayasan Perlindungan Konsumen Indonesia (YLKI) menyoroti ini sebagai transformasi kejahatan berbasis teknologi.
Mereka melihat bahwa fenomena resto fiktif memang menjadi tantangan sendiri bagi dunia e-commerce atau e-niaga maupun juga dunia digital, perdagangan digital ke depan.
“Itu menjadi catatan bagi kita semua untuk mengevaluasi bagaimana sistem hukum kita tidak tertinggal dengan transformasi yang berjalan lebih cepat dibandingkan sistem hukum kita,” kata Kepala Bidang Pengaduan dan Hukum YLKI Rio Priambodo.
Asumsi mewawancarai tiga mitra dari tiga platform, yakni Gojek, Shopee, dan Grab guna mencari tahu seberapa masif fenomena resto fiktif ini di lapangan. Mitra Grab dan Shopee mengaku sempat menemukan resto semisal itu, namun itu dahulu. Sementara sekarang sudah langka.
Sementara mitra Gojek atau GoFood mengaku masih menemukan fenomena tersebut baru-baru ini. Mitra yang tidak disebutkan namanya itu bercerita bahwa dirinya pernah mendapat orderan pesanan ke resto yang diduga fiktif.
Pasalnya resto itu tidak dikenal oleh warga lokal di sekitar lokasi. Sang mitra sampai sejaman mencari resto tersebut, tapi tetap berujung nihil.
Mitra tersebut berupaya melaporkan hal itu kepada pihak Gojek, namun aduan itu direspons cukup lama dari mereka.
“Kita sudah lakuin sesuai SOP ini, saya telepon customer tiga kali sampai tunggu 15 menit. Sampai kita nge-chat, teman saya itu sampai satu jam tunggu itu (laporan) biar dibalas, tapi responsnya lama. Dibilangnya ‘Anda belum lakuin SOP’,” ujar mitra Gojek.
Dalam hal ini, mitra yang jadi ujung tombak pelayanan juga menjadi pihak yang dirugikan. YLKI menyoroti sistem verifikasi pihak aplikator.
“Verifikasi itu kan harusnya dilakukan secara fisik. Kalau misalkan verifikasi itu tidak bisa dilakukan secara langsung sekarang sudah zaman digital ya. Bagaimana kirim video kitchen-nya, video usahanya, video dan sebagainya, lokasinya dan sebagainya,” ujar Rio.
“Artinya dalam soal ini verifikasi ini untuk menjaga sebenarnya antara pihak konsumen, driver, dan juga pihak aplikator itu bisa berjalan dengan baik saat melakukan proses transaksi,” tambahnya.
Dari sisi konsumen, kerugian signifikan terjadi dalam kondisi-kondisi psikologis. Fake kitchen atau resto palsu memunculkan ilusi seakan-akan kita sebagai konsumen memiliki banyak pilihan di dalam platform online food delivery yang nyatanya tidak benar-benar begitu.
Hal ini memanipulasi ekspektasi konsumen. Dalam dimensi perlindungan konsumen, ekspektasi adalah hal yang bernilai tinggi. Bahkan jika dilihat dalam konteks luas, ketidaksesuaian ekspektasi adalah sumber utama dari banyak sengketa perlindungan konsumen.
“Dalam membeli suatu produk, seseorang tentu memiliki ekspektasi-ekspektasi tersendiri. Tapi yang paling penting bagaimana sebenarnya ekspektasi ini bisa dipenuhi secara prinsip-prinsip dasar. Yang pertama tentu soal informasi. Tentu informasi yang tidak betul itu menjadi informasi dasar atau prinsip dasar konsumen yang dilanggar,” kata Rio.
YLKI melihat fenomena tersebut dalam situasi seperti ini, perlu mengedepankan langkah-langkah responsif. Peran pemerintah sebagai regulator jadi sangat penting.
Transparansi dan keamanan dalam persaingan usaha, perlindungan maksimum terhadap hak-hak konsumen, dan pembentukan konstruksi hukum dan regulasi bagi skenario-skenario kecurangan. Hal itu dilakukan demi melindungi konsumen, pekerja, dan pengusaha kecil juga aplikator.