Kabar mengenai pembubaran BPJS Kesehatan ramai diperbincangkan di media sosial. Kabar ini mencuat lantaran pernyataan seorang pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Provinsi Jakarta, dr. Ngabila Salama, yang mengungkapkan opsi ‘jika BPJS Bubar.’
Dalam pernyataan yang diunggah di media sosial itu, Ngabila Salama mengatakan jika ada opsi BPJS bubar, maka bakal digantikan oleh asuransi lain yang dikelola oleh BUMN /swasta.
Opsi itu dilakukan lewat sistem cost sharing dengan besaran iuran/premi bulanan yang Iebih disesuaikan perhitungannya. Namun, kata dia, negara tetap tidak bisa menyubsidi masyarakat 100 persen.
Ia meyakini pelaksanaan sistem seperti itu mungkin saja akan jauh lebih baik, sehingga asuransi tersebut tetap dapat bertahan, dan tidak merugi.
“Masyarakat adalah raja (yang bertanggung jawab). Pemerintah adalah pelayan masyarakat (raja). Pelayan hrs terus membuktikan dedikasi & kinerjanya utk raja. Itulah bedanya pemerintah & bukan pemerintah (swasta). Sepahit apa pun kisah akhir bpjs nanti, pemerintah hrs berupaya optimal dulu utk kondisi ini menjadi lbh baik/sustain,” kata Ngabila, seperti dikutip melalui akun media sosial pribadinya, pada Rabu (22/1/2025).
Pernyataan Ngabila itu sebetulnya dalam konteks menyuarakan kehadiran negara untuk melindungi kesehatan warganya lewat jaminan kesehatan seperti BPJS.
Dia mengharapkan supaya BPJS tetap hadir guna menjamin kesehatan masyarakat yang juga harus mencakup semua jenis pengobatan.
Seruan Ngabila itu menyusul pernyataan Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin yang berniat memperbaiki mekanisme di BPJS. Salah satu opsinya dengan asuransi tambahan dari pihak swasta.
Hal itu lantaran BPJS selama ini belum bisa mencakup pengobatan semua jenis penyakit akibat iuran jaminan kesehatan itu yang dinilai terlalu murah.
Usulan
Guna menghindari BPJS bubar atau bangkrut, Ngabila mengajukan sejumlah usulan, yakni agar dilakukan evaluasi besaran iuran BPJS. Kemudian memperketat pembayaran iuran peserta
mandiri.
“Diperkuat dengan regulasi yg mengikat masyarakat sebagai bentuk kewajiban masyarakat,” katanya.
Dia juga mendorong penguatan kolaborasi antara BPJS dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan sejumlah mitra lainnya. Terutama untuk program-program seperti program promotif, preventif, skrining, dan deteksi dini penyakit.
Dia juga menyarankan fasilitas kesehatan untuk berbenah dan tidak hanya mengandalkan pemasukan
dari BPJS, melainkan harus juga dari asuransi swasta/umum.
“Mitigasi pencegahan fraud pada faskes & tindak tegas semua bentuk fraud sedini mungkin,” ujarnya.
Diketahui, Budi Gunadi Sadikin mengakui jika Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan, saat ini belum bisa menanggung seluruh biaya pengobatan sejumlah jenis penyakit. Hal itu lantaran keterbatasan pembiayaan yang dimiliki BPJS Kesehatan akibat rendahnya biaya iuran para peserta.
“Saya mau sampaikan, tidak semua itu (penyakit) ter-cover (ditanggung) BPJS. BPJS hanya menanggung biaya untuk masing-masing treatment yang masuk dalam paketnya,” kata Budi kepada media di Jakarta, Kamis (16/1/2025).
Budi mencontohkan penyakit jantung, dalam penyakit ini BPJS Kesehatan hanya bisa menanggung biaya pemasangan ring. Sementara jika melebih itu, maka di luar jangkauan sistem jaminan kesehatan itu. Menurut Budi, jika biayanya lebih tinggi dari itu, hanya sekitar 70-80 persen yang ditanggung BPJS Kesehatan.
Menteri berusia 60 tahun itu memaklumi hal tersebut. Pasalnya menurut dia biaya iuran kepesertaan BPJS Kesehatan paling rendah adalah Rp48 ribu per bulan. Sementara ada biaya pengobatan yang mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah.
“Dengan iuran seperti itu, memang tidak cukup untuk meng-cover seluruh kebutuhan pengobatan,” tambahnya.
Baca Juga:
Iuran Terlalu Murah, Menkes Akui BPJS Tak Bisa Tanggung Semua Biaya Pengobatan
Harvey Moeis dan Sandra Dewi Terdaftar sebagai Peserta PBI BPJS Kesehatan Sejak 2018
Menkes Sebut Tak Ada Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan pada 2025