Perayaan Imlek atau Tahun Baru China akan jatuh pada 1
Februari mendatang. Perayaan ini tidak lepas dari ingatan setiap orang, dengan
warna merah yang menghiasi ornamennya hingga hidangan atau snack khas Tionghoa
di berbagai sudut kota.
Sejatinya, hari raya Imlek di Indonesia memiliki sejarah
yang cukup panjang, yakni Presiden Soeharto pernah melarang keras hari raya
tersebut. Seiring berjalannya waktu, Imlek kembali hadir di Indonesia sejak era
kepemimpinan Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Soeharto Larang Imlek: Soeharto pernah mengamanahkan 21
peraturan perundang-undangan yang dibuat setelah memperoleh Surat Perintah
Sebelas Maret (Supersemar). Peraturan itu tertuang dalam Inpres Nomor 14 Tahun
1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat China.
Berangkat dari Inpres tersebut, Soeharto memerintahkan
menteri agama, menteri dalam negeri, dan seluruh pemerintah pusat maupun daerah
untuk menerapkan peraturan tersebut. Berdasarkan Isi dari Inpres tersebut,
yakni pelaksanaan Imlek dilakukan secara internal dalam hubungan keluarga atau
perseorangan.
Kemudian, perayaan pesta agama dan adat istiadat China
dilakukan secara tidak mencolok di depan umum, melainkan dilakukan dalam
lingkungan keluarga. Aturan ini membuat aktivitas warga Tionghoa dibatasi
selama perayaan Imlek.
32 tahun Rayakan Tertutup: Usai Inpres tersebut ditetapkan,
perayaan Imlek tak boleh digelar secara terbuka atau di depan publik. Selain
itu usai merayakan Imlek, Cap Go Meh, barongsai, dan liang liong dilarang
dirayakan secara terbuka.
Bahkan, huruf atau lagu Mandarin tak boleh dikumandangkan di
radio, sehingga perayaan tersebut digelar sembunyi-sembunyi selama 32 tahun
Soeharto memimpin. Tidak hanya soal aturan, Inpres tersebut
juga mengganti istilah “Tionghoa” menjadi “China”, dengan
tujuan upaya dalam proses asimilasi etnis.
Pasca-Reformasi: Namun sejak pasca-Reformasi, aturan
tersebut mulai memudar lantaran memasuki era Presiden Habibie. Ia menerbitkan
Inpres Nomor 26 Tahun 1998 yang membatalkan aturan-aturan diskriminatif
terhadap komunitas Tionghoa.
Dalam Inpres tersebut, mengatur penggunaan istilah pribumi
dan nonpribumi dalam penyelenggaraan pemerintahan menjadi dihentikan. Masuk ke
era Gus Dur pada 17 Januari 2000, Inpres baru kembali dikeluarkan, yakni Inpres
Nomor 6 Tahun 2000 yang isinya mencabut Inpres Nomor 14 Tahun 1967 buatan
Soeharto.
Hari Libur Nasional: Berkat Inpres tersebut, warga Tionghoa
bebas untuk merayakan hari raya Imlek. Bahkan, memasuki era Presiden Megawati
kebijakan tersebut ditindaklanjuti dengan Keppres Nomor 19 Tahun 2002
tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional.
Sebelumnya zaman pendudukan Jepang, imlek tahun 1943
dijadikan sebagai hari libur resmi, berdasarkan Keputusan Osamu Seirei No 26
tanggal 1 Agustus 1943. Sehingga, menjadi sejarah awal Imlek diputuskan sebagai
hari libur resmi.
Zaman Soekarno: Beralih ke zaman Presiden Soekarno, ia
membolehkan bendera kebangsaan Tiongkok dikibarkan dalam setiap hari raya
Tionghoa. Sehingga tahun 1946/1947, adapun tiga hari raya Tionghoa saat itu,
Imlek, wafatnya nabi Konghucu, dan Tsing Bing
Baca Juga