Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi menuding aplikasi pesan WhatsApp (WA) lebih berbahaya ketimbang layanan penyedia jaringan internet Starlink soal keamanan data konsumen. Hal itu disampaikan saat Rapat Kerja bersama Komisi I DPR RI, Senin (10/6/2024).
Budi menilai, WA dan sejenisnya yang menggunakan OTT atau over the top lebih berbahaya lantaran WA lebih banyak menampung data pribadi pengguna ketimbang Starlink.
Untuk itu, dia menilai layanan tersebut perlu diatur untuk memiliki pusat data di Indonesia, sebagai bentuk menjaga kedaulatan data masyarakat Indonesia.
“Soal OTT ini perlu diatur, nanti kita (Kementerian Kominfo dan DPR) perlu diskusi khusus. Ini soal kedaulatan, termasuk bagaimana mindahin data center-nya dia nih ke Indonesia,” kata Budi dalam rapat tersebut di Jakarta, sepeti dikutip dari ANTARA.
Layanan OTT mungkin dikenal masyarakat awam sebagai aplikasi yang menawarkan layanan-layanan di internet tanpa perlu mengeluarkan biaya lebih misalnya seperti layanan pesan instan WhatsApp, Telegram, iMessage, YouTube, dan sejenisnya.
Menurut Budi, OTT seperti WhatsApp di Indonesia sebenarnya perlu lebih diatur karena penggunanya sudah mencapai ratusan juta. Ia berpendapat daripada mengkhawatirkan kedaulatan data Indonesia terganggu oleh Starlink justru pemerintah harus memperhatikan aplikasi OTT.
“Jadi kalau mau ngomong kedaulatan data, itu ada 250 juta orang Indonesia yang pakai WhatsApp, sementara Starlink paling baru dipakai 1000-2000 orang. Makannya perlu atur (OTT),” kata Budi.
Hal ini juga sejalan dengan banyaknya pendapat dari pengamat hingga praktisi telekomunikasi yang menilai OTT memang perlu diregulasi operasionalnya agar tidak mengancam industri telekomunikasi.
Salah satu pengamat yang sempat mengemukakan pendapat ini ialah Pengamat ekonomi digital sekaligus Direktur Eksekutif Indonesia ICT Institute, Heru Sutadi.
Pada akhir 2023 tepatnya Rabu (27/12/2023), ia menilai perlu ada regulasi untuk layanan over-the-top (OTT) guna menghadirkan persaingan yang sehat di industri seluler.
“Memang regulasi terkait dengan OTT ini menjadi hal yang begitu dinantikan juga oleh terutama pelaku industri telekomunikasi,” ucap Heru di Jakarta.
Heru mengatakan bahwa industri telekomunikasi di Indonesia telah mengalami disrupsi yang cukup dalam seiring hadirnya layanan OTT. Dia mencontohkan semakin turunnya arus layanan SMS atau panggilan suara seluler yang kini digantikan oleh penyedia layanan OTT seperti WhatsApp atau Telegram.
Dia menilai bahwa saat ini mayoritas layanan komunikasi lebih mengandalkan platform OTT, yang menggunakan infrastruktur yang disediakan oleh operator telekomunikasi.
Perubahan itu berdampak kepada posisi operator telekomunikasi yang sekarang cenderung menjadi penyedia infrastruktur tanpa mendapatkan manfaat finansial yang sebanding.
Selain itu, kata dia, perusahaan OTT hingga saat ini juga tidak dikenakan pungutan untuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Padahal, ucap Heru, potensi pemasukan negara dari pungutan terhadap perusahaan OTT tersebut sangat besar. Oleh karena itu, dia menilai pentingnya pengaturan terhadap layanan OTT untuk memastikan adanya keseimbangan yang adil dan berkelanjutan di antara pelaku industri telekomunikasi dan OTT.