Peneliti Senior Pusat Riset Hukum Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Rachmat Trijono menganggap perlu ada amandemen kelima atas Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 guna mencegah kekuasaan ‘cawe-cawe’ dalam pemilihan umum. Hal itu diwujudkan demi memperbaiki demokrasi Indonesia.
“Kita sudah melangkah ke amandemen keempat, ini sudah sangat bagus. Ke depan kita tidak usah kembali lagi, tapi dibutuhkan amandemen yang kelima, salah satunya mengakomodasi demokrasi,” kata Rachmat dalam kegiatan webinar bertajuk ‘Quo Vadis Demokrasi Indonesia Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi’ yang dipantau dari Jakarta, Senin (29/4/2024).
Menurutnya peran presiden sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan dalam suasana pemilu perlu diatur dalam undang-undang. Karena menurutnya aturan itu diperlukan guna membatasi potensi pemerintahan yang otoriter.
“Misalnya, cawe-cawe presiden tidak melanggar hukum, ini nanti dibuatkan aturannya, misalnya, aturan kepresidenan, kan selama ini belum ada undang-undang kepresidenan,” ujarnya.
Selain itu, dia menilai amandemen kelima juga perlu mengatur revisi terhadap Undang-Undang Mahkamah Konstitusi (MK). Saat ini menurutnya MK hanya memiliki wewenang untuk mengadili hasil pemilu saja, namun belum bisa mengawal nilai-nilai demokrasi.
“Di samping itu soal perekrutan hakim (MK) juga harus diatur dalam konstitusi, kalau Mahkamah Agung punya Komisi Yudisial, bisa saja nanti KY diperluas wewenang-nya untuk mengawasi MK, misalnya,” ujarnya.
Jika politik hukum bisa diartikan sebagai cara untuk mencapai tujuan tertentu, menurutnya cara tersebut pun harus diatur di dalam hukum. Sehingga menurutnya hukum harus diciptakan guna mengatur hal-hal yang belum diatur.
“Untuk sampai pada demokrasi yang kita inginkan bersama, pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat, maka ada beberapa perangkat perundang-undangan yang harus ada,” katanya.