Isu Terkini

Monopoli Kekuasaan Hingga Biaya Politik Tinggi Jadi Celah Kepala Daerah Berperilaku Koruptif

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
antarafoto

Terjaringnya Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi dalam operasi
tangkap tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
belakangan mencuri perhatian publik.

KPK pun menetapkan pria yang akrab disapa Bang Pepen
inisebagai tersangka korupsi pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan di
Pemerintah Kota Bekasi.

Awal tahun 2022 yang kembali dibuka dengan kasus korupsi
yang melibatkan Rahmat Effendi ini mengundang tanya publik soal masih saja ada
kepala daerah yang terjerat perkara ini.

Hal yang menarik untuk mengungkap celah yang menjadi peluang
kepala daerah memilih untuk bersikap koruptif, meski telah bersumpah menjaga
amanah dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemimpin warganya.

Monopoli Kekuasaan

Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
mengungkapkan ada sejumlah faktor yang bisa disebut menjadi penyebab kepala
daerah melakukan korupsi.

Hal ini berdasarkan analisa 
laporan tahunan KPK terkait dengan kegiatan lembaga antirasuah tersebut
dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi sepanjang tahun 2012 hingga 2015.

Dalam rentang waktu tersebut, terdapat 71 perkara tindak
pidana korupsi (TPK) di instansi pemerintah provinsi, sementara itu di
Kabupaten/Kota terdapat 107 perkara TPK yang melibatkan kepala daerah baik
gubernur, walikota atau bupati dan atau wakilnya sejak tahun 2004 sampai dengan
tahun 2015.

Berdasarkan diskusi dan anaisa BPKP bersama tim peneliti
KPK, diketahui faktor pertama yang bisa dibilang menjadi penyebab kepala daerah
melakukan korupsi, yakni adanya monopoli kekuasaan.

“Kepala daerah memiliki kekuasaan yang sangat besar
dalam pengelolaan anggaran APBD, perekrutan pejabat daerah, pemberian ijin
sumber daya alam, pengadaan barang dan jasa dan pembuatan peraturan kepala
daerah, dan adanya dinasti kekuasaan,” tulis situs BPKP.

Hal ini, diyakini menyebabkan terbukanya celah bagi kepala
daerah melakukan tindak pidana korupsi melalui suap dan gratifikasi. Monopoli
kekuasaan ini, akhinya memunculkan diskresi kebijakan.

Pejabat publik, terutama kepala daerah diketahui memiliki hak
diskresi yang melekat pada diri mereka. Hak ini melekat pada mereka karena
tidak semua kebijakan tercakup dalam peraturan yang ada di daerah setempat.

“Sehingga diperlukan kebijakan untuk memutuskan
sesuatu, sehingga apa yang ditarget itu bisa terpenuhi tanpa harus menunggu
adanya aturan yang tersedia,” lanjut sumber yang sama.

Namun yang menjadi masalah, diskresi ini dipahami secara
sangat luas. Padahal diskresi memiliki jangkauan yang sangat terbatas. Hak ini
bisa digunakan kepala daerah ketika tidak ada aturan main yang diperlukan dalam
situasi yang sangat mendesak.

Masalah Akuntabilitas

Lemahnya akuntabilitas, menurut laporan BPKP juga berpotensi
menyebabkan hadirnya perilaku kolusi eksekutif dan legislatif dalam membuat
kebijakan yang koruptif.

Minimnya transparansi dalam pengelolaan anggaran,
pengelolaan aset, serta pengadaan barang dan jasa dinilai menjadi pemicu
akuntabilitas tak berjalan dengan baik.

“Sehingga menyebabkan kepala daerah melakukan tindak
pidana korupsi. Kemudian beberapa faktor penyebab kepala daerah melakukan
korupsi lainnya antara lain karena biaya pemilukada langsung yang mahal,
kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, kurang pahamnya
peraturan, dan pemahaman terhadap konsep budaya yang salah,” lanjut BPKP.

Berdasarkan faktor-faktor ini, maka perlu dilakukan
pencegahan dan pengawasan yang efektif yaitu dengan meningkatkan pembinaan
terhadap Sistem Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) di tingkat pemerintah
daerah.

BPKP pun memastikan, sebagai Pembina SPIP telah melakukan
sosialisasi dan pembinaan sistem ini bekerjasama dengan KPK. Selain itu,
lembaga ini juga melakukan kerjasama dengan aparat penegak hukum.

“Kerja sama dilakukan dalam lingkup pencegahan dan
pengawasan tindak pidana korupsi, namun hasilnya belum optimal, sehingga harus
di tingkatkan di waktu yang akan datang,” ungkap BPKP.

Biaya Politik Tinggi

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha
menyayangkan kembalinya terjadi korupsi jual beli jabatan, serta pengadaan
barang dan jasa yang melibatkan kepada daerah.

Ia menduga ada hal yang memicu kepala daerah tergoda
menerima uang suap. Seperti untuk mengumpulkan modal politik pilkada di masa
yang akan datang, menebus utangnya dalam pilkada sebelumnya.

“Atau mengumpulkan materi untuk keuntungan pribadi atau
kelompoknya dan pada akhirnya, praktik jual beli jabatan merusak
birokrasi,” katanya melalui pesan singkat kepada Asumsi.co, Minggu
(9/1/2022).

Egi menambahkan, praktik korupsi memang biasa terjadi di
dalam lingkungan birokrasi yang akhirnya menghadirkan pola pikir dan perilaku
yang memberikan uang paling besar, maka dialah yang akan menang.

“Birokrasi yang tidak melandaskan pada sistem
meritokrasi maka akan menyebabkan pihak-pihak yang mengisi jabatan bukanlah
orang-nu orang terbaik. Tujuan akhir birokrasi untuk kebaikan publik lalu tidak
akan terwujud,” ujarnya.

Dirinya mengamini pemilihan umum yang membutuhkan biaya
politik tinggi dan juga memicu keinginan kepala daerah untuk korupsi supaya
bisa terpilih kembali di periode berikutnya.

“Sehingga kepala daerah harus melakukan praktik
koruptif agar bisa digunakan untuk memberi mahar pada parpol, vote-buying,
hingga kampanye dalam pilkada,” pungkasnya.

Baca Juga

Share: Monopoli Kekuasaan Hingga Biaya Politik Tinggi Jadi Celah Kepala Daerah Berperilaku Koruptif