Lagi-lagi kepala daerah Bekasi terjerat kasus tindak pidana korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi telah menangkap Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT), Rabu (5/1/2022).
Pria yang kerap disapa Bang Pepen itu menjadi satu dari sembilan tersangka yang ditetapkan oleh KPK. Peristiwa ini menjadi ironi, sebab ketika dirinya awal menjabat sebagai Wali Kota, Rahmat Effendi menggantikan posisi Mochtar Mohamad yang terjerat kasus korupsi.
Ya, awalnya Bang Pepen maju pada Pilwakot Bekasi sebagai wakil dari Mochtar Mohamad tahun, dan memenangkan pilkada tahun 2008. Tahun 2012 Mochtar Mohammad tersandung kasus korupsi sehingga posisinya digantikan sang wakil, Rahmat Effendi.
Sekadar informasi, Mochtar terjerat kasus korupsi karena dituduh menyuap anggota DPRD Bekasi sebesar Rp 1,6 miliar untuk melanggengkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2010. Mochtar juga diduga menyalahgunakan anggaran makan-minum sebesar Rp639 juta.
Tak hanya itu, Mochtar juga diduga memberikan suap sebesar Rp500 juta demi mendapatkan Piala Adipura 2010, termasuk menyuap pegawai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Rp400 juta supaya mendapat opini wajar tanpa pengecualian.
Sempat diputus bebas oleh majelis hakim pengadilan tindak pidana korupsi Bandung, Mochtar terbukti bersalah dan divonis 6 tahun di tingkat kasasi tahun 2012. Dia bebas Juni 2015 usai mendapat remisi.
Sementara Bang Pepen, tahun 2013 lalu kembali mencalonkan diri sebagai calon wali kota Bekasi petahana. Rahmat Effendi dua kali terpilih yakni pada periode 2013-2018 dan 2018-2023.
Apa mau, tragedi kembali terulang. Kini Rahmat Effendi juga kembali terjerat kasus korupsi terkait dengan pengadaan barang dan jasa serta lelang jabatan.
Dalam penagihan uang komitmen atas kebijakan pemkot terhadap pengadaan barang dan jasa terkait dengan pengadaan tanah, Rahmat Effendi diduga meminta sejumlah uang kepada pihak yang lahannya diganti rugi oleh Pemerintah Kota Bekasi, diantaranya dengan menggunakan sebutan untuk “Sumbangan Mesjid”.
Kantongi Beberapa Penghargaan
Rahmat Effendi sebenarnya mengantongi beberapa piagam penghargaan atas usahanya dalam membangun kota Bekasi hingga saat ini. Melansir situs resminya, Kota Bekasi tercatat memiliki peningkatan dalam sektor investasi triwulan ketiga, periode Januari-September 2021, realisasi investasi penanaman modal di Kota Bekasi telah mencapai Rp7 triliun, lebih tinggi dari target sebelumnya Rp6,9 triliun.
Total wajib Laporan Kegiatan Penanaman Modal (LKPM) Kota Bekasi juga telah melampaui target dengan besaran persentase 101,3 persen serta jumlah LKPM 2.285 dan jumlah tenaga kerja sebanyak 4.413 orang.
Rahmat Effendi juga sempat menerima penghargaan atas nama Kota Bekasi sebagai perencanaan pembangunan terbaik dan sukses tingkatkan kualitas pembangunan daerah.
Namun, dibalik prestasinya tersebut, Rahmat malah terjerat kasus korupsi. Lantas mengapa demikian?
Akibat Biaya Politik
Pengamat Pemerintahan dan Politik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Asep Warlan menilai faktor penyebabnya Wali Kota Bekasi kembali tersandung kasus korupsi ialah karena biaya politik yang sangat mahal.
“Upaya mengumpulkan dana dari investor politik. Jadi, mereka utang budi jika menang kepada investor politik. Biaya politik tersebut sangat tidak realistis dan rasional,” ungkap Asep kepada Asumsi.co, Jumat (7/1/2022).
Terkait biaya politik, Asep menyarankan pemerintah harus mengkaji ulang biaya politik yang sangat mahal.
“Pemerintah harus mengambil alih biaya politik tersebut agar tidak mahal, sehingga seluruh calon kepala daerah tidak lagi menghalalkan segala cara untuk memenangkan pemilu nantinya,” kata Asep.
Senada dengan Asep, peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Egi Primayogha menilai praktik korupsi jual beli jabatan dan pengadaan barang-jasa terjadi berulang kali karena kepala daerah menerima suap untuk mengumpulkan modal politik pilkada di masa yang akan datang.
“Mereka perlu menebus ‘hutangnya’ dalam pilkada sebelumnya, atau mengumpulkan materi untuk keuntungan pribadi atau kelompoknya. Hal ini membuat rusaknya birokrasi,” ucap Egi, Jumat (7/1/2022).
Rusaknya Birokrasi
Egi menambahkan faktor birokrasi yang rusak terjadi karena praktik tersebut. Akibatnya logika pasar masuk ke dalam birokrasi, dimana siapa yang memberikan uang paling besar, dia yang akan menang.
“Birokrasi tidak melandaskan pada sistem meritokrasi, sehingga seseorang yang mengisi jabatan bukan orang-orang terbaik. Tujuan akhir birokrasi untuk kebaikan publik akibatnya menjadi tidak terwujud,” ungkapnya.
Lebih lanjut, menurutnya, korupsi kepala daerah juga harus dilihat dari pemilihan umum yang berbiaya tinggi. Sehingga, kepala daerah harus melakukan praktik koruptif agar bisa digunakan untuk memberi mahar pada parpol, vote-buying, hingga kampanye dalam pilkada.
Sementara itu, Asep Warlan menilai para kepala daerah biasanya kurang paham terhadap regulasi, sistem, dan aturan. Baik sistem pengadaan barang dan jasa, regulasi pengisian jabatan birokrasi, perizinan, bantuan sosial, dan kepala daerah.
“Mereka kerap tidak paham soal regulasi tersebut, sehingga mereka dijebloskan pada sebuah tindakan yang salah oleh aparaturnya atau bawahannya. Barangkali mereka juga dijebak oleh pengusaha untuk berbuat seperti itu,” lanjutnya.
Parpol Harus Bertanggung Jawab
Supaya tragedi ini tidak terus berulang, Asep menilai seharusnya partai politik juga bertanggung jawab dengan mengirimkan kader-kader terbaiknya untuk maju di pemilihan kepala daerah.
“Pihak parpol harus tegas memilih pemimpin daerah bukan hanya dari sisi popularitasnya, kedekatan terhadap orang dalam, maupun banyaknya materi yang dimiliki, tetapi kualitas menjadi faktor utama untuk dipertimbangkan,” ucapnya.
Asep menyayangkan situasi aspek integritas tersebut kerap diabaikan. Ia mengingatkan parpol harus bergerak terlebih dahulu usai mengetahui adanya kader yang korupsi.
“Sekarang kan tidak seperti itu, ketika kadernya korupsi malah ‘cuci tangan’. Hal ini merupakan kondisi parpol yang tidak mendukung pemberantasan korupsi,” tegas Asep.
Pengawasan dan Integritas
Selain itu, Asep menilai regulasi pengawasan saat ini masih sangat rendah. Apalagi, ratusan kepala daerah tercatat memiliki riwayat sebagai koruptor.
“Pengawasan masih lemah baik sisi internal maupun pemerintah. Lebih parahnya, mereka yang ditugaskan untuk mengawasi tindakan tersebut malah terlibat di dalamnya atau sebagai pelaku juga,” kata Asep.
Penegakan hukum juga menjadi dasar yang harus dibenahi. Menurutnya, sistem penegakan hukum saat ini tidak tegas atau diskriminatif terhadap mereka yang berkuasa atau tidak.
“Relasi kuasa ini membuat beberapa kepala daerah atau lainnya kerap berani melakukan tindak korupsi,” ucapnya.
Terakhir, Asep mengungkap sebetulnya para kepala daerah yang telah diberi amanah seharusnya memiliki integritas untuk tidak melakukan tindak pidana korupsi.
“Jika mereka tegas dan kuat dengan iman serta etikanya maka segala hal yang bertolak belakang pada moral dan integritas tidak akan dilakukan oleh mereka,” ucapnya.
Integritas inilah yang harus dipahami dengan baik oleh calon kepala daerah nantinya, guna menghilangkan “tradisi” korupsi seperti yang terjadi di Bekasi. (zal)
Baca Juga:
Fakta-fakta Dugaan Korupsi Rahmat Effendi, Rp5 M hingga Kode Sumbangan Masjid
KPK Tetapkan Wali Kota Bekasi Rahmat Effendi Tersangka Korupsi, Barbuk Miliaran Rupiah
KPK: Wali Kota Bekasi Ditangkap Karena Pengadaan Barang dan Lelang Jabatan