Covid-19

Dispensasi Karantina Pejabat Buka Celah Penyebaran Omicron

Tesalonica — Asumsi.co

featured image
Rizal/Asumsi.co

Belum lama ini, aturan kebijakan lokasi karantina pejabat dan warga biasa menjadi perdebatan. Pemerintah sempat meminta aturan karantina bagi pejabat dilonggarkan atau diberi dispensasi sepulang dari luar negeri.

Seperti yang diberitakan Asumsi.co, Koordinator PPKM Jawa-Bali Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan aturan kebijakan tersebut adalah hal yang wajar dengan dalih kepentingan tugas negara. Baginya, negara lain telah menerapkan hal yang serupa.

Kebijakan ini juga dituangkan dalam Surat Edaran Satgas Penanganan COVID-19 Nomor 25 tahun 2021 tentang perbedaan aturan karantina bagi pejabat dan warga biasa. Pegawai pemerintah atau pejabat eselon I tidak wajib karantina di hotel atau Wisma Atlet dan diperbolehkan karantina di rumah masing-masing.

Berbeda dengan warga biasa yang harus karantina di hotel selama 10 hari, sementara pegawai pemerintah, pekerja migran, dan pelajar boleh menempati Wisma Atlet.

Namun, aturan penempatan karantina yang berbeda-beda, termasuk pejabat diberi dispensasi karantina dinilai dapat memicu penyebaran virus COVID-19. Terutama, wabah omicron yang kian meluas.

Lantas bagaimana tanggapan epidemiolog soal aturan karantina ini?

Jangan Ada Diskresi

Epidemiolog dari Centre for Environmental and Population Health Griffith University Australia Dicky Budiman menilai pengecualian kebijakan karantina dapat memicu laju penyebaran virus omicron.

Baginya, satu orang yang terdampak berpotensi menyebarkan virus dengan cepat ke berbagai komunitas atau orang banyak. Terutama, pejabat negara yang baru pulang dari luar negeri memiliki mobilitas tinggi untuk membuka celah penularan dengan cepat.

Menurutnya, langkah pemerintah soal aturan karantina ini sebetulnya sudah lebih baik, tetapi pengecualian antara pejabat dan warga biasa tidak diperlukan.

“Jangan ada diskresi. Jika pejabat diberi kebijakan aturan karantina mandiri, harus dipastikan bisa atau tidak mereka menjalankan karantina seperti itu? Kalau tidak harus disiapkan aturan karantina yang berkualitas,” kata Dicky kepada Asumsi.co, Kamis (30/12/21).

Ia juga menyarankan pemerintah juga perlu memperbolehkan masyarakat menjalani karantina mandiri, tetapi harus dibarengi dengan verifikasi atau kelayakan tempat. Lebih lanjut, menurut Dicky karantina telah menjadi salah satu upaya besar dalam mengatasi penularan virus apapun tidak hanya omicron.

Jangan Pilih Kasih

Secara terpisah, Epidemiolog Universitas Indonesia Tri Yunis senada bahwa karantina untuk membatasi penularan virus COVID-19, khususnya varian omicron tidak perlu ada pengecualian antara pejabat eselon I dan warga biasa.

“Harusnya kebijakan karantina tidak perlu pilih kasih terhadap pejabat eselon I atau pejabat eselon sekian dan masyarakat biasa. Kecuali bagi presiden, baru boleh ada pengecualian,” kata Tri kepada Asumsi.co, Kamis (30/12/21).

Apalagi, menurutnya kebijakan penempatan karantina harus ditentukan oleh negara bukan pejabatnya. Sehingga, Tri menyarankan pemerintah perlu mengkaji ulang soal pengecualian terhadap lokasi karantina setiap warga negara Indonesia.

“Untuk tempat karantina tidak apa-apa bila pejabat dan warga biasa dibedakan. Namun, pejabat jangan melakukan karantina di rumahnya sendiri, sama saja hal ini berpotensi menularkan virus varian omicron,” pungkasnya.

Deteksi Setiap Titik

Tri menyoroti langkah pemerintah yang sudah terlambat dalam penanganan kasus omicron ini. Baginya. Kebijakan karantina saat ini sudah terlambat, sehingga pemerintah perlu fokus terhadap deteksi virus di setiap titik wilayah.

Terlebih, saat ini kasus omicron kian meluas hingga mencapai 20 lebih kasus di Indonesia. Lebih lanjut, Tri menyebut pemerintah harus menutup setiap pintu negara untuk akses dari luar ke Indonesia.

Ia menilai beberapa daerah kemungkinan sudah terdampak, seperti Bali, Medan, Surabaya, dan lain-lain.

“Saya ngeri kalau pintu negaranya belum gencar pengawasannya. Kasusnya akan sama seperti kasus delta, Indonesia sudah kecolongan dua kali soal dampak penularan virus ini,” ungkap Tri.

Perlu Keseriusan Pemerintah

Lebih lanjut, Tri juga menyoroti sikap Indonesia yang tidak konsisten dalam mengatasi penyebaran virus omicron ini. Ia memberi gambaran Presiden Amerika Serikat sempat memberi pengumuman bahwa negaranya sudah bebas dari kasus virus COVID-19.

Namun, pihak satgas COVID-19 AS menentang dan khawatir akan terjadi ledakan kasus penularan virus tersebut, sehingga mereka membuat surat pernyataan khusus soal kekhawatiran yang dialaminya kepada Presiden.

Sementara di Inggris, pemerintahnya khawatir terhadap masyarakat yang sudah di vaksin dengan dosis lengkap, tetapi penularan omicron kian meluas. Berangkat dari kekhawatiran tersebut, Inggris menyetop sementara kegiatan Liga Inggris, sekolah, universitas, dan tempat-tempat lain yang berpotensi.

Tri menilai kedua negara tersebut kelihatan rasa takutnya terhadap varian omicron ini. Menurutnya, Indonesia belum menunjukkan sikap serius dalam menangani penyebaran virus ini.

“Kalau pemerintah Indonesia kan bingung antara takut dan tidak takut. Misalnya, aturan libur Nataru dibebaskan, kerumunan tidak menyertakan pernyataan dilarang, dan akses ke luar negeri juga tidak dilarang. Seharusnya, mobilitasnya dipersempit seperti pengajuan visa dan paspor dibatasi agar tidak memiliki akses ke luar negeri hingga keadaan kembali pulih,” katanya.

Belajar dari Delta

Selain kebijakan karantina, Tri menyarankan pemerintah harus gencar dalam deteksi dini. Terutama, Tri menyoroti kasus penyebaran virus menjadi 47 kasus dan mengantisipasi seluruh masyarakat Indonesia untuk waspada.

“Tingkat kecepatan penularan omicron tersebut sangat cepat. Jika di bulan Januari-Februari belum ada keseriusan pemerintah maka kemungkinan peluang bertambahnya kasus omicron di  Indonesia sangat besar,” ungkap Tri.

Namun, Tri tetap mengingatkan kepada masyarakat jangan takut di samping pemerintah harus sigap melakukan mitigasi bencana. Termasuk layanan kesehatan yang perlu dibenahi dan diperluas, seperti alat kesehatan, rumah sakit, dan lain sebagainya.

Lebih lanjut, menurutnya pemerintah harus segera menyiapkan skenario terburuknya, tetapi Tri memastikan tingkat keburukannya tidak seperti bulan Juli saat kasus delta merajalela. Terakhir, Tri ingin seluruh pemerintah yang terlibat dalam penanganan kasus virus menular ini segera menuntaskan secara maksimal, apabila ditemukannya kasus omicron baru.


Baca Juga:

Hiperkoagulopati Serang Pasien Omicron Bisa Berujung Kematian

Alasan Mulan-Ahmad Dhani Bisa Diproses Hukum Pelanggaran Karantina

Luhut Minta Beda Aturan Karantina Pejabat dan Warga Biasa Tak Diributkan

Share: Dispensasi Karantina Pejabat Buka Celah Penyebaran Omicron