Budaya Pop

Kekerasan Anak dan Perempuan di Perkotaan Banyak Terjadi Sepanjang 2021

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Antara

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengklaim, berdasarkan hasil Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2021 diketahui terjadi penurunan kasus kekerasan seksual pada perempuan sepanjang tahun ini.

Walau begitu, angka prevalensi kekerasan terhadap perempuan masih memprihatinkan.

Mengutip laman resmi situs Kementerian PPPA, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga menyebutkan hasil SPHPN Tahun 2021 menunjukkan adanya penurunan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dibandingkan tahun 2016.

Adapun survei ini diikuti oleh perempuan dengan rentang usia 15 hingga 64 tahun dalam 12.800 rumah tangga. Survei dilakukan di 33 provinsi, 160 kabupaten/kota dengan metode stratified multistage sampling.

Ia mengungkapkan, meski data menggambarkan prevalensi kekerasan terhadap perempuan dan anak yang menurun, namun angkanya masih memprihatinkan.

“Artinya, kita tidak boleh berpuas hati dan berhenti di sini saja. Perjalanan kita masih panjang. Seharusnya, tidak boleh ada satu pun anak dan perempuan yang mengalami kekerasan, apapun alasannya,” ujarnya.

Ia menjelaskan, berdasarkan data SPHPN Tahun 2021 sebesar 26,1 persen atau 1 dari 4 perempuan usia 15 sampai 64 tahun selama hidupnya pernah mengalami kekerasan fisik dan atau seksual yang dilakukan pasangan dan selain pasangan.

“Angka ini turun dibandingkan tahun 2016, yaitu 33,4 atau 1 dari 3. Pelaku kekerasan dalam dua jenis. Pertama pelaku kekerasan pasangan yakni suami, pasangan yang hidup bersama tidak menikah, dan pasangan seksual yang tinggal terpisah,” jelasnya.

Sementara itu, ada pula pelaku kekerasan bukan pasangan seperti orang tua, mertua, keluarga, teman atau tetangga, guru atau pendidik, orang tidak dikenal, aparat keamanan, hingga majikan.

Kekerasan Fisik Meningkat

Namun untuk kekerasan fisik oleh pasangan pada perempuan pada tahun 2021, diakui Bintang malah mengalami kenaikan dibandingkan tahun 2016.

“Tercatat mengalami kenaikan 2 persen dari data tahun 2016 1,8 persen. Selama ini, Kementerian PPPA telah melakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan yang dilakukan secara lintas sektor,” jelasnya.

Langkah pencegahan dan penanganan kekerasan terhadap perempuan, lanjut dia telah dilakukan kementeriannya mulai dari tingkat keluarga, masyarakat, pemerintah daerah, hingga Kementerian/Lembaga di tingkat pusat.

“Kami juga melakukan kampanye program Three Ends, gerakan bersama Stop Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), hingga pengembangan model Desa Ramah Perempuan dan Peduli Anak (DRPPA),” imbuhnya.

Ia mengharapkan dengan upaya pencegahan dan penindakan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, ke depan angka kejadian kekerasan terhadap kaum Hawa bisa terus menurun.

Perkotaan Lebih Banyak Kekerasan

Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Ratna Susianawati menimpali, sepanjang tahun 2021 Kementerian PPPA menambahkan indikator Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) dalam survei kekerasan perempuan.

Ia mengatakan, indikator ini disesuaikan dengan dinamika dan kebutuhan di level internasional. Survei ini, kata dia menjadi komitmen dari bagian upaya bersama mendukung pelaksanaan pemenuhan Sustainable Development Goals, yaitu kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan.

Lebih lanjut, ia mengungkapkan kekerasan fisik dan atau seksual cenderung lebih banyak dialami oleh perempuan yang tinggal di daerah perkotaan.

“Besarnya 27,8 persen dibandingkan dengan perempuan yang tinggal di daerah pedesaan, yaitu 23,9 persen,” katanya mengutip sumber yang sama.

Namun menurutnya, angka ini mengalami penurunan dari tahun 2016, yaitu sebesar 36,3 persen di perkotaan dan persentase 29,8 persen di pedesaan.

Selain itu, prevalensi kekerasan fisik dan/atau seksual lebih banyak dialami oleh perempuan dengan pendidikan SMA ke atas dan juga perempuan yang bekerja.

“Memang terjadi penurunan kekerasan seksual, emosional, ekonomi, dan pembatasan aktivitas yang dilakukan oleh pasangan terhadap perempuan berusia 15 sampai 64 tahun. Namun, angka kekerasan fisik oleh pasangan berada pada angka 2 persen, angka ini meningkat dari data SPHPN Tahun 2016, yaitu 1,8 persen,” tandasnya.

Anak Perempuan Korban Kekerasan Seksual

Menyikapi hal ini, Komnas Perempuan mengungkapkan data kondisi kekerasan terhadap perempuan sepanjang tahun 2021. Tercatat perempuan yang menjadi korban kekerasan mencapai ribuan korban.

“Korban yang melaporkan kasusnya dan ditangani oleh tiga lembaga. Sebanyak 9.057 korban tercatat berdasarkan data Simfoni PPA, 1.967 korban ditangani Sintaspuan Komnas Perempuan, dan 806 korban yang ditangani oleh Forum Pengada Layanan Titian Perempuan,” jelas  Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi kepada Asumsi.co melalui pesan singkat, Selasa (28/12/2021).

Ia menambahkan, berdasarkan data gabungan Simfoni PPA, Sintaspuan dan Titian Perempuan menunjukkan bahwa anak perempuan paling rentan mengalami kekerasan seksual.

“Data menunjukkan anak perempuan paling rentan mengalani kekerasan seksual mencapai 3.248 korban dari data Simfoni PPA, 152 korban yang melaporkan ke Sintaspuan, dan 84 orang mengadukan ke Titian Perempuan,” ungkapnya.

Banyaknya kasus kekerasan pada perempuan ini, kata dia membuat Komnas Perempuan perlu mengingatkan Kementerian Agama untuk menguatkan materi terkait kesetaraan gender.

Edukasi yang perlu diperkuat, menurutnya terkait pendidikan calon pengantin atau kursus calon pengantin (suscatin), mengingat kekerasan tertinggi pada ranah privat adalah kekerasan terhadap istri.

“Kami juga mendorong DPR dan Pemerintah untuk segera melakukan pembahasan dan pengesahan RUU Tindak Pidana Kekerasan Seksual dengan mengakomodir secara maksimal kebutuhan korban kekerasan seksual,” imbuhnya.

Aparat Diminta Responsif

Sementara itu, Komisioner Subkomisi Pemantauan Komnas Perempuan Dewi Kanti menilai perlunya koordinasi antara aparat penegak hukum Polri, Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung RI responsif menyikapi hal ini.

Ia menegaskan pentingnya memastikan adanya pelatihan berkala dengan materi ajar penanganan kasus yang berperspektif korban kepada aparat penegak hukum.

“Ini diperlukan agar penanganan tidak menambah beban trauma berkepanjangan pada korban,” ucapnya saat dihubungi terpisah.

Dewi juga mengimbau seluruh  pihak memperbanyak ruang penyelenggaraan atau pemberian informasi melalui kampanye terkait pencegahan terhadap perempuan.

“Langkahnya bisa melalui pemanfaatan media sosial, atau melalui kader-kader seperti kader PKK, Satgas PPA, kader kesehatan, petugas posyandu, termasuk program penguatan dukungan gerakan keluarga sadar hukum yang diharapkan mampu mendukung korban dalam mengakses keadilan dan pemulihan,” tuturnya.

Ia turut mendesak pemerintah untuk mengembangkan program-program percepatan penguatan infrastruktur layanan informasi, bantuan hukum dan konseling, serta layanan kesehatan yang berkualitas dan berkelanjutan terhadap kekerasan perempuan.

“Khususnya pada anak perempuan dalam mendorong strategi pencegahan dan penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan,” ucapnya.


Baca Juga:

Polisi Dalami Laporan Balik Driver Taksi Online Terkait Penganiayaan

207 Anak Korban Pelecehan Seksual di Sekolah Sepanjang 2021

Sopir Taksi Online Tersangka Pelecehan Laporkan Penumpang ke Polisi

Share: Kekerasan Anak dan Perempuan di Perkotaan Banyak Terjadi Sepanjang 2021