Keputusan pemerintah untuk menerapkan micro lockdown dengan kondisi tertentu, demi mencegah penyebaran varian COVID-19 omicron pada momen pergantian tahun dinilai belum cukup.
Adapun langkah ini diputuskan oleh pemerintah, menyusul sudah ada 46 kasus omicron yang terdeteksi di Indonesia dan dikhawatirkan berpotensi terus bertambah penularannya.
Apa Itu Micro Lockdown?
Koordinator PPKM Jawa-Bali, Luhut Pandjaitan mengatakan pemerintah akan menerapkan kebijakan micro lockdown jika sudah terjadi transmisi lokal penularan varian omicron. Saat ini, kebijakan tersebut sudah diterapkan di lingkungan RSDC Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta.
“Lockdown di level micro, seperti yang dilakukan di Wisma Atlet, dapat kita implementasikan seandainya transmisi lokal varian Omicron sudah terdeteksi,” kata Luhut dalam konferensi pers, Senin (27/12/2021).
Selain menerapkan micro lockdown, Luhut mengatakan pemerintah juga berencana mengetatkan aturan karantina bagi pelaku perjalanan luar negeri yang masuk ke Indonesia. Sebab, diperkirakan bakal ada lima ribu WNI yang pulang dari luar negeri pada Januari mendatang.
“Jumlah tempat karantina masih mencukupi dan baru ditambah jika sudah ada lonjakan kepulangan WNI dari luar negeri,” ucapnya.
Diketahui penambahan kasus omicron di Indonesia yang jumlahnya mencapai 46 kasus, berasal dari penambahan 27 kasus baru yang diumumkan pada Minggu (26/12/2021).
Adapun micro lockdown sebetulnya bukanlah kebijakan baru yang diambil pemerintah. Sebelumnya, langkah yang sama juga pernah diberlakukan pada Februari 2021.
Demi Ekonomi
Kala itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta seluruh Pemerintah Daerah (Pemda) untuk menerapkan kebijakan yang juga disebut dengan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) skala micro yang cakupan lingkupnya di kampung, desa, RW, atau RT.
“Jangan sampai yang terkena virus hanya satu orang dalam satu RT, yang di-lockdown seluruh kota. Jangan sampai yang terkena virus misal satu kelurahan, yang di-lockdown seluruh kota, untuk apa? Sering keliru kita di sini,” katanya seperti dikutip dari Antara.
Jokowi menilai penerapan micro lockdown lebih efektif dan efisien dalam menekan kasus virus Corona di tanah air. Kebijakan ini, kata dia cenderung tidak merusak pertumbuhan ekonomi dan melumpuhkan kegiatan ekonomi masyarakat secara umum.
“Enggak bisa lagi satu kota langsung di-lockdown. Banyak negara yang melakukan lockdown seluruh negara, satu provinsi, satu kota, kemudian ekonominya jatuh,” ucapnya.
Dinilai Telat
Epidemiolog Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI), Tri Yunis Miko Wahyono mengapresiasi keputusan pemerintah yang kembali menerapkan kebijakan micro lockdown.
Namun ia menyayangkan langkah pemerintah yang ingin memperketat karantina bagi WNI yang pulang dari luar negeri baru dilakukan saat sudah kebobolan masuknya varian omicron.
“Ini kan, kita sudah kebobolan sampai 46 kasus berarti ya, telat upaya menekan kasusnya,” kata Yunis kepada Asumsi.co melalui sambungan telepon, Senin (27/11/2021).
Ia mengharapkan agar pemerintah tak hanya fokus pada Jakarta saja dalam penerapan kebijakan ini. Sebab, menurutnya ada kota-kota besar lain yang juga mesti menjadi perhatian karena dikhawatirkan terjadi kerumunan akibat mobilitas masyarakat yang padat di sana, selama akhir tahun.
“Jangan cuma Jakarta yang jadi perhatian, tapi kota-kota lainnya seperti Surabaya, Bali ini jangan sampai kebobolan semua. Dikhawatirkan di kota-kota ini ada kerumunan yang bandel tetap merayakan tahun baru,” katanya.
Maksimalkan Pelacakan
Tri Yunis menambahkan, untuk menekan laju penyebaran kasus varian omicron pada akhir tahun di Indonesia tidak cukup hanya dengan menerapkan kebijakan micro lockdown.
Langkah lainnya yang juga mesti dilakukan pemerintah agar upaya menekan kasusnya bisa maksimal adalah melakukan tracing yang lebih serius, serta memaksimalkan upaya pelacakan penyebaran mutasi virusnya.
Ia menyebutkan langkah inilah yang selama ini dilakukan oleh berbagai negara dalam menghadapi penyebaran kasus COVID-19 yang disebabkan oleh varian omicron.
“Cuma dananya ada enggak? Karena ini akan membutuhkan dana besar untuk keterlibatan laboratorium. Amerika kan, melakukan ini dan mampu karena uangnya banyak. Inggris juga melakukan langkah serupa karena uangnya banyak untuk kebutuhan genome sequencing. Kalau Indonesia saya kira belum mampu melakukannya secara maksimal,” tuturnya.
Lebih lanjut, menurutnya kebijakan micro lockdown yang pernah dilakukan pemerintah awal tahun ini, sama sekali tidak efektif untuk menekan penyebaran laju virusnya yang saat itu masih belum ada varian delta dan omicron.
Alasannya, kata dia saat itu masih terus terjadi peningkatan kasus dari Januari sampai Juni 2021, hingga puncaknya padai Juli 2021. “Ini pelajaran banget karena genome sequencing dan tracing-nya masih terbatas dan banyak menyisakan orang yang tidak terdeteksi melalui tracing,” jelas dia.
Meski demikian, Yunis meyakini penyebaran varian omicron di Indonesia tidak akan memicu terjadinya tsunami kasus penularan yang membuat ratusan orang tertular dalam sehari.
“Apapun langkah yang diambil, meski terlambat dan kebobolan, saya rasa penyebaran dan tingkat penularannya tidak akan separah tahun lalu sih. Penyebabnya karena dominan masyarkat kita sudah terinfeksi, sehingga ada imunnya dan juga sudah banyak masyarakat yang divaksin. Ini membantu banget menahan penularan yang parah,” tandasnya.
Prosedur Standar
Epidemiologi dari Universitas Indonesia, Syahrizal Syarif menimpali kebijakan micro lockdown sebetulnya merupakan prosedur standar yang memang mesti dilakukan pemerintah. Langkah ini harus dilakukan saat varian virus baru Corona memicu terjadinya klaster.
Namun ia menilai pengawasan berjalannya protokol kesehatan yang ketat saat melakukan karantina terhadap WNI atau warga negara asing yang datang dari luar negeri, juga penting dilakukan.
“Jangan sampai pas di karantina malah menularkan lagi orang sekitarnya seperti petugas kesehatan karena tidak menjalankan prokes dengan baik selama menjalani karantina,” ucapnya saat dihubungi terpisah.
Ia menambahkan, pemberlakuan micro lockdown juga tidak bisa dilakukan secara sembarangan dan jangan sampai malah membuat pemerintah mengeluarkan biaya yang mahal alih-alih ingin lebih efisien dari segi ekonomi, dibandingkan menerapkan PSBB.
Micro lockdown, kata dia baru wajib diterapkan jika terjadi klaster di satu tempat atau wilayah.
“Kalau ada satu orang yang terpapar misalnya lalu bergerak cepat mengatasinya dan di wilayah itu tidak terjadi penularan massal, maka tidak perlu. Jangan sampai biaya ekonominya terlalu besar untuk sesuatu yang kita tahu dasarnya untuk menekan virus ini adalah memaksimalkan tracing dan banyak diskusi antara Satgas COVID-19 dan tim pakar yang dilibatkan,” pungkasnya. (zal)
Baca Juga:
Jumlah Pegawai Wisma Atlet Tertular Omicron Bertambah