Isu Terkini

Kemen PPPA Setuju Terdakwa Pemerkosaan Santriwati Dihukum Kebiri

Joko Panji Sasongko — Asumsi.co

featured image
ANTARA/Bagus Ahmad Rizaldi.

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menilai terdakwa kasus pemerkosaan terhadap 12 santriwati dapat diancam tambahan hukuman kebiri.

Sebelumnya, seperti diberitakan Asumsi.co, Komisi Perlindungan Anak Indonesia Retno Lisyarti menilai Herry Wirawan, guru pesantren yang memperkosa belasan santri, bisa dijatuhi hukuman kebiri selain juga hukuman penjara.

Salah satu pertimbangannya adalah karena para korban yang masih anak-anak telah dirusak masa depannya dan kekerasan seksual dilakukan berkali-kali terhadap beberapa orang.

Dasar pengenaan hukuman: Deputi Perlindungan Khusus Anak Kemen PPPA Nahar mengatakan, hukuman itu sesuai Pasal 81 ayat 7 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 1 Tahun 2016 yang telah ditetapkan menjadi Undang-Undang (UU) Nomor 17 Tahun 2016.

“Kami mendukung proses peradilan yang sedang berlangsung serta mendorong penerapan hukuman yang tegas dan maksimum terhadap terdakwa yang telah melakukan perbuatan sangat keji terhadap anak yang ingin mendapatkan pendidikan terbaiknya,” kata Nahar melalui siaran pers, Jakarta, Jumat (10/12/2021).

Dalam persidangan yang sedang berlangsung, jaksa mendakwa terdakwa HW dengan pasal berlapis, yakni Pasal 81 ayat (1) dan (3) Pasal 76 D UU RI No. 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak Jo pasal 65 ayat (1) KUHP maksimal 15 tahun penjara.

Namun, ada yang memberatkan dalam kasus ini karena terdakwa merupakan tenaga pendidik, sehingga ancaman hukuman 20 tahun.

Korban 12 santriwati: Guru pesantren di Cibiru, Kota Bandung tersebut melakukan pemerkosaan terhadap 12 santriwati selama lima tahun sejak 2016 – 2021. Bahkan empat santriwati melahirkan delapan anak.

Nahar menginformasikan saat ini korban telah mendapat pendampingan dari Lembaga Layanan Perlindungan Perempuan dan Anak yang dikoordinasikan oleh Unit Pelaksana Teknis Daerah Perlindungan Perempuan dan Anak (UPTD PPA) Jawa Barat. Perhatian khusus diberikan untuk pendampingan psikososial agar anak korban pulih dan dapat kembali ke masyarakat.

Lindungi korban: Nahar meminta semua pihak termasuk media berhati-hati dalam menyampaikan informasi serta tidak memberi stigma kepada korban. Menurut dia, korban berhak mendapatkan perlindungan identitas diri atau privasi demi menghindari dampak-dampak buruk lainnya.

Nahar mengatakan kasus kekerasan seksual di lembaga pendidikan berasrama sangat sering terjadi. Kemen PPPA pun mengharapkan adanya langkah pencegahan yang serius dari semua pihak, baik dari pengelola lembaga pendidikan maupun melibatkan pengawasan orangtua dan pihak-pihak lainnya.

Harus punya standar: Kemen PPPA mendorong agar setiap lembaga pendidikan dan pengasuhan, termasuk pesantren harus memiliki dan menerapkan standar pengasuhan bagi anak yang berada di bawah tanggung jawabnya.

“Kami juga mengharapkan orang tua turut mengawasi anaknya yang ditempatkan di lembaga pengasuhan atau pendidikan dan membangun komunikasi yang intens dengan anak sebagai bagian dari tanggung jawab pengasuhan yang tidak boleh dilepaskan begitu saja kepada lembaga tersebut,” ujar Nahar.

Nahar mengatakan lembaga pengasuhan atau pesantren wajib memberikan orientasi kepada peserta didik untuk melindungi dirinya dari segala bentuk tindak kekerasan dan memiliki akses untuk melaporkan segala bentuk perlakuan yang diterima. (zal)


Baca Juga:

Share: Kemen PPPA Setuju Terdakwa Pemerkosaan Santriwati Dihukum Kebiri