Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terhadap uji materi perkara Nomor 90/PUU-XII/2023 yang diajukan mahasiswa bernama Almas Tsaqibbirru, berubah setelah paman, Gibran Rakabuming Raka, Anwar Usman, ikut rapat permusyawaratan hakim (RPH). Sehingga, MK mengabulkan gugatan batas usia capres-cawapres minimal 40 tahun atau pernah/sedang menjadi kepala daerah. Putusan itu membuat Gibran berpeluang mendampingi Prabowo Subianto pada Pilpres 2024.
Terhadap putusan MK tersebut, terdapat alasan berbeda (cocurring opinion) dari dua hakim konstitusi. Yaitu, Enny Nurbaningsih dan Daniel Yusmic P. Foekh. Serta, terdapat pula pendapat berbeda (dissenting opinion) dari empat hakim konstitusi. Yakni, Wahiduddin Adams, Saldi Isra, Arief Hidayat, dan Suhartoyo.
Dalam dissenting opinion, hakim konstitusi Saldi Isra mengaku bingung dengan putusan MK yang berubah-ubah dalam waktu singkat.
“Sebab, sejak menapakkan kaki sebagai Hakim Konstitusi di gedung Mahkamah ini pada 11 April 2017, atau sekitar enam setengah tahun yang lalu, baru kali ini saya mengalami peristiwa aneh yang luar biasa dan dapat dikatakan jauh dari batas penalaran yang wajar: Mahkamah berubah pendirian dan sikapnya hanya dalam sekelebat,” ujar Saldi.
Dia mengatakan, keanehan itu dipicu atas adanya perbedaan putusan perkara 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan perkara 90/PUU-XXI/2023. Dalam ketiga putusan sebelumnya, kata Saldi, para hakim MK menyebut gugatan pemohon merupakan ranah pembentuk undang-undang.
“Apakah mahkamah pernah berubah pendirian? Pernah tetapi tidak pernah terjadi secepat ini, di mana perubahan terjadi dalam hitungan hari,” kata Saldi.
Diketahui, dalam putusan perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, MK secara eksplisit, lugas, dan tegas menyatakan mengubah norma Pasal 169 huruf q UU 7/2017 adalah wewenang pembentuk undang-undang. Padahal, sadar atau tidak penolakan MK terhadap gugatan yang diajukan PSI, Partai Garuda, dan Wagub Jawa Timur Emil Dardak dkk, telah menutup ruang adanya tindakan lain selain dilakukan oleh pembentuk undang-undang.
“Pertanyaannya, fakta penting apa yang telah berubah di tengah masyarakat sehingga Mahkamah mengubah pendiriannya dari putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 dengan amar menolak, sehingga berubah menjadi amar mengabulkan dalam putusan a quo?,” katanya.
Secara keseluruhan terdapat belasan permohonan untuk menguji batas usia minimal capres-cawapres dalam norma Pasal 169 huruf q UU 17 tahun 2017 tentang Pemilu. Perkara Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023 merupakan gelombang pertama. Dari belasan perkara tersebut, hanya perkara gelombang pertama itu yang diperiksa melalui sidang pleno untuk mendengar keterangan pihak-pihak (Presiden, DPR, sampai ahli pemohon). RPH dihadiri hakim konstitusi, Saldi Isra, Arief Hidayat, Manahan MP Sitompul, Suhartoyo, Wahiduddin Adams, Enny Nurbaningsih, Daniel Yusmic P. Foekh, dan M. Guntur Hamzah, tercatat RPH pada Selasa (19/9/2023). RPH tidak dihadiri hakim konstitusi sekaligus Ketua MK Anwar Usman.
“Hasilnya enam hakim konstitusi, sebagaimana amar putusan MK Nomor 29-51-55/PUU-XXI/2023, sepakat menolak dan memposisikan Pasal 169 huruf q UU 7 tahun 2017 sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang. Sementara itu, dua hakim konstitusi lainnya memilih dissenting opinion,” ujar Saldi.
Dalam gelombang kedua, Ketua MK Anwar Usman, ikut memutus perkara Nomor 90/PUU-XXI/2023 dan 91/PUU-XXI/2023. Selain menambah jumlah hakim pemutus perkara, kehadiran Anwar Usman juga mengubah posisi para hakim yang dalam gelombang pertama menolak, menjadi mengabulkan sebagian permohonan.
“Sebagian hakim konstitusi dalam putusan MK nomor 29/PUU-XXI/2023, 51/PUU-XXI/2023, dan 55/PUU-XXI/2023 yang berada pada posisi Pasal 169 huruf q sebagai kebijakan hukum terbuka (open legal policy) pembentuk undang-undang, kemudian pindah haluan dan mengambil posisi akhir dengan ‘mengabulkan sebagian’ perkara nomor 90/PUU-XXI/2023,” katanya.