Ombudsman Republik Indonesia (ORI) mengungkapkan lima temuan sementara, terkait adanya konflik relokasi warga Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau. Konflik ini, diketahui sebagai buntut dari adanya rencana pembangunan proyek Rempang Eco City.
Berikut ini, sejulah temuan terkait perkara ini yang dihimpun dari berbagai sumber:
Sertifikat HPL BP Batam Belum Terbit
Temuan pertama mengenai sertifikat hak pengelolaan (HPL) atas nama BP Batam yang ternyata belum diterbitkan. Sebab lahan yang dimohon belum jelas karena masih dikuasai oleh masyarakat.
“Badan pertanahan akan mengeluarkan sertifikat kalau area itu sudah tidak ada penghuni lagi. Itulah kenapa, mereka sepertinya kemudian tergesa-gesa untuk mendesak warga di kampung-kampung tua itu keluar dari area itu,” kata Anggota Ombudsman, Johanes Widijantoro dalam konferensi pers di Gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Rabu (27/9/2023).
Pasalnya Menteri ATR/KBPN telah menerbitkan Surat Keputusan Pemberian Hak Pengelolaan untuk lahan Areal Penggunaan Lain (APL) tertanggal 31 Maret 2023 dan akan berakhir pada 30 September 2023.
“Meskipun dapat diperpanjang dengan persetujuan menteri. Kalau dalam jangka waktu ini enggak terbit, ya memang kemudian gugur kalau dia enggak mengajukan perpanjangan. Artinya sertifikat HPL tidak akan pernah terbit,” ujar Johanes.
Proyek Strategis Nasional dan Ditolak Warga
Selanjutnya, Ombudsman menemukan bahwa program Rempang Eco City memang termasuk proyek strategis nasional (PSN). Dasar hukum ini baru saja keluar tahun ini dengan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023.
Kemudian relokasi yang dilakukan oleh BP Batam ditolak oleh sejumlah warga. Johanes menjelaskan, warga di tiga kampung tua Rempang merasa mereka telah menghuni tempat itu secara turun-temurun. Apalagi jika mereka pindah, tidak ada jaminan keberlangusngan sumber mata pencarian mereka di lokasi yang baru.
“Pada dasarnya, beberapa kampung yang kami survei, warga merasa mereka ini sudah turun-temurun, generasi ke generasi di sana. Bahkan ada yang sampai 6-7 generasi sudah di situ dan mereka merasa tidak ada jaminan bahwa mereka kalau dipindahkan akan mendapatkan sumber-sumber mata pencaharian yang sama,” ujar Johanes.
Adapun temuannya menunjukkan bahwa pemerintah belum melakukan sosialisasi secara masif dan menyampaikan informasi yang menyeluruh terkait apa yang direncanakan dan apa yang akan terjadi kepada warga di Pulau Rempang.
“Warga menilai belum ada kepastian, baru janji-janji. Memang secara objektif kita tahu bahwa tempat-tempat untuk memindahkan mereka juga belum siap,” ucapnya.
Kosong Dasar Hukum
Temuan lainnya, mengungkapkan bahwa ketersediaan anggaran, pemberian kompensasi dan program yang dijanjikan secara keseluruhan dari BP Batam belum mempunyai dasar hukum. Dalam hal ini, terkait dengan pemberian kompensasi berupa rumah pengganti, uang tunggu dan hunian sementara bagi warga terdampak.
“Itu kan tidak serta-merta uangnya ada, ya mesti harus ada dasar hukumnya juga agar program jalan,” lanjut dia.
Batas Belum Ditetapkan
Selanjutnya, temuan kelima mengungkap bahwa seluruh perkampungan tua di Batam belum ditetapkan batasnya oleh Pemerintah Kota Batam. Johanes mengatakan hal ini secara langsung dinyatakan oleh Lembaga Adat Melayu yang mewakili komunitas kampung tua.
“Mereka sejatinya menghendaki segera ada penetapan batas-batas kampung tua itu yang pernah dimulai tahun 2004 dengan berbagai kebijakan pemerintah kota saat itu tapi tidak tuntas,” ujarnya.