Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD mengungkapkan informasi yang diterimanya, soal banyaknya dugaan terjadi politik uang di Komisi Pemilihan Umum (KPU) di tengah suasana tahun politik, menjelang pelaksanaan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 belakangan ini.
Mahfud mengatakan, dugaan politik uang ini disebabkan oleh upaya memenangkan Pemilu dengan membeli dukungan. Dugaan politik uang ini, kata dia tak bisa dipungkiri dari tingkat pejabat desa hingga masuk ke lingkungan KPU.
“Banyak (politik uang). Ada yang borongan melalui botoh-botoh, melalui pejabat-pejabat desa di kecamatan, di KPU. Banyak lho di KPU, meskipun sudah independen,” ujar Mahfud MD dalam diskusi virtual, Selasa (8/8/2023).
Ia menambahkan, lingkungan KPU yang diduga mulai terindikasi adanya praktik politik uang ini terutama menyeret perwakilan lembaga tersebut yang ada di berbagai daerah di Indonesia.
“Karena KPU bukan hanya ada di Jakarta. Itu sampai ke daerah, bahkan sampai tingkat TPS (tempat pemungutan suara) itu sebenarnya orang-orangnya KPU semua. Politik uang sering dibeli lewat mereka,” katanya.
Mahfud menambahkan, praktik politik uang melalui KPU banyak yang terjadi dalam bentuk eceran dan sering disebut dengan serangan fajar. Berdasarkan hasil penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terbaru, kata dia terjadi peningkatan volume korupsi yang sejalan dengan pelaksanaan Pemilu dan Pilkada.
“Ketika Pemilu belum serentak, tampak jelas di mana akan ada Pilkada di situ peningkatan korupsi terjadi. Berarti, Pemilu ini selalu diiringi dengan terjadinya upaya korupsi atas keuangan negara. Sebabnya penangkapan-penangkapan biasanya banyak terjadi menjelang Pemilu,” tutur Mahfud.
Di sisi lain, Menko Polhukam juga menyinggung banyaknya hoaks atau berita bohong yang beredar di media sosial yang berpotensi memecah belah, serta menimbulkan polarisasi di tengah masyarakat. Oleh sebab itu, ia mengingatkan masyarakat untuk senantiasa bijak menyikapi berbagai kabar, khususnya menyangkut politik yang beredar di media sosial.
“Tidak bisa atas nama demokrasi, lalu orang memecah belah kehidupan bangsa dan negara kita. Membuat fitnah, mencaci maki, dan sebagainya atas nama dmeokrasi dan hak asasi,” tandasnya.