Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan (Zulhas) mempertanyakan kebijakan Undang-undang (UU) Anti-deforestasi atau European Union Deforestation Regulation (EUDR) yang digagas oleh Uni Eropa. Sebab, kebijakan tersebut dinilai tak adil bagi Indonesia.
Adapun Undang-undang ini, merupakan bagian dari implementasi sekaligus komitmen negara-negara Eropa untuk memitigasi perubahan iklim, dengan melarang perdagangan internasional terhadap sejumlah produk komoditas, mulai dari sawit, kopi, daging, kayu, kakao, kedelai, dan karet.
Mendag mengatakan, isi kebijakan yang ada di dalam aturan tersebut akan mengganggu perdagangan komoditas Indonesia seperti yang disebutkan di dalam aturan tersebut.
Padahal, kata dia Indonesia selama ini tidak pernah melarang produk Uni Eropa untuk masuk ke pasar Indonesia. Maka, menurutnya UU Anti-deforestasi ini patut diprotes karena dianggap bersinggungan dengan aspek perdagangan Indonesia, sekaligus nasib profesi petani dalam negeri yang berperan dalam berbagai bidang pertanian Indonesia.
“Indonesia tidak melarang produk-produk Eropa. Saya bilang (ke Uni Eropa) kalau rakyat kami ingin kayak kamu. Walaupun kita mayoritas muslim, itu impor wine-alkohol banyak. Saya mengatakan betapa tidak adilnya,” ujar Menteri yang akrab disapa Zulhas ini dalam pembukaan diskusi di Kementerian Perdagangan, Jarkarta Pusat, Selasa (1/8/2023).
Ia turut mengkritik kebijakan aturan yang digagas Uni Eropa tersebut yang menurutnya, tidak konsisten. Dirinya mengaku heran soal sikap Uni Eropa melalui UU Anti-deforestasi yang tujuannya, melindungi hutan dan mengatasi perubahan iklim, namun di sisi lain mereka tetap memperbolehkan impor batu bara. Padahal, komoditas tersebut menurutnya juga menyumbang besar terjadinya kerusakan iklim.
“Uni Eropa juga tidak konsisten. Katanya kopi merusak lingkungan tetapi dalam waktu yang sama, dia juga beli batu bara di kita. Masa kopi lebih merusak lingkungan daripada batu bara, nggak konsisten. Kita kalau ekspor tuna, kena 20 persen tax, tetapi tuna-tuna kita tabung ilegal dia terima juga. Jadi kalau kepentingannya, oke,” tuturnya.
Mendag turut menekankan sejumlah upaya Kemendag dalam mengamankan kepentingan nasional. Mulai dari melakukan diplomasi untuk menyampaikan keberatan kepada Uni Eropa dan anggota bilateralnya untuk memanfaatkan perundingan IEU-CEPA, serta menyuarakan kekhawatiran dampak negatif EUDR di forum multilateral.
“Indonesia juga telah mengangkat isu ini bersama dengan anggota WTO lainnya di berbagai komite WTO. Indonesia juga posisi bersama dengan negara lainnya, sebelumnya kita menginisiasi yang ditandatangani 14 negara perihal keberatan kebijakan Uni Eropa. Saat ini kami sedang menyusun surat kedua bersama 19 negara lainnya. Target kita memperoleh sebanyak-banyaknya untuk memperkuat posisi Indonesia,” turutnya.
Lebih lanjut, Mendag menilai kebijakan ini berpotensi menghambat perdagangan US$ 6 juta dan merugikan petani serta peternak.
“Ekspor Indonesian ke Uni Eropa nilai hamir US$ 7,2, meliputi hampir 8 juta petani kecil. Perjuangan tidak mudah, tapi kami terus berupaya termasuk melindungi petani. Upaya dalam negeri, mendukung perbaikan sistem terkait lingkungan dan keberlanjutan seperti harmonisasi data. Kemudian mendukung komitmen Indonesia dalam menjalankan kebijakan atau program yang berkontribusi untuk mengatasi perubahan iklim,” imbuhnya.