Teknologi

Google Kritik Rancangan Perpres Publisher Rights, Dinilai Ancam Masa Depan Media Indonesia

Yopi Makdori — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Pawel Czerwinski

Perusahaan teknologi, Google mengkritisi peraturan presiden (perpres) baru di Indonesia, tentang jurnalisme atau dikenal sebagai Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas. Alasannya, aturan ini dianggap mengancam keberlangsungan jurnalistik di tanah air.

Vice President Government Affairs and Public Policy, Google APAC, Michaela Browning menilai rancangan perpres tersebut dapat membatasi keberagaman sumber berita bagi publik.

Sebab, aturannya dinilai memberikan kekuasaan kepada sebuah lembaga non-pemerintah untuk menentukan konten apa yang boleh muncul secara daring, serta penerbit berita mana yang boleh meraih penghasilan dari iklan.

“Sebagaimana yang telah kami sampaikan kepada Pemerintah Indonesia, kami khawatir bahwa, jika disahkan tanpa perubahan, rancangan terbaru Perpres tentang Jurnalisme Berkualitas yang tengah diusulkan saat ini tidak dapat dilaksanakan,” kata Browning melalui keterangan persnya melalui Google Blog, Rabu (26/7/2023).

Dalam versi baru peraturan tersebut, Google tidak bisa mengunggah berita dari perusahaan pers ke platform mereka. Perusahaan itu pun diwajibkan wajib menjalin kerja sama dengan perusahaan pers, agar bisa memampang karya jurnalistiknya, atau dikenal dengan publishers rights.

Menurut Browning, apabila aturan itu disahkan dalam versi sekarang, peraturan berita yang baru ini secara langsung dapat mempengaruhi kemampuan pihaknya untuk menyediakan sumber informasi online yang relevan, kredibel, dan beragam bagi pengguna produk Google di Indonesia.

“Akibatnya, segala upaya yang telah dan ingin kami lakukan untuk mendukung industri berita di Indonesia selama ini dapat menjadi sia-sia,” ucapnya.

Browning mencatat, setidaknya terdapat dua kekhawatiran terhadap keberlangsungan dunia jurnalistik di Tanah Air jika peraturan itu disahkan. Pertama, peraturan itu dianggap membatasi berita yang tersedia daring.

Menurutnya, peraturan ini hanya menguntungkan sejumlah kecil penerbit berita dan membatasi kemampuan pihaknya untuk menampilkan beragam informasi dari ribuan penerbit berita lainnya di seluruh nusantara.

Selain itu, kata dia aturan barunya dianggap merugikan ratusan penerbit berita kecil di bawah naungan Serikat Media Siber Indonesia (SMSI).

“Masyarakat Indonesia yang ingin tahu berbagai sudut pandang pun akan dirugikan, karena mereka akan menemukan informasi yang mungkin kurang netral dan kurang relevan di internet,” ujar Browning.

Kedua, aturan tersebut dinilai mengancam eksistensi media dan kreator berita. Padahal menurut Browning, mereka adalah sumber informasi utama bagi masyarakat Indonesia.

“Tujuan awal peraturan ini adalah membangun industri berita yang sehat, tetapi versinya yang terakhir diusulkan malah mungkin berdampak buruk bagi banyak penerbit dan kreator berita yang sedang bertransformasi dan berinovasi,” terangnya.

Kekuasaan baru yang diberikan kepada sebuah lembaga non-pemerintah yang dibentuk oleh dan terdiri dari perwakilan Dewan Pers, menurut dia hanya akan menguntungkan sejumlah penerbit berita tradisional saja dengan membatasi konten yang dapat ditampilkan di platform Google.

Seperti diketahui, rancangan Perpres tersebut pertama kali diusulkan pada tahun 2021 lalu. Perpres itu memuat aturan supaya Google menjalin kerja sama dengan perusahaan pers agar bisa menampilkan karya berita milik perusahaan pers pada platform mereka, seperti pada pencarian Google dan Google News.

Kementerian Kominfo telah mengirim naskah rancangan perpres itu ke Presiden Joko Widodo. Terdapat delapan kewajiban platform digital terhadap dunia pers Tanah Air, di antaranya adalah mendukung jurnalisme berkualitas, termasuk mencegah komersialisasi konten yang tidak sesuai dengan kaidah jurnalistik.

Platform digital juga berkewajiban menghilangkan berita yang tidak sesuai kode etik jurnalistik sesuai perintah Dewan Pers.

Tak hanya itu, kewajiban lainnya adalah berbagi data agregat aktivitas pengguna dengan perusahaan pers secara transparan dan adil, serta tidak menampilkan konten yang merupakan hasil daur ulang produk jurnalistik tanpa izin.

Platform digital juga dituntut untuk mengikuti ketentuan lain seperti perpajakan layaknya sebuah perusahaan atau bisnis yang beroperasi di Indonesia.

Share: Google Kritik Rancangan Perpres Publisher Rights, Dinilai Ancam Masa Depan Media Indonesia