Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Firli Bahuri optimistis, nota kesepahaman atau memorandum of understanding (Mou) anti suap antara KPK dan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) yang ditandatangani pada Kamis (25/11/2021), bakal menghilangkan kebiasaan suap antara pengusaha dan pejabat pemerintah.
Kesepakatan tersebut merupakan pembaruan dari kesepakatan yang pernah ditandatangani pada 2017. Menurut Firli, tidak adanya suap dapat menunjang ekonomi nasional yang lebih mudah, efektif, efisien, dan lancar. Sehingga, pengusaha disebut tidak susah payah lagi mengeluarkan biaya tambahan demi melancarkan usaha miliknya.
Kadin dinilai sudah cukup maksimal dalam membantu pemerintah untuk mencapai target ekonomi. Terutama, usaha mereka selama bekerja sama dengan organisasinya. Firli mengharapkan tidak ada lagi suap ketika mengundang banyak investasi di dalam negeri selama era pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
Namun, kesepakatan tersebut justru dipandang skeptis oleh sebagian pihak. Faktanya, setelah pernah disepakati tahun 2017, korupsi masih saja merajalela. Masih saja ada “celah” untuk korupsi yang melibatkan pejabat dan para pengusaha.
Formalitas Belaka
Direktur Eksekutif Indonesia Political Review Ujang Komarudin menilai tindakan ini memang niatnya baik dalam bentuk pencegahan. Hanya saja, terkadang nota kesepahaman justru hanya dipahami, namun tidak dijalankan dengan naik.
“Saat ini memang MoU sudah banyak dilakukan oleh lembaga-lembaga lain. Misalnya, pemerintah daerah juga telah menandatangani MoU, namun korupsinya masih terus berjalan,” kata Ujang kepada Asumsi.co, Jumat (26/11/2021).
Perlu diingat pula, pejabat sebenarnya juga sudah disumpah jabatan untuk tidak melakukan tindakan korupsi. Faktanya korupsi masih saja tetap dilakukan, saat kesempatan masih terbuka.
Ujang menilai baik sumpah maupun MoU tidak berpengaruh bagi mereka. Padahal sumpah jabatan perlu diterapkan dan dilakukan sesuai amanah yang diberikan. Bahkan, di beberapa lembaga terdapat pakta integritas untuk tidak korupsi.
“Maksud saya, jangan hanya formalitas di atas materai, lalu seolah-olah tidak korupsi,” tegasnya.
Ujang khawatir kesepakatan ini hanya sekedar “Lip Service” KPK. Ia menilai apabila pengusaha tidak kongkalikong dengan pejabat, maka mereka tidak akan mendapatkan proyek untuk usahanya.
“Kalau murni-murni saja tidak ada yang untung dalam bisnis itu. Sehingga, jangan sampai MoU di atas meja, namun di bawah meja korupsi tetap jalan. Ini yang harus kita kawal bersama,” pungkas Ujang.
Fokus ke Fungsi Pengawasan
Ujang menilai tindakan penanganan KPK terkait kasus suap masih rendah. Menurutnya, KPK saat ini masih tebang pilih dalam penanganan kasus korupsi dan ini menjadi persoalan penting.
“Oleh karena itu, KPK harus melakukan evaluasi bersama dengan rakyat, akademisi, dan media. Sehingga, kinerja KPK masih jauh dari rata-rata maksimal,” katanya.
MoU memang diperlukan sebagai simbol fungsi pencegahan dalam kasus suap. Namun, Ujang mempertanyakan fungsi pengawasan yang seharusnya menjadi fokus utama bagi KPK. Faktanya, MoU tanpa pengawasan tidak akan berjalan mulus.
“Mohon maaf sebelumnya, saya menilai pejabat saat ini selalu mengusung kemunafikan. Mengingat mereka sudah disumpah jabatan, namun korupsi tetap jalan. Perlu perhatian bersama soal ini,” tegasnya.
Bukan Jaminan
Secara terpisah, Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan juga mengapresiasi kesepakatan ini sebagai bentuk awal KPK untuk kasus suap. Namun, Asep juga melihat dengan kesepakatan ini tidak menjamin kasus suap akan berakhir saat ini juga.
Pasalnya, Ia berpendapat komitmen tersebut harus dipegang teguh oleh seluruh aparat, pemerintah, dan dunia swasta. Asep juga mengatakan pemberantasan kasus suap yang dilakukan oleh KPK masih jauh dari kata maksimal.
Asep membandingkan kinerja KPK di bawah kepemimpinan yang lama dan kini di bawah kepemimpinan baru serta Undang-Undang KPK Nomor 19 Tahun 2019. Menurutnya, kinerja di bawah kepemimpinan yang lama justru jauh lebih efektif. Pasalnya dengan adanya UU KPK yang baru, justru efektivitas KPK terhalang dengan keruwetan prosedur.
“Kalau saya dengar dari praktiknya di lapangan, banyak orang-orang yang keluhkan pelayanan birokrasi, birokrasi juga mengeluh banyak pengusaha yang coba main belakang. Padahal realitanya seperti itu. Jadi dengan adanya UU KPK yang baru, soal penyadapan dan sebagainya jauh lebih sulit dan ada prosedur yang sedikit menghambat, justru jadi tidak efektif,” kata Asep kepada Asumsi.co, Jumat (25/11/2021).
Senada dengan Ujang sebelumnya, Asep mengkhawatirkan kesepakatan ini hanya sekadar “Lip Service” KPK. Asep berpendapat KPK seharusnya jangan hanya sekadar menyenangkan hati masyarakat, namun perlu memberikan bukti yang nyata.
Empat Faktor Yang Harus Dipegang KPK
Asep membeberkan empat faktor yang perlu dipegang oleh KPK dalam pemberantasan kasus suap. Pertama, pimpinan KPK harus tegas dan berkomitmen, jangan memberikan gambaran kesepakatan yang tidak serius.
Kedua, publik perlu mengontrol secara luas untuk meyakinkan KPK tidak main-main soal komitmen tersebut. Ketiga, untuk Presiden perlu tegas dan jelas tentang hal itu. Presiden harus mengatakan harus zero corruption. Sehingga, Presiden punya target apabila terjadi kasus serupa kembali harus langsung bawa ke jalur hukum yang setimpal.
Keempat, pengadilan juga perlu kerja sama dalam memberikan hukuman yang wajar dan adil. Mengingat, hukum di Indonesia terkait korupsi masih tidak adil dan kurang kuat.
Jika empat faktor ini bisa dipegang KPK, niscaya nota kesapahaman itu bukan sekadar kesepahaman hitam di atas putih semata. Namun yang terpenting adalah moral dari masing-masing pihak yang terlibat. Karena sebagus apa pun sistem yang ada kalau orangnya memang tidak bermoral, maka korupsi bakal terus terjadi dan terjadi.
Baca Juga: