Politik

Relawan Politik, Antara Sukarela dan Alat Politik

Irfan — Asumsi.co

featured image
ANTARA News Sumsel/Yudi Abdullah

Hampir satu dekade terakhir, kontestasi politik tidak hanya diramaikan oleh keberadaan kandidat, partai politik pengusung, atau tim kampanye. Riuhnya kini sering diisi pula oleh kehadiran kelompok sipil pendukung yang mengorganisir diri dalam bentuk relawan.

Fenomena kini, relawan politik malah muncul jauh sebelum kontes politiknya dimulai. Lihatlah menuju Pilpres 2024, relawan yang mengaku hadir untuk mendukung salah satu nama tertentu, atau bahkan sepaket dengan wakilnya sudah mulai bermunculan.

Beberapa di antaranya bahkan hadir dengan ide “nyeleneh”. Misalnya memasangkan Jokowi dengan Prabowo yang dalam konstitusi kita, sebetulnya sudah mensyaratkan masa jabatan Presiden hanya dua periode.

Juga ada relawan yang mendukung kepala daerahnya maju sebagai capres di tahun 2024, seperti Relawan Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES) yang mendukung Gubernur DKI Anies Baswedan, dan  Sobat Jarwo yang mendukung Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Nama-nama kandidat yang sebelum ini tidak banyak disinggung oleh lembaga survei pun kini naik lewat gaung para relawan. Yang terbaru, Relawan PCR alias Pendukung Cinta Republik yang mencalonkan Menko Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan sebagai calon presiden dan Menteri BUMN, Erick Thohir sebagai cawapres.

Entah murni atau tidak, yang jelas keberadaan relawan ini cukup terorganisir. Mulai dari pendeklarasian, hingga gerak kampanyenya.

Eksistensi Relawan Politik

Bambang Arianto dalam “Fenomena Relawan Politik dalam Kontestasi Presidensial 2014” yang terbit di Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 18, Nomor 2, November 2014 menyebut kehadiran relawan bukan karena daya tarik partai politik melainkan kepada politik nilai yang melampaui kepentingan partai.

Eksistensi relawan dalam kontestasi Presidensial 2014 yang saat itu mempertemukan pasangan Joko Widodo-Jusuf Kalla kontra Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dinilai imbas dari lemahnya peran partai politik sebagai rahim ideologis bagi calon pemimpin republik.

Mulanya, relawan lebih lekat pada tiga kelompok. Yakni mereka yang berasal dari mantan aktivis tahun 90-an, aktivis dari berbagai organisasi non-pemerintahan, dan seniman. Bambang menulis, fenomena baru demokrasi Indonesia ini dapat dikategorikan sebagai kebangkitan politik sipil yang menandai kembalinya partisipasi publik.

Terjerumus Politik Praktis

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen, Lucius Karus menyebut fenomena relawan memang lebih banyak muncul karena situasi partai politik yang cenderung elitis dan oligarkis serta pragmatis. Menurut dia, ketika gerbong besar partai hanya dikendalikan oleh segelintir orang bahkan seorang figur, dan figur atau segelintir elit itu selalu bekerja dalam relasi yang transaksional,  maka peluang bagi warga non partai untuk berpartisipasi menjadi sangat kecil atau bahkan tertutup.

“Karena itu mereka yang ingin berjuang tetapi tak mau terikat pada garis partai membentuk kelompok relawan yang dijadikan alat politik untuk mendukung capres dan cawapres yang berkontestasi,” kata Lucius.

Cara kerja relawan pada awalnya sesuai dengan namanya, yakni sukarela alias mendukung tanpa pamrih. Akan tetapi sebagai alat politik kelompok relawan ini pun semakin lama rentan bermetamorfosis menjadi seperti partai politik.

“Kelompok relawan menjadi alat bargaining untuk mendapatkan posisi. Dan karena itu semakin lama relawan menjadi semakin politis,” kata dia.

Inisiator relawan yang semula berasal dari kalangan aktivis atau pihak yang selama ini di luar lingkaran elit, kini justru menjadi elit baru. Ia menentukan garis perjuangan relawan dan umumnya elit ini punya kepentingan tertentu terkait posisi atau jabatan.

“Kecenderungan di atas tentu saja tak berlaku bagi semua, tetapi umumnya kelompok relawan nyaris terjerumus dalam permainan politik praktis untuk meraih kekuasaan juga,” ucap dia.

Daya Tawar

Anggota DPR RI Yanuar Prihatin menyebut relawan bisa menjadi daya tawar dan negosiator politik atas seorang kandidat kepada parpol. Menurutnya, setiap partai memiliki aturan sendiri dalam menetapkan calon presiden atau wakil presiden yang akan diusung.

Relawan dapat menjadi alat meningkatkan daya tawar seorang yang hendak mencalonkan diri di depan mata parpol.

“Dalam kaitan ini wajar saja kalau kandidat yang merasa punya peluang maju tetapi dari sudut formal politiknya ruangnya menyempit, kemudian membikin teknik cara metode untuk meng-up popularitasnya. Dalam kaitan ini posisi relawan menjadi sangat penting. Karena tidak mungkin diusung oleh parpolnya,” ujar dia.

Baca Juga:

Share: Relawan Politik, Antara Sukarela dan Alat Politik