Budaya Pop

“Autobiography”, Bukti Manusia Bisa Lebih Seram Daripada Setan

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Foto: KawanKawan Media/Autobiography

Usai berkeliling di berbagai festival film banyak negara, film “Autobiography” akhirnya pulang kampung ke negaranya, Indonesia. Selama berkeliling 29 festival, mulai dari Venice International Film Festival hingga Marrakech International Film Festival di tahun 2022, film ini telah mengantongi 18 penghargaan.

Emosional dan Gelap
Menyapa penonton di tanah air sejak 19 Januari 2023, “Autobiography” mendapatkan sambutan positif. Hal itu terlihat dengan terus bertambahnya bioskop dan layar yang memutar film ini dari yang awalnya hanya terbatas diputar di bioskop pilihan di berbagai kota Indonesia.

Secara penceritaan, “Autobiography” terasa simpel karena hanya fokus pada kehidupan seorang penjaga rumah yang juga menjadi asisten purnawirawan bernama Rakib (Kevin Ardilova) serta majikannya yang bernama Purna (Arswendy Bening Swara). Film ini diawali dengan diputarnya original soundtrack “Autobiography” berjudul “Ambilkan Bintang” yang dilantunkan oleh solois Sal Priadi.

Lewat lirik lagunya, mengambarkan garis besar cerita yang dibawakan di dalam film ini, yakni hubungan antara ayah dan anak yang terasa emosional dengan warna sinema yang gelap. Selepas lagu, penonton dibawa masuk ke awal cerita dengan latar waktu 2017.

Purna yang digambarkan memiliki pembawaan sifat dingin, namun karismatik pulang kampung ke Bojonegoro, Jawa Timur dan menempati kembali rumah yang selama ini dijaga Rakib karena ingin mencalonkan diri sebagai bupati di sana. Rakib kemudian mendapat tugas tambahan dari Purna untuk membantu mengawalnya selama proses pencalonan bupati.

Setiap hari, Rakib menemani bosnya itu melaksanakan sejumlah kegiatan sebagai calon kepala daerah di sana. Mulai dari kampanye, blusukan bertemu warga, memasang spanduk, hingga melobi orang-orang penting yang mampu mendulang suara Purna.

Rutinitas itu akhirnya menumbuhkan kepercayaan Purna terhadap Rakib. Begitu pula Rakib yang akhirnya merasakan empati dan kenyamanan selama berinteraksi dengan Purna. Ia seperti menemukan kembali sosok ayah yang selama ini hilang karena dipenjara akibat konflik lahan di daerah setempat. Purna bahkan menyempatkan diri melatih Rakib menembak agar menjadi kaki tangan andalan.

Hingga kejadian tak terduga memicu konflik batin, sekaligus merobohkan banyak pandangan positif Rakib terhadap Purna. Kejadian itu bermula saat spanduk kampanye milik Purna dirusak oleh orang. Rakib pun memutuskan melacak pelakunya. Tanpa bisa diantisipasi, pemuda itu mendapatkan perusakan spanduk ini memicu rantai kekerasan yang menguak sisi lain Purna yang memiliki “banyak wajah”, sebagai seorang politikus.

Pada akhirnya, peristiwa ini terpaksa menyeret Rakib ke dalam drama dan konflik yang semakin kompleks dan mencekam. “Autobiography” merupakan film panjang perdana besutan Makbul Mubarak sebagai sutradara sekaligus sebagai penulis naskah yang biasanya menggarap berbagai film pendek, berskala festival.

Isu Gap Generation dan Politik
Debut film panjang Makbul ini pun berhasil membawanya meraih penghargaan Penulis Skenario Asli Terbaik di Festival Film Indonesia 2022. Cara Makbul bertutur lewat “Autobiography” terasa sangat mengangkat sisi emosional, terdalam, hingga tergelap dari manusia. Seolah menjadi bukti bahwa manusia memang bisa lebih menyeramkan daripada setan. Seluruh aspek ini, ada di karakter Rakib dan Purna yang berlapis dan terasa manusiawi membawakan kisah hidupnya masing-masing.

Isu gap generation juga dimasukkan Makbul ke dalam cerita. Hal ini terlihat bagaimana generasi terdahulu yang diwakili Purna dan generasi masa kini yang dibawakan Rakib, saling bercermin satu sama lain. Inilah pesan yang ingin disampaikan Makbul dalam autobiografi. Yakni bagaimana setiap generasi mengisahkan diri masing-masing di tengah perkembangan zaman kekinian.

Nuansa politik yang mengandung unsur kekerasan pun tak luput dari bagian ceritanya. Bagi generasi milenial yang tumbuh besar di era 90-an tentu atmosfer ini terasa familiar bagi mereka. Sedangkan, bagi gen Z mampu menghadirkan teror tersendiri sambil membayangkan bila mereka merasakan hidup kembali pada masa berjayanya kepemimpinan otoriter di negeri ini.

Seram Tanpa Hantu
Makbul dalam wawancara di tayangan Sirkel Asumsi pun mengungkapkan kalau film ini juga terasa personal bagi dirinya sebagai kreatornya. Bahkan dirinya merasa sangat tidak berjarak membuat film dengan unsur politik di dalamnya. Sebab, menurutnya politik adalah hal yang dekat dengan dirinya dan masyarakat umum.

“Orang Indonesia sangat terbuka membicarakan politik. Film ini saya rasa menawarkan rasa mencekam yang sangat relate karena dia berlangsung dalam skala yang sangat personal. Tidak ada hantunya tapi seram,” katanya.

Meski secara alur dan drama yang dihadirkan “Autobiography” terasa sederhana namun membawakan ketakutan emosional bagi penontonnya, namun ada beberapa bagian yang alurnya terasa teralu lambat dan cepat. Untungnya, hal tersebut tak mengganggu kenikmatan dalam pengalaman menontonnya.

Dari segi akting, rasanya tak berlebihan untuk memuji performa aktor kawakan Arswendy Bening Swara yang melakonkan peran Purna, tak hanya sebagai seorang figur publik bekas petinggi militer dengan gimik dan gestur khasnya. Akan tetapi, juga saat Purna santai bercengkerama dengan keluarga melalui sambungan telepon.

Begitu pun Kevin Ardilova, meski masih terhitung sebagai aktor muda pendatang baru tetapi mampu mengimbangi kualitas akting tingkat tinggi Arswendy, dengan perannya sebagai Rakib yang lugu namun peka terhadap sekitarnya.

Satu kutipan berkesan yang melekat selama menulis ulasan ini, berasal dari salah satu dialog yang diucapkan Rakib. “Kata maaf bisa menjadi hadiah.” Sesuatu yang saat ini, sering lupa diucapkan ketika kita melakukan kesalahan, baik kepada orang lain atau diri sendiri. Padahal bisa menjadi hadiah bermakna bagi kehidupan, saat kita bisa menyampaikan dan menerima maaf.

Share: “Autobiography”, Bukti Manusia Bisa Lebih Seram Daripada Setan