Isu Terkini

Evaluasi Hukuman Mati di Indonesia

Ray Muhammad — Asumsi.co

featured image
Unsplash/Mex Keinen

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI berencana untuk mengevaluasi pidana hukuman mati di Indonesia yang dinilai menjadi kontroversi di negeri ini. Evaluasi pidana hukuman mati akan dilakukan secara perlahan.

Menyerap Aspirasi

Anggota Komisi III DPR RI, M. Nasir Djamil mengungkapkan, DPR senantiasa menyerap aspirasi dari masyarakat untuk menengahi kontroversi hukuman mati. Beberapa negara di dunia ini secara de facto memang ada yang sudah tidak memberlakukan lagi hukuman mati.

“Kami coba untuk mengompromi pro dan kontra ini (hukuman mati), dan tentu saja ini bagian dari transisi kami di samping juga mengevaluasinya,” katanya seperti dikutip dari Antara.

Nasir menyebut, konstitusi merupakan hak yang tidak bisa ditawar lagi. Maka, saat membahas rancangan atau perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menurutnya, pro dan kontra dengan hukuman mati ini menjadi sorotan publik.

“Ketika seseorang dibunuh, artinya sudah menghilangkan hak hidup seseorang. Padahal secara konstitusi mengatakan tidak boleh,” ucap politikus PKS ini.

Nasir Djamil berharap melalui kekuatan politik diterjemahkan oleh fraksi-fraksi, nantinya DPR mampu memutuskan jalan tengah sebagai upaya dalam mengevaluasi hukuman mati ini. Ia menambahkan, langkah evaluasi yang dilakukan terhadap hukuman ini, nantinya dmulai dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga vonis pengadilan yang selama ini sudah diterapkan.

Ia menyebut ada alternatif agar orang tidak dibunuh sebagai pengganti hukuman mati, misalnya mendapatkan maaf dari keluarga korban.

Peningkatan Vonis Mati

Data Amnesty International menyebutkan sepanjang tahun 2020 tercatat tidak ada satu pun narapidana yang dieksekusi mati. Meski demikian, ada peningkatan vonis mati sebanyak 46 persen di tahun 2020.

“Dari 117 vonis mati baru yang dijatuhkan, 101 di antaranya berkaitan dengan narkoba dan 16 lainnya berkaitan dengan pembunuhan,” demikian laporan Amnesty seperti dilansir dari DW.

Di akhir tahun 2020, setidaknya ada 482 orang narapidana yang terancam dengan jeratan ivonis mati. Persoalan hukuman mati di Indonesia, selama ini juga menjadi perhatian Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM).

Ketua Komnas HAM, Ahmad Taufan Damanik mengatakan efektivitas pemberian hukuman mati, khususnya kepada pelaku narkoba dan terorisme belum terbukti. Sementara argumen pihak-pihak yang mendukung penerapan hukuman mati, yakni untuk memberikan efek jera.

“Teroris malah bersyukur ada hukuman mati itu. Karenanya, memberikan hukuman mati kepada teroris itu tidak efektif,” katanya.

Didesak Dihapuskan

Ahmad menegaskan, pihaknya secara aktif mendorong agar hukuman mati dihapuskan dari sistem hukum Indonesia dengan mulai membatasi jenis kejahatan yang diancam pidana mati.

Senada, anggota Komnas HAM Sandrayati Moniaga mengatakan seharusnya Indonesia menghapus secara total pemberian hukuman mati. Pasalnya, hukuman ini dinilai tidak konstitusional mengacu Pasal 28 huruf a UUD 1945 yang menyebutkan hak hidup tidak dapat dikurangi dalam bentuk apa pun.

“Setiap warga memiliki hak mempertahankan hidup dan kehidupannya, kemudian pada huruf g disebutkan setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan.”

Komnas HAM menilai hukuman mati merupakan hukuman yang keji dan tidak manusiawi, bahkan tertera jelas dalam konferensi internasional antipenyiksaan serta hak sipil dan politik.

Terlebih, resolusi Komisi HAM PBB telah meminta adanya penghapusan hukuman mati dan negara yang masih menerapkan hukuman mati harus membuka moratorium. Indonesia tentu harus mengambil sikap sejalan, mengingat posisi Indonesia sebagai anggota dewan HAM PBB.

Sandrayati Moniaga mengatakan negara yang menerapkan hukuman mati semestinya juga harus memahami adanya pembatasan, seperti dikenakan kepada pelaku kejahatan paling serius.  Misalnya pembunuhan terencana dan sistematis, serta adanya jaminan pemeriksaan dan proses hukum yang adil.

Pada 2016 silam, sidang paripurna Komnas HAM memutuskan sikap lembaga Komnas HAM menolak hukuman mati. Komnas HAM, selama ini sudah bekerjasama dengan sejumlah lembaga seperti Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Ombudsman RI, dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK) untuk mendesak penghapusan penyiksaan dan perbuatan merendahkan martabat manusia di Indonesia, dengan fokus pada tahanan.

Konteks Kolonialisme

Hukuman mati yang diterapkan di Indonesia turut menjadi sorotan akademisi. Dekan Fakultas Hukum Universitas Katolik Atma Jaya, Asmin Fransiska mengatakan penghapusan hukuman ini sebagai bagian dari gerakan dekolonialisasi di Indonesia.

Hukuman mati sendiri sudah diterapkan saat era kolonial Belanda. Adapun, hukum kekinian yang ada di Indonesia merupakan hukum warisan dari penjajahan kolonial Belanda yang penuh dengan isu rasisme, diskriminasi, dan perbedaan kelas.

“Hukuman tersebut adalah bagian dari kebijakan pihak Belanda untuk menekan prinsip kebebasan dan keadilan saat menjajah Indonesia. Perlu gerakan bersama untuk menghapus semua warisan konsep penjajahan,” tuturnya.

Asmin mengharapkan, kelak tidak hanya pengaruh kolonialisme Belanda yang dihapuskan dari sistem hukum Indonesia, melainkan konsep yang terbangun dari ketidaksetaraan.

“Baik di tengah masyarakat maupun birokrasi Indonesia. Konteks kolonialisme dalam sistem hukum di Indonesia perlu dibongkar kembali, terutama di bidang hukum pidana,” tandasnay.

Ia menilai, saat hukum pidana telah dibebaskan dari pengaruh kolonialisme, maka kebijakan penghukuman di Indonesia akan lebih proporsional.

Kasus Korupsi

Di sisi lain, Jaksa Agung, Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Leonard Simanjutak menyebut sejumlah kasus yang berpeluang diterapkannhukuman mati.

Contoh kasusnya seperti perkara korupsi Asabri dan Jiwasraya. Sebab, keduanya dikategorikan sebagai kasus megakorupsi yang tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tetapi juga berdampak luas kepada masyarakat maupun prajurit.

Diketahui, kasus korupsi PT Jiwasraya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun, sedangkan korupsi PT Asabri (Persero) lebih besar lagi yakni Rp22,78 triliun.

“Ini menyangkut hak-hak orang banyak dan hak-hak pegawai dalam jaminan sosial, demikian pula perkara korupsi di Asabri terkait hak-hak seluruh prajurit di mana ada harapan besar untuk masa pensiun dan untuk masa depan keluarga mereka di hari tua,” terangnya.

Sikap KPK

Menyikapi hal ini, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Nurul Ghufron pun angkat bicara soal penerapan hukuman mati di Indonesia yang terus menjadi polemik. Ia mengatakan penerapan hukuman mati bagi seorang terpidana koruptor hanya diberlakukan untuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, dalam kondisi tertentu.

Adapun yang dimaksud kondisi tertentu, menurut Nurul seperti korupsi anggaran bencana alam, wabah corona, hingga kondisi negara dalam keadaan krisis. Berdasarkan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 bahwa penerapan hukuman mati untuk tindak pidana korupsi yang terjadi sebagaimana Pasal 2 ayat (2).

Pasal ini mengatur tentang tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara dalam kondisi-kondisi tertentu, seperti saat kondisi krisis atau bencana alam maupun kondisi seperti pandemi COVID-19.

“Tidak ada limit untuk nilai anggaran yang dikorupsi untuk pelanggaran seperti ini, terpenting ada kerugian negara yang sesuai ketentuan Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor, yaitu terjadi pada kondisi tertentu,” tegasnya.

Baca Juga:

Hukuman Mati Bagi Koruptor Dinilai Dapat Ganggu Psikis

MAKI Tantang Jaksa Agung Buktikan Tuntut Koruptor Hukuman Mati

Riset: Edukasi Soal Hukuman Mati di Indonesia Masih Rendah

Share: Evaluasi Hukuman Mati di Indonesia