Pengamat Transportasi Unika Soegijapranata, Djoko Setijowarno menilai bahwa kebijakan Jalan Berbayar Elektronik (elektronic road pricing/ERP) di Jakarta hanya berani diterapkan oleh gubernur yang tak menomor satukan popularitas.
Pasalnya rencana ini kerap miskin dukungan publik karena dianggap membebani masyarakat. EPR di Ibu Kota sudah diwacanakan sejak era Gubernur Sutiyoso dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 103 Tahun 2007 tentang Pola Transportasi Makro. Namun hingga kini, pemerintah provinsi belum mengambil langkah konkret guna menerapkan kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi kemacetan di Ibu Kota itu.
“ERP adalah kebijakan yang sangat tidak populer, mungkin hanya yang peduli transportasi dan lingkungan saja yang setuju selebihnya akan menolak, sehingga hanya Gubernur yang tidak peduli pada popularitas saja yang berani melaksanakannya, atau kalau nanti ada undang-undang yang mewajibkan Gubernur untuk melaksanakan itu,” kata Djoko Setijowarno kepada Asumsi.co, Rabu (18/1/2023).
Menurut Djoko penolakan terhadap ERP dengan dalih memfokuskan penataan moda transportasi umum, merupakan alasan klise. Dia melihat bahwa fasilitas angkutan umum di Jakarta sudah layak.
Menurut dia pangkalnya bukan pada perbaikan angkutan umum, melainkan bagaimana memaksa pengguna kendaraan pribadi beralih ke moda transportasi massal. Sebab di melihat angkutan umum di Ibu Kota sudah mumpuni, namun tetap saja masih banyak masyarakat yang lebih memilih menggunakan kendaraan pribadi.
“Perbaiki dulu angkutan umumnya sebelum berpikir soal ERP, ini sanggahan orang yang menolak ERP Jakarta. Sebaik apa pun angkutan umumnya, sebutlah misalnya MRT sudah terbangun di seluruh sudut Jakarta, tetap saja tidak akan bisa mengalahkan nyamannya menggunakan mobil. Karena menggunakan mobil ada fleksibilitas, privacy, gengsi, status sosial, door to door, dan lain-lain. Dengan ERP masyarakat dipaksa rasional dalam memilih moda angkutan umum,” katanya.
Menurut Djoko, menunjangnya angkutan umum di DKI bukan hanya klaim semata. G Menon, yang membidani kelahiran road pricing di Singapura, juga memiliki pandangan semisal.
Dalam penerapannya, ERP tidak harus dilakukan secara serentak di sejumlah jalan, namun cukup dilakukan di satu ruas jalan demi uji coba. Selanjutnya diterapkan di ruas-ruas jalan yang sudah ditetapkan sebagai ruas ERP.
Pengentasan masalah kemacetan Ibu Kota juga mesti dibarengi dengan kebijakan lain, seperti menerapkan strategi penerapan tarif parkir yang progresif di pusat kota, serta pajak kendaraan progresif.
Namun begitu, Djoko mengakui bahwa penerapan ERP masih menghadapi tantangan berkenaan dengan nasib warga yang bermukim di daerah penyangga Jakarta (Bodetabek). Sebab daerah-daerah itu belum memiliki jaringan angkutan umum dari kawasan perumahannya.
Djoko memandang bahwa layanan transportasi umum di Bodetabek masih sangat buruk. Hampir 99 persen lebih perumahan di Bodetabek tidak terlayani transportasi umum. Sedangkan layanan transportasi umum di Jakarta sudah menjangkau 92 persen wilayahnya. Hingga jalan-jalan kecil di perkampungan Kota Jakarta sudah ada layanan angkot Jaklingko.
Sinergi pemerintah pusat dan pemerintah daerah menurut Djoko dapat dilakukan untuk mempercepat penerapan Jalan Berbayar Elektronik ini. Efisiensi Public Service Obligation (PSO) KRL Jabodetabek dengan beberapa skenario yang dilakukan Direktorat Jenderal Perkeretaapian diperoleh sekitar 208 miliar sampai 475 miliar.
Anggaran hasil efisiensi PSO ini dapat digunakan untuk membenahi transportasi umum di Bodetabek, sehingga warga Bodetabek yang bekerja di Jakarta tidak merasa dizalimi. Hal ini dilakukan dalam upaya untuk terus mendorong migrasi penggunaan kendaraan pribadi ke kendaraan umum.
“Sediakan dulu angkutan umum di Bodetabek seperti Trans Pakuan di Bogor atau Tayo di Tangerang (untuk menyelesaikan first mile, last mile dan konektivitas). Sebaiknya tahun depan (2024) mulai dioperasikan ERP ini dan telah LRT Jabodebek beroperasi tahun ini (dapat menambah kapasitas angkutan umum) dan masih ada sisa waktu untuk sosialisasi ke warga,” katanya.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tengah menggodok rencana penerapan ERP di sejumlah ruas jalan Ibu Kota. Penerapan sistem jalan berbayar ini dimaksudkan untuk menekan angka penggunaan kendaraan pribadi yang mengaspal di DKI.
Rencananya seluruh jenis kendaraan selain yang kecualikan, seperti sepeda listrik, kendaraan bermotor umum pelat kuning, kendaraan dinas operasional instansi pemerintah, TNI/Polri, akan dikenakan biaya Rp5 ribu sampai Rp19 ribu ketika memasuki ruas jalan ERP.
Kepala Dinas Perhubungan DKI Syafrin Liputo mengatakan bahwa di luar kendaraan-kendaraan itu, maka akan tetap dikenakan ERP. Tak terkecuali bagi kendaraan roda dua, termasuk para pengemudi ojek daring.
“Usulan kami termasuk di dalamnya usulan roda dua (dikenakan bayaran)” ujar Syafrin ketika dikonfirmasi Asumsi.co, Rabu (18/1/2023).
Hal ini menuai penentangan dari para pengemudi ojek daring. Mereka khawatir bahwa biaya ERP yang harus dibayarkan akan membebani para pengemudi.
“Kami tidak setuju apabila ojek online (daring) itu dikenakan biaya apabila melintas di rute-rute ERP,” ujar Ketua Umum Garda Indonesia (asosiasi pengemudi ojek daring) Igun Wicaksono kepada Asumsi.co, Rabu (18/1/2023).
Igun berasalan, kendati kendaraan ojek daring belum berpelat kuning layaknya angkutan umum, namun menurutnya kendaraan mereka sudah banyak dipakai masyarakat sebagai alat transportasi di Ibu Kota. Igun meminta Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mempertimbangkan hal itu.
Igun sebetulnya tidak masalah dengan penerapan ERP, asalkan para pengemudi ojek daring mendapat pengecualian sebagai kendaraan yang tidak dikenakan biaya.
Baca Juga:
Ribut-ribut Jalan Berbayar di Jakarta
2023 DKI Bakal Berlakukan Jalan Berbayar dengan Tarif Maksimal Rp19.900