Dalam beberapa pekan terakhir,
institusi Kepolisian banyak dikritisi oleh publik. Pemberitaan tentang polisi
yang tidak profesional bahkan diduga melakukan tindak kriminal memenuhi
ruang-ruang pemberitaan media hampir setiap hari.
Polisi yang mengabaikan
laporan dari korban serangan dan penyiksaan seksual misalnya membuat geram
publik. Lantas muncul tagar #PercumaLaporPolisi yang seolah menyiratkan menurunnya
kepercayaan publik pada institusi cokelat itu.
Belum kelar soal ini, muncul
video pemukulan sipil oleh seorang anggota Polisi di Sumatera Utara dan
pembantingan oleh anggota lainnya kepada mahasiswa kala mengamankan sebuah aksi
demo di Tangerang. Lalu tindakan tidak profesional lain dipertontonkan di
sebuah TV swasta yang cenderung menunjukkan arogansi Korps Bhayangkara itu.
Citra yang sedang buruk ini
lantas ditembak lagi dengan aksi pemaksaan hubungan seksual oleh seorang
Kapolsek di Sulawesi. Ia mengiming-imingi korban sebuah kebebasan ayahnya asal
mau berhubungan seksual dengannya.
Polri bertindak cepat
Menanggapi rentetan kejadian
yang mencoreng kesatuan ini, Polri memang bertindak cepat. Pelaku kekerasan
misalnya langsung dicopot. Sementara Polisi yang melakukan tindak tidak
profesional di TV dipindah.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit
Prabowo pun kemudian bereaksi. Ia menerbitkan surat telegram yang ditujukan
kepada seluruh Kapolda di Indonesia agar jajarannya untuk memastikan penanganannya
kasus kekerasan berlebihan terhadap masyarakat dilaksanakan secara prosedural,
transparan dan berkeadilan.
Namun, sudah cukupkah langkah
Polri untuk memperbaiki citranya yang kadung buruk?
Advokat Publik Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Jakarta, Nelson Nikodemus Simamora menyebut persoalan yang terjadi pada
Polri bukan hanya diselesaikan dengan memberi sanksi kepada personel yang
melanggar. Menurutnya, lebih dari itu, polisi dan seluruh aparat
pemerintah harus menghentikan pengkambing hitaman ‘oknum’ dalam setiap
kasus-kasus pelanggaran hukum oleh anggota kepolisian.
“Apalagi kasus yang
disorot publik. Dalam pelanggaran oleh ‘oknum’ itu ada kegagalan Polri secara
kelembagaan,” kata Nelson kepada Asumsi.co.
Menurut dia, Polri secara
lembaga telah gagal dalam mendidik, menjamin, dan mengawasi anggotanya
bertindak sesuai dengan hukum. Mendidik di sini tentu dalam artian luas. Bukan
cuma saat masuk Kepolisian baik di Pendidikan Akpol maupun Sekolah Polisi
Negara, tetapi juga selama seorang anggota menjadi anggota Polisi.
“Termasuk dalam
keseharian melalui atasan-atasan. Ini saya sebut kegagalan dalam mendidik
karena buktinya pelanggaran terus berulang dari waktu ke waktu. Artinya ini
masalah struktural, sistematis dan melembaga,” ucap dia.
Nelson meminta pemeriksaan dan
saksi juga jangan hanya diterapkan kepada anggota Kepolisian yang sudah viral.
Menurut dia, selama ini kalau tidak viral maka tidak akan ada tindakan konkret
dari Polri. Padahal pelanggaran yang tidak viral ada banyak sekali dan
masyarakat enggan melapor karena takut.
Oleh karena itu Kepolisian
harus terbuka terhadap pengaduan masyarakat. Setiap laporan harus
ditindaklanjuti, diberitahukan perkembangan pengaduannya secara transparan,
baik pelanggaran pidana maupun etik.
“Jangan juga
ditolak-tolak kalau masyarakat mengadu. Apalagi dikriminalisasi balik,”
kata Nelson.
Selain itu, harus ada
pengawasan rutin terhadap anggota dan harus ada perbaikan dalam proses
rekrutmen anggota Kepolisian. Menurutnya, masyarakat sering mengeluh ada
suap-menyuap dalam proses rekrutmen perwira, bintara, dan seterusnya.
“Itu jadi penyebab juga
banyak pelanggaran, karena yang tidak kompeten malah diterima. Yang kompeten
malah jadi tidak diterima karena suap-menyuap,” ucap dia.
Pembinaan dan pengawasan
Komisioner Kompolnas, Poengky
Indarti menyebut pada dasarnya Polisi tunduk pada tiga sanksi. yakni pidana,
kode etik, dan disiplin. Namun demikian, perlu pembinaan dan pengawasan dari
pimpinan agar anggota dapat melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya.
“Pimpinan perlu
memberikan contoh yang baik agar dapat menjadi teladan anggota. Tetapi jika ada
anggota yang melanggar, maka harus ada punishment tegas. Sebaliknya,
jika ada prestasi, harus ada reward,” kata Poengky.
Poengky tak menampik selama
ini ada juga Polisi pelanggar yang disanksi tegas. Meski tak dipungkiri juga
masih ada saja yang belum memenuhi rasa keadilan.
“Misalnya seharusnya
diproses pidana, tetapi hanya diproses etik. Makanya contoh baik dari pimpinan,
bimbingan dan pengawasan pimpinan, serta reward dan punishment
tegas ini mesti jadi acuan,” kata dia.
Baca Juga: