Keberatan akan suara azan lewat pengeras suara masjid Indonesia kembali mencuat usai salah satu media asing membuat laporan soal hal tersebut.
Saat kantor berita AFP menayangkan berita itu dengan judul Piety or Noise Nuisance, aturan pengeras suara masjid kembali disorot.
Aturan Kemenag
Aturan azan dengan pengeras suara ini tertuang dalam Instruksi Dirjen Bimbangan Masyarakat Islam, Kementerian Agama Indonesia bernomor KEP/D/101/1978.
Diatur bagaimana pengeras suara digunakan untuk mengingatkan umat Islam untuk salat lima waktu tanpa mengganggu warga yang menganut agama lain.
Dalam surat itu dijelaskan bahwa pengeras suara luar hanya digunakan untuk azan sebagai penanda waktu salat.
Diatur pula tentang perlunya suara yang merdu dan fasih untuk orang yang mengumandangkan azan.
Waktunya juga tidak bisa sembarangan. Untuk azan subuh misalnya, pengeras suara boleh dipakai 15 menit sebelum azan dikumandangkan.
Itu pun dibatasi hanya untuk azan dan pembacaan Alquran sebelum azan dengan maksud membangunkan Muslim yang masih tidur.
Kegiatan setelah itu hanya diimbau menggunakan speaker dalam.
Toleransi
Keluhan tentang suara azan yang mengganggu kerap kali mencuat.
Tengah tahun lalu, keberatan atas suara dari speaker masjid sempat menghebohkan Tangerang. Si pemrotes yang minta volume speaker dikecilkan lantas berhadapan dengan warga yang merasa agamanya dilecehkan.
Warga yang memprotes lalu minta maaf usai digeruduk masyarakat.
Manajer Program Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk), Thowik mengatakan bahwa ekspresi keyakinan atau keagamaan itu bebas dan tidak boleh dilarang.
Namun ketika ekspresi ini mengganggu keyakinan atau kelompok lain, maka sudah sepatutnya ada saling pengertian.
“Jadi kalau kami sih melihatnya baik azan atau ekspresi keyakinan untuk agama apapun enggak perlu ada pembatasan. Yang penting tahu kepatutan,” ucap Thowik kepada Asumsi.co.
Dalam kehidupan yang plural, toleransi antar-umat beragama menjadi penting untuk menghindari terjadinya konflik.
Terkait suara pengeras suara masjid yang dinilai mengganggu, seharusnya bisa dibicarakan dengan baik di lingkungan masyarakat.
“Ketika muncul ketegangan akibat suara azan, dari warga lainnya, cukup direspons secara dewasa, bukan dengan kemarahan apalagi kekerasan. Didialogkan saja,” ucap dia.
Peran Kemenag
Thowik mengamini kasus tentang keluhan suara azan merupakan hal yang sensitif. Kalangan tertentu mudah terpancing emosinya ketika ada orang yang memprotes suara azan dari masjid.
Bahkan pernah pula diikuti dengan kekerasan terhadap warga yang memprotes.
Mengenai hal itu, Thowik menilai Kementerian Agama perlu menggencarkan edukasi tentang batasan penggunaan pengeras suara masjid.
Kemenag juga perlu memberikan edukasi tentang pentingnya toleransi antarumat beragama mengingat Indonesia terdiri dari warga dengan beragam keyakinan.
“Kalau tidak begitu akan terus berulang. Mengedukasi agar hal-hal yang sudah faktual direspons dengan dewasa,” ucap dia.
Baca juga:
Kerajaan Arab Saudi Tegaskan Pembatasan Penggunaan Speaker Masjid
Kronologi Masjid Ahmadiyah Diserbu Warga di Kalbar
Pembakar Mimbar Masjid Makassar Ditangkap, Terancam Penjara 15 Tahun