Kesehatan

Seks Usia Dini Tingkatkan Risiko Kanker Serviks

Admin — Asumsi.co

featured image
Baca Juga Benarkah Ada Perang Bintang di Tubuh Polri? Polisi Tangkap Pembunuh Mahasiswa Unpad Gerindra Tak Mau Jemawa Prabowo dapat Sinyal Dukungan dari Jokowi https://asumsi.co/post/73835/benarkah-ada-perang-bintang-di-tubuh-polri/ https://asumsi.co/post/73832/polisi-tangkap-pembunuh-mahasiswa-unpad/ https://asumsi.co/post/73830/gerindra-tak-mau-jemawa-prabowo-dapat-sinyal-dukungan-dari-jokowi/ Ilustrasi kanker serviks. (ANTARA/Pexels)

Risiko terkena kanker serviks atau kanker leher rahim bisa dikurangi dengan tidak berhubungan seks saat usia dini, kata spesialis penyakit dalam dari Universitas Indonesia dr. Nadia Ayu Mulansari, Sp.PD-KHOM.

“Setiap kanker punya faktor risiko tersendiri, hindari multiple partner dan tidak berhubungan seks sejak usia dini,” kata Nadia seperti dilansir Antara.

Selain tidak bergonta-ganti pasangan dan aktif secara seksual setelah dewasa, vaksinasi human papillomavirus (HPV) yang jadi vaksin wajib dalam program imunisasi nasional juga penting untuk diberikan.

Vaksin HPV ini diberikan kepada siswi kelas 5 dan 6 SD dan diberikan sebanyak dua kali.

Vaksin ini bisa diberikan mulai pada anak perempuan sampai wanita berusia 10-45 tahun yang belum aktif berhubungan seksual. Sementara itu, untuk perempuan yang telah aktif berhubungan seksual, vaksin HPV bisa disuntikkan bila individu belum terinfeksi HPV dan tidak menderita kanker serviks sebelum mendapat vaksin.

Kanker serviks paling sering didiagnosis pada perempuan berusia antara 35 dan 44 tahun dengan usia rata-rata saat didiagnosis adalah 50 tahun. Lebih dari 20 persen kasus kanker serviks ditemukan pada perempuan di atas 65 tahun.

Kanker serviks lebih tinggi tingkat mortalitasnya dibandingkan kanker payudara, terutama karena tingkat skrining yang rendah sehingga kanker serviks ditemukan sudah pada stadium lanjut.

“Karena payudara di permukaan, lebih mudah diraba (ketika ada benjolan),” jelas dia.

Di sisi lain, kanker serviks sulit terdeteksi bila tidak ada pemeriksaan rutin. Umumnya, kanker leher rahim baru terdeteksi setelah stadium lanjut di mana gejala seperti perdarahan setelah berhubungan seksual muncul.

Pemeriksaan pap smear bisa dilakukan lima tahun sekali, kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan HPV. Opsi lainnya adalah pap smear setiap tiga tahun sekali tanpa pemeriksaan HPV.

Hampir semua kanker serviks disebabkan oleh infeksi jenis human papillomavirus (HPV) risiko tinggi tertentu. HPV dapat ditularkan jika terjadi kontak kulit-ke-kulit di area genital. Kanker serviks dapat diobati dengan beberapa cara, tergantung pada jenis kanker serviks dan seberapa jauh penyebarannya, dengan cara operasi, kemoterapi, terapi radiasi maupun imunoterapi.

Meski sudah diobati, kanker serviks dapat kambuh lagi atau bermetastasis. Kekambuhan kanker serviks dapat berkembang setelah selesainya pengobatan awal.

Tujuan pengobatan adalah untuk menghilangkan semua kanker, tetapi terkadang sel kanker tidak terdeteksi, atau sel kanker baru berkembang.

“Akibatnya, kanker berpotensi kembali ke leher rahim atau daerah sekitarnya, atau ke bagian tubuh lainnya, sehingga harus dipantau secara berkala,” kata Nadia.

Jika kekambuhan kanker serviks terdeteksi, pengobatan yang direkomendasikan biasanya ditentukan berdasarkan kombinasi beberapa faktor, termasuk pengobatan awal pasien, lokasi kekambuhan, dan kesehatan pasien secara keseluruhan.

Adapun untuk pengobatan sistemik terkini, imunoterapi, telah memberikan pilihan baru untuk merawat pasien kanker serviks yang mengalami kekambuhan dan metastasis.

“Imunoterapi telah secara khusus menunjukkan aktivitas luas pada kanker serviks, dan memberikan harapan lebih lanjut untuk pilihan pengobatan baru dengan kemanjuran yang lebih besar dan profil keamanan yang dapat dikelola,” ujar Nadia.

Mulai tahun ini, imunoterapi bagi pengobatan kanker serviks telah tersedia di Indonesia, khususnya bagi pasien yang didiagnosis dengan kanker serviks stadium lanjut.

Baca Juga

Share: Seks Usia Dini Tingkatkan Risiko Kanker Serviks