Penetapan tanggal Pemilihan
 Umum dan Pemilihan Kepala Daerah 2024 belum menunjukkan titik temu. Pemerintah
 melalui Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian sempat mencanangkan tanggal
 pemungutan suara Pemilu di sekitar April-Mei 2024. Kini mengerucut ke tanggal
 15 Mei 2024.
Sementara Komisi Pemilihan
 Umum telah punya jadwal sendiri yakni 21 Februari 2021. Pembahasan pun tak
 kunjung berjalan lancar karena dalam beberapa rapat di DPR, Tito berhalangan
 hadir.
Partai di Senayan pun
 terbelah. NasDem, Golkar, dan Gerindra misalnya, satu suara dengan pemerintah.
 Sementara di kubu KPU ada PDI Perjuangan sampai PKS.
Persoalan teknis
Membaca polemik soal tanggal
 pemungutan suara ini, pengamat politik dari Universitas Jenderal Ahmad Yani
 Arlan Siddha menyebut memang wajar jika polemik ini menuai tanda tanya dari
 masyarakat. Kendati demikian, Arlan sampai saat ini baru melihatnya sebagai
 permasalahan teknis.
“Terkait polemik tanggal
 ini saya kira mengukur beberapa kendala yang akan terjadi. Utamanya stabilitas
 politik. Ini yang akan jadi pertimbangan mendasar,” kata Arlan kepada
 Asumsi.
Menurut dia, jika Pemilu
 digelar sesuai dengan usulan KPU, yakni Februari 2024 maka rangkaian persiapan
 dan tahapannya harus sudah mulai sejak awal tahun depan. Untuk mencapainya,
 tentu perlu pertimbangan kesiapan pemerintah.
“Utamanya kondisi politik
 ya,” kata dia.
Namun Arlan menilai,
 pelaksanaan pemungutan suara di Februari cukup logis. Ia khawatir, jika
 pelaksanaannya mundur ke Mei 2024 sebagaimana usulan pemerintah maka akan
 terlalu dekat dengan penyelenggaraan Pilkada yang akan digelar pada November
 2024.
“Kekhawatiran ini menurut
 saya logis. Karena proses akhir pada Pemilu di Indonesia selalu menyisakan
 sengketa. Kalau begitu, di waktu yang sedikit (dari Mei ke November) ini bisa
 mengganggu konsentrasi Pilkada. Apalagi pada Pilkada nanti kita harus tahu
 raihan kursi dalam Parlemen untuk bisa maju,” ucap dia.
Keuntungan penyelenggaraan
 Pemilu di Bulan Mei, kata Arlan hanya terlihat pada leluasanya penyelenggara
 mempersiapkan tahapan saja. Menurutnya, jika Pemilu digelar di bulan Mei,
 tahapan tak perlu dilakukan sejak awal tahun 2022, tetapi bisa mundur bahkan
 sampai ke tengah tahun.
Selain alasan itu, ia tak
 melihat penyelenggaraan Pemilu di bulan Mei akan menguntungkan satu pihak
 tertentu.
“Saya pikir kansnya sama.
 Tidak ada yang diuntungkan. Dari segi persiapan juga akan sama. Ini sepertinya
 persoalan teknis dan pertimbangan,” kata dia.
Arlan pun berharap segera ada
 titik temu mengenai polemik tanggal ini. “Karena bagaimana pun hajat
 demokrasi ini harus ada kata sepakat dalam tanggal. Jangan sampai ada pihak
 yang dirugikan. Pertimbangan utama jangan sampai mepet pada gelaran Pilkada
 yang justru mengarah pada kegaduhan politik,” ucap Arlan.
Pengaruhi beban penyelenggara
Terpisah, peneliti Perludem,
 Fadli Rahmadanil mengatakan, perubahan jadwal pemungutan suara ke bulan Mei
 2024 sangat berpotensi mempengaruhi bobot tugas penyelenggara tahapan.
Menurut dia, kalau
 dilaksanakan pada bulan Mei maka selain sedang merekapitulasi raihan suara
 Pemilu, penyelenggara Pilkada juga sudah mulai disibukkan dengan verifikasi
 dukungan untuk calon perseorangan. Ini tentunya akan sangat menguras energi
 petugas di lapangan.
“Jadi implikasinya akan
 terasa pada manajemen tahapan keseluruhan,” kata Fadli.
Ia pun mengusulkan kalau
 memang pemerintah bersikeras menyelenggarakan pemungutan suara pada Mei 2024
 maka mestinya penyelenggaraan Pilkada dimajukan saja ke tahun 2023. Ini akan
 menjawab dua hal: Meringankan beban kerja penyelenggara tahapan sekaligus
 membuat masa jabatan Penjabat Kepala Daerah tidak terlalu lama.
“Sudah saja, daerah yang
 masa jabatan kepala daerahnya habis pada 2022-2023 menggelar Pilkada pada tahun
 2023. Ini akan memangkas juga lamanya masa jabatan PJ Kepala Daerah. Di UU kan
 diamanatkan dua tahun. Kalau Pilkada dilaksanakan November saja, sudah banyak
 PJ Kepala Daerah yang bertugas lebih dari dua tahun. Itu enggak boleh,”
 ucap dia.
Sementara dari segi keuntungan
 elektoral, Fadli berpendapat senada dengan Arlan. Menurutnya secara kalkulasi
 politik semua partai tidak ada yang bisa mendulang keuntungan dari polemik ini.