Merk minuman kekinian, Esteh Indonesia sempat membuat geger lantaran menyomasi salah satu pelanggannya.
Perusahaan yang didirikan Haidhar Wurjanto pada 2018 itu meradang akibat kritik pelanggan yang menuding varian minuman dari perusahaan itu menggunakan gula secara berlebihan. Setelah menjadi perbincangan warganet, Es Teh Indonesia akhirnya mencabut somasi.
Namun, perbincangan mengenai kandungan gula dalam makanan dan minuman kadung mengemuka.
Salah satu hal yang mendapat perhatian warganet yakni soal data kandungan gula dalam minuman kekinian. Mereka mempertanyakan bagaimana cara mengetahui kandungan gula dari sebuah minuman bila data tersebut tak ada di kemasan.
Lalu bagaimana sebenarnya aturan tersebut semestinya diterapkan? Apakah kandungan gula wajib tercantum di kemasan?
Pengaturan mengenai kandungan gula dalam makanan siap saji diatur dalam Permenkes Nomor 30 tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak Serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji.
Aturan tersebut mensyaratkan agar makanan siap saji mencantumkan kandungan gula dalam produk mereka. Namun, dalam Pasal 5 ayat 1 aturan tersebut dijelaskan bahwa pencantuman kandungan gula dalam makanan siap saji diletakan pada media informasi maupun promosi, bukan pada kemasan produk itu sendiri.
“Setiap orang yang memproduksi Pangan Siap Saji yang mengandung Gula, Garam, dan/atau Lemak wajib memberikan informasi kandungan Gula, Garam, dan Lemak, serta pesan kesehatan melalui Media Informasi dan Promosi,” demikian bunyi ketentuan tersebut.
Adapun penjelasan mengenai “Media Informasi dan Promosi” tertuang dalam ayat ketiga pasal yang sama. Di mana yang dimaksud media informasi dan promosi adalah berupa leaflet, brosur, buku menu, atau media lainnya.
Lantas apakah gula selalu berdampak jahat pada tubuh manusia? jawabannya tidak. Gula merupakan salah satu zat yang dibutuhkan tubuh manusia. Namun, berlebihan mengkonsumsi gula juga bisa memicu timbulnya sejumlah penyakit.
Diabetes mellitus menjadi penyakit yang tak terlepas dari pola konsumsi gula kebanyakan. Penyakit yang mendapat predikat “mother of of diseases” itu menjadi awal dari segala serangan penyakit lain ke tubuh penderitanya.
Dokter Spesialis Penyakit Dalam, dr. Tengku Bahdar Johan, Sp.PD menjelaskan penderita diabetes bisa terkena penyakit serius lain. Misalnya, jantung, jantung koroner, gagal ginjal, penyakit arteri, syaraf, kebutaan pada mata bahkan sampai infeksi jamur pada kulit.
“Karena dia (gula) itukan toksik yang ke pembuluh darah jadi glucotoxicity jadi dia menyebabkan kerusakan pada lapisan luar terluar dari pembuluh darah… Kalau ke syarafnya juga merusak,” jelas Tengku Bahdar kepada Asumsi.co beberapa waktu lalu.
Tipe diabetes
Penyakit diabetes sendiri terbagi menjadi empat golongan, pertama tipe I, kemudian tipe II, dan terakhir diabetes tipe III. Diabetes tipe pertama merupakan salah satu jenis penyakit autoimun kronis terjadi ketika tubuh kurang atau sama sekali tidak dapat menghasilkan hormon insulin. Diabetes tipe ini cenderung terdeteksi ketika masih berusia anak-anak.
Kemudian diabetes tipe kedua merupakan jenis yang lebih umum terjadi. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat atau CDC AS memperkirakan sekitar 95 persen kasus kencing manis adalah diabetes tipe 2.
Tengku Bahdar menerangkan, diabetes kedua dapat menyerang siapa saja pada semua kalangan usia. Utamanya mereka yang melakukan gaya hidup yang tidak sehat, seperti kurang gerak dan kelebihan berat badan akibat timbunan lemak dari gula.
Selanjutnya adalah tipe ketiga, diabetes tipe ini disebabkan karena minimnya suplai insulin ke dalam otak. Padahal otak sangat bergantung pada insulin untuk menyerap glukosa atau gula dalam darah.
Ketika otak tidak memiliki cukup insulin, maka asupan glukosa ke otak akan berkurang. Padahal glukosa dengan oksigen merupakan makanan bagi otak.
Jika kondisi ini berlangsung lama, maka akibatnya distribusi glukosa menuju otak tidak merata dan sel otak yang tidak mendapatkan glukosa akan mengalami kematian dan memicu munculnya Alzheimer, yakni penyakit penurunan fungsi otak atau neurodegeneratif yang terjadi secara perlahan akibat merosotnya jumlah sel sehat dalam otak.
Terakhir adalah diabetes tipe keempat atau dikenal dengan sebutan gestasional. Diabetes ini terjadi pada ibu hamil selama masa kehamilan, walau mereka tidak memiliki riwayat diabetes. Namun ketika sudah melahirkan penyakit ini bisa kemudian menghilang.
“Yang terbanyak kan tipe kedua, inilah yang terjadi awalnya resistensi insulin,” jelasnya.
Kondisi demikian terjadi manakala sel-sel tubuh tidak merespons insulin secara normal. Sehingga glukosa tidak bisa masuk ke dalam sel dengan mudah, sehingga menumpuk di dalam darah. Seperti yang diketahui sel membutuhkan insulin untuk menyerap gula dalam darah. Jika kondisi demikian berlangsung lama, maka pada akhirnya dapat menyebabkan diabetes tipe 2.
Secara sederhananya insulin adalah sebuah kunci untuk membuka sebuah gembok, perumpamaan dari sel. Jika tubuh normal hanya membutuhkan satu kunci untuk membuka gembok, lain halnya dengan mereka yang telah mengalami resistensi insulin. Tubuh orang yang telah mengalami resistensi insulin membutuhkan dua, tiga atau bahkan lebih kunci hanya untuk membuka satu gembok.
Menurut Tengku Bahdar, diabetes tipe ini tidak langsung terdeteksi. Untuk sampai terdeteksi mereka membutuhkan waktu hingga 12 tahun. Selama periode itu sel-sel sudah mengalami resistensi terhadap insulin sampai 50 persen.
“Kalau kerusakan selnya sudah sampai 50 persen, barulah di situ terdiagnosis dalam darah dia diabetes. Sebenarnya perjalanan penyakitnya sudah sejak 12 tahun sebelumnya, tapi dia gak tertangkap (tak terdiagnosis)” katanya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Maxi Rein Rondonuwu mengakui bahwa dalam kurun waktu lima tahun belakangan terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia. Penyakit ini dipicu karena konsumsi gula, garam, dan lemak berlebih, baik dari makanan atau minuman berisiko tinggi.
Sehingga menyebabkan masalah kesehatan seperti gula darah tinggi, obesitas, dan diabetes melitus.
Data Kemenkes juga menunjukkan bahwa 28,7 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi gula, garam lemak melebihi batas yang dianjurkan. Maxi mengatakan batasan konsumsi gula, garam, dan lemak sudah diatur dalam Permenkes Nomor 30/2013 yang diperbaharui dengan Permenkes Nomor 63/2015 Asupan gula, garam dan lemak sesuai dengan rekomendasi maksimum, yaitu gula sebanyak 50 gram per hari (4 sendok makan), garam sebanyak 2 gram (satu sendok teh), dan lemak sebanyak 67 gram (5 sendok makan).
Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan, sebanyak 61,27 persen penduduk usia tiga tahun ke atas di Indonesia mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari, dan 30,22 persen orang mengkonsumsi minuman manis sebanyak satu hingga enam kali per minggu. Sementara hanya 8,51 persen orang mengkonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali per bulan.
Maxi mengatakan peningkatan prevalensi berat badan berlebih dan obesitas pada anak muda meningkat dua kali lipat dalam 10 tahun terakhir. Semua itu berhubungan dengan konsumsi lemak serta gula yang berlebih.
Baca Juga: