Sains

Jakarta Akan Tenggelam 2050, Konsep Kota Laut Jadi Solusi

Admin — Asumsi.co

featured image
Unsplash/ Muhammad Rizki

Di tengah prediksi bahwa Jakarta akan tenggelam pada 2050, konsep Sea Cities alias Kota Laut merupakan salah satu solusi yang ditawarkan oleh para ahli desain tata kota.

Konsep ini mentransformasikan semua elemen kota misalnya pemukiman, fasilitas sosial dan ekonomi, transportasi, serta jaringan infrastruktur dari yang berbasis daratan menjadi berbasis permukaan lautan.

Sea Cities memperluas cara pandang kehidupan kota yang tidak selalu berbasis daratan. Jadi konsep ini menata ulang pola hubungan kota dan lautan.

Kita memerlukan rencana yang efektif mengatasi risiko tenggelamnya Jakarta dalam jangka panjang karena perubahan iklim dan penurunan permukaan tanah di Jakarta ini sulit dihindari.

Studi terbaru merekomendasikan kombinasi akomodasi kenaikan air laut dan mengapung untuk menghadapi tantangan besar kenaikan air laut di Jakarta.

Pola penerapan Sea Cities

Kenaikan air laut yang dibarengi dengan penurunan permukaan tanah (land subsidence) menjadi kombinasi penyebab tenggelamnya Jakarta. Laju urbanisasi yang cepat memicu eksploitasi air tanah (ABT) dan berkontribusi sekitar 80-90% penurunan permukaan tanah. Sementara, kemampuan kota dalam menyediakan air dari sumber permukaan sangat terbatas.

Tanpa mengabaikan pentingnya pengendalian eksploitasi ABT, Jakarta tetap memerlukan rencana untuk mendorong adaptasi yang efektif dan berkelanjutan dalam menghadapi kenaikan air laut.

Para ahli perencanaan kota kerap mengingatkan kita pentingnya memaknai laut tidak hanya sebagai ancaman tapi juga sebagai sumber daya perkotaan yang harus diintegrasikan sebagai elemen perencanaan kota pada masa depan.

Membangun kota di atas air bukan hal yang mustahil. Para ilmuwan telah membangun stasiun ruang angkasa dan sedang bekerja membangun koloni di Mars. Ide tersebut mungkin dilakukan ketika elemen-elemen perkotaan dapat dibawa ke atas air.

Konsep sea cities menawarkan empat strategi untuk beradaptasi dengan kenaikan air laut.

Pertama, pengambil kebijakan memperkuat sistem infrastruktur perlindungan laut yang menggerus daratan. Penguatan dapat berupa pondasi pantai, pemecah ombak, tanggul, termasuk tanggul raksasa seperti yang dikembangkan Jakarta melalui proyek tanggul laut di pantai.

Pengembangan infrastruktur alam seperti hutan bakau juga tergolong dalam taktik ini. Taktik ini berorientasi pada perlindungan kota pesisir dengan ‘melawan’ lautan. Taktik ini menjanjikan dalam jangka pendek. Namun, dalam jangka panjang masih dipertanyakan efektivitasnnya, seperti berpindahnya banjir ke daerah pesisir sekitar yang lebih rendah.

Kedua, pengambil kebijakan mengakomodasi kenaikan air laut melalui adaptasi secara fisik, sosial, dan ekonomi di kota pesisir. Ide ini pada dasarnya membiasakan masyarakat terdampak dengan fakta dan nilai baru tentang diperlukannya untuk hidup ‘berdampingan’ dengan air. Meninggikan lantai atau mendesain ulang aturan bangunan di pesisir adalah sebagian contoh dari taktik ini.

Ketiga, pengambil kebijakan melepaskan kota. Taktik ini berasumsi bahwa kota tidak lagi mampu menampung tekanan kenaikan air laut. Biaya untuk melindungi atau menyesuaikan kota dapat melebihi manfaat yang diperoleh. Saat pola hubungan kota dan laut tidak bisa disatukan, terpaksa harus dipisah, yakni mundur atau menjaga jarak dengan lautan. Walau demikian, strategi ini tidak harus dipahami lepas total dari laut.

Dengan mengabaikan motivasinya, upaya memindahkan Ibu Kota Jakarta ke Kalimantan dapat tergolong sebagai keputusan untuk mundur, melepaskan kota dari lautan. Walau Ibu Kota pindah, masalah di Jakarta Utara tetap tertinggal di sana.

Dalam situasi ini, sebuah kota harus dikorbankan dengan memindahkan sistem fisik, sosial, dan ekonominya ke daratan yang lebih tinggi, menjauh dari laut. Beberapa konsekuensi negatif mungkin mengikuti, seperti hilangnya warisan arsitektur, budaya dan infrastruktur strategis di lokasi yang dilepaskan untuk tenggelam. Selain itu kepadatan dan perambahan di daerah pedalaman yang baru diubah jadi kota akan terjadi.

Taktik terakhir adalah mengapung. Walau berbagai teknologi telah tersedia untuk mendukung kehidupan di atas laut, banyak orang melihat taktik ini terlalu radikal. Upaya menggeser semua sistem kota dari daratan ke permukaan air dianggap sebagai gagasan utopis. Struktur terapung dianggap tidak banyak berguna menghadapi fluktuasi dan kekuatan gelombang serta badai.

Peluang Sea Cities di Jakarta

Strategi mengakomodasi kenaikan air laut dan mengapung merupakan pilihan yang paling berpeluang diimplementasikan di Jakarta.

Taktik akomodasi adalah pilihan realistis untuk mengatasi kenaikan permukaan laut dalam masa transisi, sekitar satu atau dua dekade yang akan datang. Sementara taktik mengapung bisa dimulai untuk menawarkan prospek jangka panjang.

Secara geomorfologi, perairan Indonesia, termasuk pantai utara Jakarta, cocok untuk menerapkan strategi terapung. Pantai Jakarta memiliki banyak area dengan kedalaman kurang dari 20 meter. Pantai Jakarta memiliki gelombang yang moderat dan tidak berada di jalur topan sehingga memenuhi kriteria teknis bagi pembangunan struktur apung.

Taktik mengapung lebih ramah lingkungan karena tidak melibatkan kegiatan reklamasi. Taktik ini membuka peluang bagi Jakarta untuk mengakhiri ketergantungan jalur pembangunan dan mengembangkan jalur masa depan baru dalam menangani kenaikan air laut. Pilihan ini juga membuka peluang dalam memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi serta mempersiapkan diri menuju transisi sosial bagi masyarakatnya.

Mengapung prospektif untuk menyelesaikan masalah dalam jangka panjang, tapi ada beberapa kendala yang harus diperhatikan bagi Jakarta. Pertanyaan mendasar dalam adaptasi adalah bagaimana menemukan strategi yang efektif tapi terjangkau. Apakah struktur apung dan fasilitas pendukungnya mampu menampung setidaknya 1,8 juta penduduk Jakarta Utara yang terkena dampak kenaikan air laut pada 2050? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu ada riset.

Singkatnya, kelayakan ekonomi dari taktik mengapung juga merupakan aspek penting untuk dipertimbangkan. Selain itu mereka yang menolak ide ini mungkin berpendapat bahwa biaya membangun struktur apung mahal.

Namun kita melihat bahwa biaya degradasi lingkungan yang dihasilkan dari taktik penguatan, seperti mega proyek Tanggul Laut, juga sangat besar dan tidak boleh dikecualikan dari perhitungan.

Pandangan pesimis terhadap mahalnya investasi pembangunan struktur apung juga kurang tepat karena pembangunan di darat juga bisa lebih mahal. Misalnya, biaya pengembangan 40.000 hektare Ibu Kota baru Indonesia di Kalimantan untuk menampung 1,5 juta penduduk diperkirakan mencapai US$ 34 miliar. Angka tersebut belum menghitung biaya lingkungan pembukaan hutan alam di area pembangunan.

Contoh lain, eksperimen membangun kota ramah lingkungan, nol limbah, dan karbon untuk 40.000 penduduk hanya dalam 580 hektare di Kota Masdar, Dubai, juga mahal, menghabiskan biaya US$ 18 miliar.

Partisipasi publik untuk ide Sea Cities

Inisiatif pengembangan kehidupan di atas air sudah berjalan di Belanda dan sejumlah negara lain. Proyek tersebut dipelopori sektor swasta, ketimbang pemerintah.

Pandangan masyarakat atas gagasan Sea Cities penting untuk digali. Sebagai bagian dari upaya tersebut, jika Anda tinggal di Jakarta Utara, dengan senang hati kami mendengar pendapat Anda melalui tautan ini.

Suara masyarakat terdampak dari kenaikan air laut pada saat ini dan masa depan adalah yang terpenting. Mereka subjek dari gagasan ini.

Artikel ini ditulis oleh Senior Lecturer in Urban and Regional Planning Universitas Diponegoro Rukuh Setiadi dan telah terbit di The Conversation dengan judul asli “Jakarta akan tenggelam pada 2050: mengapa Kota Laut bisa menjadi solusi”.


Baca Juga:

Share: Jakarta Akan Tenggelam 2050, Konsep Kota Laut Jadi Solusi